BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasar Kompas.com, pada zaman modern seperti sekarang ini, sarana transportasi telah menjadi bagian yang penting dari kehidupan manusia. Hal ini
dikarenakan transportasi merupakan sarana utama bagi manusia dalam kehidupan sehari–hari untuk bergerak dan
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya
dengan cepat. Seiring dengan perkembangan
teknologi dan pembangunan yang
ada di segala
bidang saat
ini,
perkembangan
sarana
transportasi
pun telah berlangsung dengan cepat. Mulai dari sarana transportasi yang sangat sederhana sebelum tahun 1990 sampai sarana transportasai yang mewah yang banyak kita jumpai di abad
21 ini. Motor merupakan salah satu
bentuk dari sarana
transportasi darat yang sudah banyak dimiliki oleh masyarakat.
Pada umumnya masyarakat membeli motor untuk menikmati dua fungsi, yaitu: sebagai sarana untuk mengantarkan penumpang dari satu tempat ke tempat
yang lainnya dan mengangkut
barang–barang dalam aktivitas kerja sehari–hari,
sedangkan fungsi lainnya adalah untuk
mendapatkan suatu prestise yang akan memberikan kepuas`n tersendiri bagi seseorang. Situasi
pasar saat ini semakin kompetitif dengan persaingan
yang semakin
meningkat pula diantara para produsen. Semakin
ketatnya persaingan tersebut maka akan semakin mengarahkan perekonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang memposisikan
pemasar untuk selalu mengembangkan dan merebut market share (pangsa pasar).
Menurut
Hermawan Kartajaya
(2004: 144),
brand
merupakan
nilai
utama pemasaran. Jika situasi persaingan
meningkat, peran
pemasaran akan
makin meningkat pula dan pada saat yang sama peran brand akan semakin penting.
Dengan demikian, brand saat ini tak hanya sekedar identitas suatu produk saja dan
hanya sebagai pembeda dari produk pesaing, melainkan lebih dari itu,
brand memiliki ikatan emosional istimewa yang tercipta antara konsumen dengan
produsen. Pesaing bisa saja menawarkan produk yang mirip, tapi mereka tidak mungkin menawarkan janji emosional yang sama.
Simamora (2001: 66), dalam bukunya ”Remarketing
for Business Recovery, Sebuah Pendekatan Riset” mengatakan brand
equity adalah kekuatan merek atau kesaktian merek yang memberikan nilai kepada konsumen. Dengan
brand equity, nilai total produk lebih tinggi dari nilai produk sebenarnya secara obyektif.
Ini berarti,
bila
brand
Karena hal itu, pada akhirnya brand akan mampu menjadi sumber daya saing
yang bisa berlangsung lama dan
bisa menjadi penghasil arus
kas bagi perusahaan dalam jangka panjang (Janita, 2005: 18). Produk yang telah memiliki brand
yang kuat akan
sulit ditiru. Lain dari produk yang bisa dengan mudah ditiru ol eh pesaing, sebuah brand yang kuat akan sulit ditiru karena persepsi konsumen atas nilai suatu brand tertentu itu tidak akan mudah diciptakan. Dengan brand equity yang kuat, konsumen memiliki persepsi akan mendapatkan nilai tambah
dari suatu produk yang tak akan didapatkan dari produk-produk lainnya.
Di Indonesia semakin banyak pilihan produk
yang ditawarkan oleh perusahaan–perusahaan otomotif,
baik
yang telah lama
dikenal masyarakat
maupun
yang baru. Masing–masing perusahaan berusaha untuk
mendifferensiasikan
produknya
supaya mempunyai keunikan dan karakteristik
yang unik, sehingga dapat menimbulkan daya tarik. Persaingan bisnis otomotif
sepeda motor di Indonesia dapat dilihat pada data komposisi pangsa pasar sepeda motor dan penjualan sepeda motor berdasar jenis motor dan merek tahun 2009.
Industri dan bisnis sepeda motor di Indonesia selama 2009 tetap tinggi kendati mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang diperoleh Kompas.com, penurunan penjualan hanya 5,3 persen, yaitu dari
6.215.831 unit pada 2008, menjadi 5.881.777 unit pada tahun kemarin.
Honda vs Yamaha. Kendati ada beberapa merek menjadi anggota (AISI), hanya dua yang menikmati pasar Indonesia dalam porsi sangat besar dan terus
bersaing, yaitu Honda dan
Yamaha. Keduanya, kalau digabungkan, menikmati
91,45 persen pangsa pasar sepeda motor pada 2009 atau total 5.378.989 unit.
Perbedaan total penjualan kedua merek tahun lalu sangat tipis. Honda berhasil mencapai penjualan 2.704.097
unit ( 45,97 persen), sedangkan Yamaha
2.674.892 (45,47 persen) atau berselisih 29.205 unit (0,50 persen).
Honda masih bisa berbangga hati berkat motor bebeknya dengan total
penjualan 1.659.764 unit atau sama dengan 61,37 persen dari total penjualan merek tersebut
untuk seluruh kategori. Secara
nasional,
Honda memperoleh pangsa 52,05 persen
untuk
jenis bebek.
Saingannya, Yamaha, memperoleh penjualan 1.217.274 unit atau 38,17 persen.
Yamaha unggul
pada
jenis skuter (skutik) dan
sport.
Untuk skutik, Yamaha
berhasil menjual 1.237.302 unit atau menguasai 55.76 persen skutik nasional melalui Mio. Adapun pada sport memperoleh pangsa 46,42 persen atau
220.316 unit dari 474.538
unit (lihat tabel).
Kompetitornya, Honda, hanya bisa menjual skuter 861.740
unit (38,84 persen) dan
motor sport
182.593 unit (38,47
persen) pada masing-masing jenis.
Bebek atau underbone masih menjadi primadona dengan penguasaan pasar sampai
54,21
persen dari total
penjualan
motor
di
Indonesia
atau mencapai
3.188.585 unit. Kendati demikian, bebek memperlihatkan tren terus menurun. Pada 2008, bebek menguasai 61 persen pasar motor Indonesia.
Suzuki hanya bisa
mencicipi penjualan
438.158 unit
atau 7,4 persen. Padahal pada
2005, berdasarkan data dari AISI, Suzuki sempat menguasai 20 persen pangsa pasar motor Indonesia. Ketika itu,
penjualan sepeda
motor
di Indonesia mencapai 5.074.186 unit.
Sangat disayangkan
karena
pangsa
pasar
Suzuki
menurun di
saat
terjadinya peningkatan penjualan nasional. Penjualan Suzuki sendiri selama 2008 mencapai 794.622 unit
dengan pembagian kontribusi di segmen sport 111.623 unit,
Skutik 210.962,
underbone 471.054, dan sisanya segmen build up.
Bahkan pada SUARA PEMBARUAN DAILY
edisi
<.span>tanggal
26/12/09, hasil riset yang dilakukan di 5 kota
besar (Jakarta, Bandung, Sema
rang, Surabaya, dan Medan), Honda disukai 64,5% konsumen Indonesia.
Disusul kemudian Yamaha 23%, Suzuki 16,5%, Kawasaki 2,8%, Piaggio 2,7%, dan merek-merek lainnya di bawah 1%. Ini semakin memperjelas bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan Suzuki untuk meningkatkan ekuitas mereknya
di mata konsumen.
Dari data AISI, pada lineup 2006 sudah tidak terlihat lagi motor sport
prestise seperti Thunder 250, FXR 150, TS 125. Meskipun kontribusi penjualan sport rata-rata hanya 10-15%
dari total penjualan Suzuki, tetapi efeknya besar bagi image dan ekuitas merek Suzuki. Ini berhubungan dengan faktor 'emosional' konsumen. Analoginya ibarat sebuah ritel atau mal yang identik dengan produk atau barang-barang luar negeri dan mahal tetapi juga menjual barang alternatif yang lebih terjangkau. Konsumen
akan bangga membeli produk alternatif tersebut karena faktor “brand” mal tersebut dan juga keberadaan produk mahal tadi.
Jangan lupakan kekuatan “word of mouth” dan komunitas karena kadang itu juga
menjadi sarana promosi murah terefektif dibanding budget advertising. Diluar itu, Suzuki
kurang mengeluarkan produk baru dalam 3 tahun terakhir dibanding kompetitor, terutama di segmen bebek 110cc dan matic.
Meskipun demikian, AISI melihat pada tahun 2010 sepeda motor Suzuki tidak bisa di anggap remeh mengingat secara produk sesungguhnya Suzuki cukup
baik. Dengan pulihnya
permintaan, AISI memperkirakan omzet bisnis sepeda motor pada 2010 diperkirakan meningkat 10% menjadi Rp 65,27
triliun. Angka sebesar itu diperoleh dari penjualan domestik
sebesar 6,3 juta unit dan ekspor sebesar 64
ribu unit.
Oleh karena
itu, perusahaan wajib melakukan
proses
penataan ulang
strategi perusahaan berkaitan minat mereferensi (Word of Mouth). Perusahaan saat ini berlomba-lomba menggali dan mengasah minat mereferensi. Perusahaan
me<.span>mandang Word of Mouth merupakan bagian dari strategi perusahaan dalam mengahadapi pesaing dan menghubungkan
perusahaan
dengan konsumen ( Vivied Vandaliza, 2007). Dalam
kondisi pasar
yang makin kompetitif, minat mereferensi mampu menyadarkan
konsumen
akan
suatu merek.
Merek bervariasi dalam hal kekuatan dan nilai yang dimiliki
di pasar, perusahaan harus dapat mengembangkan
suatu produk yang
memiliki merek yang prestisius atau disebut memiliki ekuitas merek (brand equity) yang kuat. Menurut Aaker (1997:23), ekuitas merek
dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori yang meliputi: kesadaran
merek
(brand
awareness),
asosiasi merek (brand association),
kesan kualit`s
(perceived quality), loyalitas
merek (brand loyalty).
Kesadaran merek (brand awareness) menunjukkan kesanggupan seorang calon
pembeli
untuk mengenali
atau mengingat kembali bahwa
suatu
merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Asosiasi
merek
(brand
association) menunjukkan pencitraan
suatu merek terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya
dengan kebiasaan,
gaya
hidup, manfaat, atribut
produk, geografis, harga, selebritis
(
spoke person) dan
lain-lain. Persepsi kualitas (perceived quality) mencerminkan
persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkenaan dengan maksud yang diharapkan (Durianto,dkk,
2001:4).
Ekuitas merek yang tinggi akan memberikan keunggulan bersaing bagi suatu merek atau produk guna membentuk minat mereferensi.
Dari uraian
di
atas, maka peneliti merasa tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh
kesadaran
merek, asosiasi
merek,
dan :persepsi kualitas sepeda motor Suzuki terhadap minat mereferensi. Mengapa konsumen dalam
mereferensi
mempertimbangkan merek suatu produk termasuk
ketika
melakukan pembelian sepeda motor Suzuki. Maka judul yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah “ Analisis Pengaruh Kesadaran Merek, Asosiasi
Mererk, Dan Persepsi Kualitas Terhadap Minat Mereferensi Sepeda Motor
Suzuki ( Studi
Kasus
Pada Mahasiswa Fakultas
Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang ) ”<.span>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar