Tampilkan postingan dengan label Tesis Manajemen Keuangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tesis Manajemen Keuangan. Tampilkan semua postingan

EVALUASI PENGELOLAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PEDESAAN DAN PERKOTAAN DI KABUPATEN (kode : 71)

Dalam pelimpahan kewenangan pengelolaan Pajak Bumi dan Banagunan (PBB) sektor pedesaan dan perkotaan sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka di dalam pelaksanaanya mengalami berbagai hambatan. Untuk itu agar sistematis dalam penelitian ini difokuskan pada masalah Bagaimanakah Evaluasi Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Pedesaan Dan Perkotaan Di Kabupaten Enrekang. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengevaluasi Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Enrekang.

Metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan data primer dan data sekunder dengan melakukan penggalian data secara langsung dari sumbernya dengan beberapa informan yang menurut peneliti orang-orang yang terlibat langsung dan mengetahui tentang proses pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan di Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten Enrekang yaitu 11 orang. fokus penelitian kualitatif pada awalnya masalah yang akan diteliti masih umum dan samar-samar akan bertambah jelas dan mendapat fokus setelah peneliti berada dalam lapangan. Adapun metode pengumpulan data melalui beberapa instrument yaitu observasi langsung, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setelah sepenuhnya dikelolah oleh Pemerintah Kabupaten Enrekang belum optimal karena belum ditunjang oleh regulasi pelaksanaannya, Standar Operasional Prosedur, belum ada lembaga khusus pengelola PBB serta minimnya dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia, peralatan maupun pengganggaran berpengaruh langsung terhadap efisiensi dan efektifitas pengelolaan pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Enrekang sehingga pelaksanaan SOP perpajakan tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu sarana yang diberikan pada bagian terakhir penelitian adalah bagaimana memaksimalkan pengelolaan PBB di Kabupaten Enrekang. 


Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap


Analisis Pengaruh Kepemilikan Saham Perusahaan Bagi Karyawan Terhadap Komitmen Organisasi Di Pt Telkom Tbk Kantor Divre V (Bidang Performansi Dan Sumber Daya Manusia) Surabaya (Ket : kepemilikan saham perdana (X1), kepemilikan saham insentif (X2), kepemilikan saham bebas (X3) dan kepemilikan saham bonus (X4), Komitmen Organisasi = Y )(Kode:49)

Karyawan   adalah   manusia  yang  mempunyai   sifat   kemanusiaan,  perasaan   dan kebutuhan yang  beraneka ragam. Kebutuhan ini bersifat fisik maupun non fisik yang harus dipenuhi agar dapat hidup secara layak dan manusiawi. Hal ini menyebabkan timbulnya suatu pendekatan yang berdasarkan pada kesejahteraan  karyawan dalam manajemen personalia. Karyawan  harus  mendapatkan perlakuan sedemikian  rupa   sehingga  kerjasama  antara pimpinan dan karyawan sebagai bawahan dapat terjalin dengan baik.  Bila hubungan terjalin baik maka mudah untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditentukan.

Untuk menjalin kerjasama yang baik antara pimpinan dan karyawan, antara kedua pihak harus saling mengerti tentang kepentingan masing-masing dalam perusahaan. Untuk itu diperlukan  komunikasi yang   baik  antara  pimpinan  dan  karyawan  mengingat  peranan komunikasi sangat besar untuk keberhasilan  suatu  perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah digariskan. 

PENGARUH DIMENSI SERQUAL TERHADAP LOYALITAS NASABAH BANK BNI 46 CABANG GRAHA PANGERAN SURABAYA (312. )

 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para ahli di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) semakin banyak mengarahkan perhatiannya pada perilaku organisasi (organizational behaviors) baik pada tingkatan manajer level atas maupun pekerja atau pegawai secara keseluruhan. Perkembangan serta kemajuan di berbagai bidang, yang ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan yang berarti pada lingkungan organisasi, ikut merangsang berkembangnya tingkat profesionalitas yang berorientasi pada keunggulan kompetitif untuk memenangkan setiap persaingan yang ada.

Untuk mencapai tingkat keunggulan bersaing yang tinggi dan berkesinambungan, sebuah organisasi tidak lagi semata-mata tergantung pada kemajuan teknologi yang dipergunakan ataupun posisi strategis, akan tetapi lebih menekankan pada pengelolaan tenaga kerja atau sumber daya manusia yang ada, (Pfeffer, 1995). Meskipun demikian, pengelolaan sumber daya manusia juga tidak hanya menekankan pada efisiensi serta efektivitas organisasi saja, tetapi juga menekankan pada tataran nilai-nilai individu yang dianut oleh pegawai. Hal tersebut menjadi salah satu elemen pokok dalam organisasi yaitu kesediaan dan kemauan para pegawai untuk memberikan daya upaya mereka secara nyata pada tercapainya tujuan organisasi secara menyeluruh.

1

 
Menurut Gibson (1996), iklim organisasi merupakan serangkaian sifat lingkungan kerja, yang dijalani dan dinilai langsung maupun tidak langsung oleh pegawai, yang dianggap menjadi kekuatan utama dalam mernpengaruhi perilaku individu. lklim organisasi, mempunyai fungsi mempengaruhi tindakan pegawai sebagai individu yang mandiri atau bagian dari sebuah interaksi kelompok maupun sebagai bagian kolektif dari organisasi. Singkatnya, bahwa adanya iklim organisasi yang baik dan kondusif akan mempengaruhi produktivitas, komitmen, prestasi kerja, dan kepuasan kerja pegawai.

Davis (1985), menyatakan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan manusia dimana para pegawai organisasi melakukan pekerjaan mereka. Pengertian ini mengacu pada lingkungan suatu departemen, unit perusahaan yang penting atau suatu organisasi secara keseluruhan. Pada gilirannya, iklim dipengaruhi dan/atau mempengaruhi hampir semua hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim adalah merupakan suatu konsep sistem yang dinamis.

Organisasi yang memperlakukan pegawainya sesuai dengan martabat dan integritasnya, akan menghasilkan peningkatan moral, kinerja dan produktivitas, serta menekan tingkat pergantian pekerja, meningkatkan kepuasan, dan meningkatkan reputasi dan kredibilitas organisasi secara menyeluruh. Menurut Lewis, Goodman, dan Fandt (2001), pegawai yang bekerja dalam sebuah organisasi yang menganut nilai-nilai etis dan iklim organisasi yang baik, akan merasakan keuntungan ganda karena mereka tahu bahwa mereka akan dilindungi baik secara organisatoris, maupun dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, sebagian besar pegawai akan menyatakan perasaan tidak nyaman ketika mereka bekerja dalam sebuah organisasi yang menunjukkan iklim yang tidak kondusif.

Purnomosidhi (1996) menyatakan bahwa iklim organisasi yang tidak menunjang penampilan kerja yang produktif, penyediaan teknologi dan kondisi kerja yang tidak memadai, arus komunikasi yang tidak menunjang dalam artian jumlah maupun kualitas, praktek pengambilan keputusan yang tidak obyektif di semua organisasi maupun kesejahteraan pegawai yang kurang diperhatikan di sisi lain, akan mengakibatkan rendahnya tingkat kepuasan dan prestasi kerja.

Sims dar Kroeck (1994) menyatakan bahwa iklim etis dalam organisasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap meningkatnya komitmen dan kepuasan kerja karyawan. Hal ini menunjukkan kejelasan pengaruh atau hubungan yang erat, bahwa dengan menangani dan menciptakan iklim yang kondusif dalam organisasi, akan berdampak pada timbulnya komitmen yang kuat dari karyawan untuk bertahan dan memajukan serta meningkatkan kinerja organisasi.

Satu hal yang sangat mendasar bahwa untuk membangun komitmen, baik pada tataran individu maupun pada tataran organisasional secara menyeluruh, tidak terlepas dari kemampuan menciptakan lingkungan kerja yang baik dan menunjang. Gejala yang seringkali muncul dalam sebuah organisasi baik bisnis maupun publik sebagai akibat dari kurang stabilnya organisasi adalah rendahnya tingkat kepuasan kerja dan prestasi kerja yang dicapai oleh pegawai. Akibat  paling ekstrim yang dapat ditimbulkan oleh ketiga hal di atas adalah terjadinya pemogokan, kelambanan, kemangkiran, dan tingkat keluarnya karyawan yang cukup tinggi.

Davis (1996) menyatakan bahwa tingkat kepuasan kerja yang tinggi dari pegawai merupakan tanda bahwa organisasi telah dikelola dengan baik, dan merupakan hasil dari manajemen perilaku yang efektif. Kepuasan dan prestasi kerja adalah sebuah tolak ukur terhadap suatu proses pembangunan dan pengembangan iklim yang berkelanjutan dalam organisasi.

Tingkat kepuasan kerja juga dianggap sangat penting sebagai sebuah proses pencapaian aktualisasi Diyakini bahwa pegawai yang tidak dapat memperoleh kepuasan kerja, tidak akan mencapai kematangan psikologis yang pada gilirannya akan menyebabkan stres, serta berimplikasi pada pencapaian kinerja yang tidak rnaksimal. Strauss dan Sayless (1996) menyatakan bahwa tingkat kepuasan kerja mempunyai arti yang sangat penting baik bagi pegawai maupun bagi organisasi, terutama karena hal ini dapat menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja serta pencapaian prestasi kerja yang lebih baik.

Salah satu upaya dalam meningkatkan kepuasan kerja pegawai adalah dengan menciptakan lingkungan kerja atau iklim organisasi yang kondusif dan menguntungkan. Perilaku pemimpin dalam hal ini sangat menentukan terciptanya keadaan tersebut, dimana keberadaan iklim pada kebanyakan organisasi dibentuk oleh kepemimpinan yang tepat dan dkomunikasikan juga secara tepat dengan para bawahan secara keseluruhan.

Kepuasan kerja dan prestasi kerja adalah merupakan variabel organisasi yang sangat penting untuk terus diteliti dan dipelajari, karena terkait erat dengan berbagai proses penting dalam aktivitas keorganisasian diantaranya motivasi, komitmen, dan pergantian pegawai (Kohn dan Boo, 2001). Seseorang secara individual dapat mencapai tingkat kepuasan kerja dan kinerja yang baik dalam kondisi tertentu, akan tetapi pada kondisi lain dia tidak dapat mencapainya. Hal yang   penting untuk dipelajari adalah apakah eksekutif atau pejabat di Indonesia dapat mencapai level tertentu dari kepuasan kerja serta kinerja yang maksimal dalam organisasi mereka.

Kenyataan ini dianggap berlaku universal baik pada organisasi bisnis maupun pada organisasi publik. Pada organisasi bisnis, dalam operasionalnya dituntut untuk mampu menciptakan kondisi iklim yang kondusif baik secara organisatoris maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Sebagai perusahaan yang independen harus mampu bekerja secara mandiri tanpa intervensi dari pihak manapun. Maka dengan iklim organisasi yang baik dan kondusif, hal ini memungkinkan untuk dicapai, dan selanjutnya akan berimplikasi pada tercapainya tingkat kepuasan kerja dan kinerja aparat secara maksimal serta tercapainya tujuan organisasi secara menyeluruh.

Perusahaan merupakan organisasi yang harus dapat dikelola dengan profesional dan dituntut agar memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan kualites kinerja yang lebih baik. Keberadaan karyawan dengan integritas dan kualifikasi tertentu untuk menduduki suatu jabatan strategis, adalah sangat penting untuk menjadi pertimbangan. Dalam artian yang lebih luas, produktivitas serta kualitas pelayanan akan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam menilai kinerja perusahaan secara organisasional.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas perusahaan, tentu saja berbagai pihak yang terkait dengan perusahaan ini harus memperhatikan tingkat kepuasan kerja sekaligus prestasi kerja karyawannya. Tingkat kepuasan kerja tidak terlepas dari pengaruh kondisi iklim organisasi yang berlaku. Demikian pula halnya dengan prestasi kerja, masyarakat akan menunjukkan tingkat penerimaan dan pemahaman yang tinggi ketika perusahaan dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik dan berkualitas. Kondisi yang diharapkan adalah keselarasan antara keadaan yang ada dengan harapan-harapan karyawan, dimana kepuasan atas dasar persepsi mereka terhadap iklim organsasi menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan.

Kesimpulannya, secara teoritis terdapat pengaruh antara iklim organisasi terhadap komitmen, kepuasan kerja, dan prestasi kerja pegawai. Oleh karena ttu akan sangat berguna jika dilakukan penelitian untuk mendapatkan bukti-bukti empiris mengenai hubungan iklim organisasi dengan komitmen, kepuasan, dan prestasi kerja pegawai, apakah akan mengalami penurunan kuantitas maupun kualitas hasil kerja yang berkaitan dengan kinerja karyawannya. Hal ini berhubungan dengan iklim organisasi, komitmen dan kepuasan kerja.

Dari latar belakang di atas, penelitian ini akan melihat hubungan antara iklim organisasi dengan komitmen, tingkat kepuasan kerja dan prestasi kerja. Oleh karena itu, penelitian mengambil judul Pengaruh lklim Organisasi terhadap Komitmen dan Kepuasan Kerja serta Implikasinya pada Prestasi Kerja (Studi pada PT. PLN (Persero) UP  Dinoyo Malang).  

 Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

PERSEPSI KUALITAS PELAYANAN (SERVQUAL) TERHADAP KEPUASAN DAN LOYALITAS NASABAH BANK...(311)

 

Bisnis perbankan merupakan bisnis jasa yang berdasarkan pada azas kepercayaan sehingga masalah kualitas layanan menjadi faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan usaha. Kualitas layanan merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat layanan yang diterima (perceived service) dengan tingkat layanan yang diharapkan (expected service) (Kotler, 2000).

Sebagai lembaga yang bergerak  dalam bidang  jasa, maka untuk dapat  memenangkan  persaingan yang kompetitif, Lembaga Perbankan harus dapat menerapkan  strategi  yang  berorientasi  kepada  pelanggan  (customer  oriented) dengan cara  meningkatkan  kinerjanya sehingga  dapat  memuaskan nasabah  sebagai pelanggan internalnya.

Kualitas pelayanan yang semakin baik merupakan faktor yang berharga dalam dunia perbankan. Peningkatan kualitas pelayanan sangat penting bagi perusahaan jasa karena akan menarik minat konsumen untuk membeli produk jasa yang ditawarkan. Konsumen yang merasa senang dan puas atas pelayanan yang diberikan akan terus membeli produk yang ditawarkan, sehingga status konsumen akan berubah menjadi pelanggan. Salah satu cara untuk mentranformasi konsumen menjadi pelanggan atau nasabah adalah dengan memenuhi kepuasan dan memberikan kualitas pelayanan yang unggul.

Kepuasan pelanggan merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian serius bagi lembaga yang bergerak di bidang jasa terutama jasa perbankan, karena kepuasan merupakan salah satu kunci untuk dapat mempertahankan pelanggan. Pelanggan yang sangat puas, umumnya lebih lama setia, membeli lebih banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan meningkatkan produksi yang ada. Pelanggan yang setia tidak banyak memberikan perhatian pada merek pesaing dan tidak terlalu peka terhadap harga (Kotler, 2000).

Kepuasan pelanggan menempati posisi penting dalam praktek di dunia bisnis, karena manfaat yang ditimbulkannya bagi perusahaan. Pelanggan yang loyal jauh lebih bernilai ketimabang sekedar pelanggan puas, sebab pelanggan yang loyal merupakan sumber pendapatan perusahaan yang paling bisa diandalkan. Sekali mereka loyal, terhadap produk atau jasa tertentu, bisa jadi sepanjang hidup mereka akan menggunakan produk atau jasa itu. Artinya mereka yang berperan besar menyumbang terhadap pendapatan dan keuntungan perusahaan. Kepuasan bisa semakin besar apabila komplain pelanggan dapat diselesaikan dengan baik.  

 Kepuasan pelanggan sendiri menurut Tjiptono (2005:366), dapat diukur melalui enam konsep pengukuran, antara lain :

1.   Kepuasan Pelanggan Keseluruhan (Overall Customer Satisfaction).

Dengan cara menanyakan langsung kepada pelanggan seberapa puas mereka dengan produk atau jasa spesifik tertentu. Biasanya ada dua bagian dalam proses pengukurannya. Pertama, mengukur tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk dan/jasa perusahaan bersangkutan.

Kedua, menilai dan membandingkan dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan terhadap produk /jasa para pesaing.

2.   Dimensi Kepuasan Pelanggan.

Proses ini terdiri atas empat langkah. Pertama, mengidentifikasi dimensi-dimensi kunci kepuasan pelanggan. Kedua, meminta pelanggan menilai produk/jasa perusahaan berdasarkan item-item spesifik, seperti kecepatan layanan, fasilitas layanan, atau keramahan staf layanan pelanggan. Ketiga, meminta pelanggan menilai produk/jasa pesaing berdasarkan item-item spesifik yang sama. Dan keempat, meminta para pelanggan untuk menentukan dimensi-dimensi yang menurut mereka paling penting dalam menilai kepuasan pelanggan keseluruhan.

3.   Konfirmasi Harapan (Confirmation of Expectations)

Dalam konsep ini, kepuasan tidak diukur langsung, namun disimpulkan berdasarkan kesesuaian/ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan kinerja aktual produk perusahaan pada sejumlah atribut atau dimensi penting.

4.   Minat Pembelian Ulang

Kepuasan pelanggan diukur secara behavioral dengan jalan menanyakan apakah pelanggan akan berbelanja atau menggunakan jasa perusahaan lagi.

5.   Kesediaan Untuk Merekomendasi (Willingness to Recommend)

Dalam kasus produk yang pembelian ulangnya relatif lama atau bahkan hanya terjadi satu kali pembelian, dan kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan produk kepada teman atau keluarganya menjadi ukuran yang penting untuk dianalisis dan ditindaklanjuti.

6.   Ketidakpuasan Pelanggan (Customer Dissatisfaction)

Beberapa macam aspek yang sering ditelaah guna mengetahui ketidakpuasan pelanggan, meliputi (a) komplain; (b) retur atau pengembalian produk; (c) biaya garansi; (d) product recall (penarikan kembali produk dari pasar); (e) gethok tular negatif; dan (f) defections (konsumen yang beralih ke pesaing).

Kepuasan yang dirasakan pelanggan atau nasabah akan berdampak positif bagi perusahaan, diantaranya akan mendorong loyalitas pelanggan dan reputasi perusahaan. Kepuasan dalam dunia perbankan merupakan sesuatu yang hakiki. Kepuasan dapat berupa kerahasiaan, keamanan, kebanggaan dan kemudahan. Oleh  karena itu, setiap perusahaan perlu berupaya memahami nilai-nilai yang diharapkan pelanggan dan atas dasar itu kemudian berusaha memenuhi harapan tersebut semaksimal mungkin.

Perusahaan yang gagal memuaskan pelayanannya akan menghadapi masalah yang kompleks. Umumnya pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan pengalaman buruknya kepada orang lain dan bisa dibayangkan betapa besarnya kerugian dari kegagalan memuaskan pelanggan. Oleh karena itu, setiap perusahaan jasa wajib merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan sistem kualitas sedemikian rupa, sehingga pelayanan dapat memuaskan para pelanggannya.

Kualitas dan loyalitas pelanggan berkaitan erat. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan yang kuat dengan perusahaan. Ikatan seperti ini dalam jangka panjang memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka, dengan demikian perusahaan tersebut dapat meningkatkan loyalitas pelanggan dimana perusahaan memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan.

Loyalitas pelanggan dalam bidang jasa merupakan elemen penting dan menentukan dalam menumbuhkembangkan perusahaan agar tetap eksis dalam menghadapi persaingan. Demikian pula dengan bisnis perbankan, merupakan bisnis yang berdasarkan pada azas kepercayaan, masalah kualitas layanan (service quality) menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan bisnis ini.

Upaya untuk mewujudkan loyalitas pelanggan secara menyeluruh memang tidak mudah, dikarenakan pelanggan yang dihadapi saat ini berbeda dengan pelanggan yang lalu. Maka pihak manajemen bank harus dapat melihat apa yang diinginkan oleh pelanggan, untuk itu bank sebagai pihak penyedia jasa harus mampu memberikan perhatian penuh pada kualitas pelayanan agar pelanggan merasa puas dan selanjutnya akan terbentuk loyalitas pelanggan.

Kotler et al (2002) menyebutkan ada enam alasan mengapa suatu institusi perlu mendapatkan loyalitas pelanggannya. Pertama: pelanggan yang ada lebih prospektif, artinya pelanggan loyal akan memberi keuntungan besar kepada institusi. Kedua: biaya mendapatkan pelanggan baru jauh lebih besar dibandingkan dengan menjaga dan mempertahankan pelanggan yang ada. Ketiga: pelanggan yang sudah percaya pada institusi dalam suatu urusan akan percaya juga dalam urusan lainnya. Keempat: biaya operasi institusi menjadi efisien jika memiliki banyak pelanggan loyal. Kelima: institusi dapat mengurangkan biaya psikologis dan sosial dikarenakan pelanggan lama telah mempunyai banyak pengalaman positif dengan institusi. Keenam: pelanggan loyal akan selalu membela institusi bahkan berusaha pula untuk menarik dan memberi saran kepada orang lain untuk menjadi pelanggan.

Kepuasan pelanggan akan berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan. Beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan antara kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan telah dilakukan oleh Bowen et al (2001), sejauh ini mengambil subyek pada industri jasa seperti maskapai penerbangan, bank dan toko. Diantara penelitian-penelitian yang dilakukan di industri jasa bank tersebut yang sangat relevan dengan penelitian ini antara lain dilakukan oleh Bloemer, Ruyter dan Peters (1998) dan Nguyen & LeBlanc (1998). Penelitian yang dilakukan oleh Bloemer, Ruyter dan Peters (1998) meneliti bagaimana citra, kualitas layanan yang dirasakan dan kepuasan dapat menentukan loyalitas dalam setting bank retail pada level konstruksi global dan pada level dimensi konstruksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas layanan berhubungan secara langsung dan tidak langsung dengan loyalitas pelanggan. Sedangkan Nguyen & LeBlanc (1998) menyelidiki efek  kepuasan konsumen, kualitas jasa dan nilai pada persepsi citra perusahaan dan loyalitas pelanggan pada industri jasa perbankan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan dan kualitas layanan berkaitan dengan berkaitan positif dengan nilai dan kualitas layanan tersebut berpengaruh lebih kuat pada nilai daripada kepuasan. Kepuasan pelanggan dan persepsi citra mempunyai pengaruh terhadap loyalitas jasa dengan kepuasan yang memberikan pengaruh lebih besar pada loyalitas daripada citra.

Dari uraian tersebut nampak bahwa terdapat dua faktor utama yang  mempengaruhi kualitas  layanan yaitu :  expected  service (layanan yang di harapkan) dan perceived  service  (layanan yang  diterima).  Dengan demikian  maka  kualitas  layanan dapat diukur dengan  membandingkan  antara kualitas layanan yang diharapkan  dengan  yang diterima  dan dirasakan  oleh para  pelanggan .

Apabila perceived  service sesuai dengan  expected  service, maka  kualitas  layanan yang diberikan dapat dirasakan dengan baik dan memuaskan.  Sedangkan bila kualitas  layanan yang diterima  melampaui  harapan, maka  kualitas layanan  yang dirasakan sebagai kualitas yang ideal, sebaliknya  bila kualitas layanan yang diterima  lebih rendah dari  yang diharapkan, maka kualitas layanan  dikatakan  jelek dan tidak memuaskan. Dengan demikian ideal dan rendahnya  kualitas jasa   tergantung pada  kemampuan penyedia  jasa dalam   memenuhi  harapan  pelanggan.

 Terdapat lima unsur atau dimensi yang digunakan sebagai kerangka perencanaan  dan anlisis  untuk  mengukur kualitas layanan  sehingga pelanggan   merasa puas atau  tidak terhadap  layanan  yang diberikan  lembaga. Kelima unsur  tersebut adalah  : (1) reliability  (kehandalan )  yaitu kemampuan untuk memberikan layanan dengan segera, akurat, konsisten   dan memuaskan ; (2) responsiveness (daya  tanggap), yaitu keinginan atau kesediaan  para  staf  untuk  membantu para pelanggan  dan memberikan layanan dengan tanggap; (3) assurance  (jaminan),  yaitu  mencakup pengetahuan kompetensi, kesopanan, dan sifat  dapat dipercaya yang dimiliki para  staf, bebas dari bahaya resiko dan kergu-raguan; (4)  empaty (empati)  yaitu  meliputi  kemudahan dalam  melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi  dan memahami kebutuhan  para pelanggan ; (5) tangibles (bukti fisik)  yaitu fasilitas  fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi (Parasuraman dalam  Itzsimmons  dan  Fitzsimmons, 1994 ).

Oleh karena kualitas layanan menjadi tolok ukur untuk menciptakan kepuasan dan loyalitas nasabah dan kepuasan merupakan variabel yang krusial  untuk diperhatikan guna menumbuhkembangkan loyalitas nasabah maka penlitian ini  memfokuskan pada Analisis  Persepsi Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan dan Loyalitas Nasabah Bank BUKOPIN Malang.

 Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

ANALISIS IMPLEMENTASI DANA PERIMBANGAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) (310)

 

Sampai saat ini di lingkungan negara-negara yang sedang berkembang masalah hubungan antara Pusat dan Daerah masih menjadi salah satu isu sentral, terutama di negara yang wilayahnya sangat luas atau kehidupan penduduknya secara sosial maupun ekonomi hiterogen. Pengalaman menunjukkan bahwa karena pemerintahan daerah yang mencerminkan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah terfokus pada aspek politik, maka masalah kesenjangan hubungan keduanya sering terlihat pada ancaman disintegrasi nasional.

            Adanya pemerintahan daerah merupakan hal yang sangat penting dalam membangun sistem pemerintahan negara yang demokratis. Hal itu penting karena bisa menampung pluralisme bangsa, partisipasi masyarakat, serta memberikan tambahan pilihan bagi warganya terutama yang bersangkutan dengan kebutuhan dan kepentingan penduduknya.

            Dengan adanya pemerintahan daerah, maka pluralisme yang ada dalam masyarakat/negara baik sosial, budaya, ekonomi dan lainnya bisa ditampung dalam wadah pemerintahan daerah masing-masing sehingga tidak mengarah kepada otokrasi sentral. Dalam wilayah mereka, keragaman yang ada dalam masyarakat tetap terpelihara sehingga menjadi akar kebangsaan, tanpa kemudian harus menaifkan ciri-ciri khusus kedaerahan yang ada.

Melalui pemerintahan daerah juga bisa diberi kesempatan yang lebih luas bagi penduduk untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mereka, melalui bermacam-macam dewan daerah baik yang bersifat politik (seperti DPRD di Indonesia) maupun ekonomi (misalnya Komite Perlindungan Konsumen Daerah) atau sosial misalnya Dewan Pemangku Adat Daerah dan sebagainya. Masyarakat juga mempunyai kesempatan untuk memperoleh pilihan yang banyak, dari pelayanan umum yang disediakan pemerintahan daerah selain yang disediakan oleh pemerintahan secara nasional.

Seperti sudah diduga sebelumnya, implementasi otonomi daerah yang sudah berlangsung masih jauh dari sempurna. Berbagai macam keluhan dari daerah, kebingungan para pejabat dan masyarakat daerah, serta ketidakpastian yang menyelimuti para calon investor makin membuat banyak orang pesimis akan prospek pemulihan ekonomi Indonesia yang sudah diganggu oleh banyak masalah, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi. Bahkan ketidakjelasan otonomi daerah saat ini dijadikan salah satu alasan utama sikap wait and see dari para calon investor asing disamping ketidak pastian politik dan hukum.

Tampaknya tindakan-tindakan di atas merupakan reaksi jangka pendek atau reaksi spontan dari beberapa pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan otonomi daerah. Di samping reaksi-reaksi spontan di atas, tidak banyak pihak yang memperhatikan efek jangka menengah maupun jangka panjang dari implementasi otonomi daerah tersebut terhadap kondisi fiskal di Indonesia (Bambang Brodjonegoro: 2001).

Dampak dari sistem yang selama ini kita anut (sebelum diberlakukanya UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004) menyebabkan Pemerintahan Daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek pembangunan daerah yang tidak menghiraukan manfaat langsung yang dirasakan masyarakat, karena beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan arahan dari Pemerintahan Pusat.

Kritik yang muncul selama ini adalah Pemerintahan Pusat terlalu dominan terhadap Daerah. Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan Pemerintahan Pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah. Pemerintahan Daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Otonomi yang selama ini diberikan tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian Daerah, tetapi justru ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah Pusat.

Besarnya arahan (campur tangan) dari Pemerintahan Daerah didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena alasan kondisi sumber daya manusia daerah yang dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan itu, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.

Sebenarnya apa yang tercantum dalam UU Nomor 25 tahun 1999 junto UU Nomor 33 Tahun 2004 berikut peraturan-peraturan pemerintah yang mengikutinya mendefinisikan desentralisasi fiskal di Indonesia lebih sebagai desentralisasi kewenangan pengeluaran dibanding desentralisasi kewenangan pemungutan. Hal ini tampak jelas dari tidak berubahnya secara signifikan local taxing power dari daerah-daerah otonom seperti tercantum dalam UU 34/2000. UU tersebut hanya mengatur jenis-jenis pajak dan retribusi yang boleh dipungut pemerintahan Kabupaten/kota dan Propinsi.

Memang ada pasal dalam UU tersebut yang menyatakan bahwa setiap daerah boleh mengusulkan jenis pajak baru sepanjang ditunjang oleh Perda dan tidak mendapat veto dari pemerintahan pusat. Mengingat bahwa pajak-pajak seperti PPh dan PPn adalah pajak pusat ditambah dengan persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam UU 34/2000, akan sangat sulit bagi suatu daerah untuk mendapatkan sumber penerimaan yang signifikan dari jenis pajak baru yang diusulkannya tersebut. Alternatif dari peningkatan local taxing power belum dimungkinkan dalam UU tersebut (Bachrul Elmi : 2002).

Dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:

(a)     Pendapatan asli daerah;

(b)     Dana perimbangan;

(c)     Pinjaman daerah; dan

(d)     Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan asli daerah berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan dana perimbangan terdiri atas bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

Sumber penerimaan daerah yang lain adalah bagi hasil dari penerimaan beberapa pajak pemerintah pusat. Saat ini yang sudah dibagi-hasilkan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Pemilikan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) seperti tercantum dalam UU 25/1999 junto UU 33/2004. Sumber penerimaan dari kedua bagi hasil pajak ini tidak terlalu signifikan bagi sebagian besar daerah di Indonesia, kecuali mungkin untuk Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.

Satu jenis pajak lagi yang akan dibagi-hasilkan adalah PPh perseorangan di mana 20% penerimaannya akan dikembalikan ke daerah yang bersangkutan. Berbeda dengan PBB dan BPHTB, bagi hasil PPh perseorangan ini tidak tercantum dalam UU 25/1999 junto UU 33/2004 dan baru dikemukakan dalam revisi UU tentang PPh. Khususnya, masih ada sedikit keraguan pada pemerintahan daerah untuk memasukkan perkiraan bagi hasil tersebut di dalam APBD. Kalaupun akhirnya dimasukkan, mereka memasukkan jumlah di bawah perkiraan yang dilansir pemerintahan pusat. Dengan distribusi penerimaan PPh perseorangan yang sangat tidak merata di mana sekitar 60% total penerimaan pajak tersebut berasal dari Jakarta, sulit diharapkan bagi hasil pajak ini akan memberikan kontribusi signifikan bagi sebagian besar daerah di Indonesia.

            Adapun Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah specific purpose grant dimana daerah hanya boleh menggunakan dana tersebut untuk keperluan tertentu yang sudah disepakati dengan pemerintah pusat. Disisi lain, Dana Alokasi Umum (DAU) adalah general purpose grant dimana daerah berhak menentukan sendiri penggunaan alokasi dana yang mereka terima dari pemerintah pusat tersebut. Alokasi DAU ke semua kabupaten/kota dan propinsi sudah ditentukan dengan PP 104/2000 dan Keputusan Presiden yang menjelaskan secara rinci alokasi per daerah. Sebagaimana diketahui bahwa yang muncul dengan alokasi DAU sekarang adalah banyaknya daerah yang merasa bahwa alokasi yang mereka terima tidak cukup untuk membayar gaji pegawai mereka plus gaji pegawai pusat yang didaerahkan.

DAU menjadi kontroversi, lebih karena ketidakpuasan beberapa daerah yang merasa alokasi yang mereka terima tidak cukup untuk membayar pengeluaran pegawai mereka, baik pegawai daerah maupun pegawai limpahan dari pusat. Concern yang muncul lebih pada alokasi untuk daerah dan belum menyentuh pada efek dari desentralisasi fiskal itu sendiri pada kesinambungan fiskal nasional. Muncul anggapan bahwa desentralisasi fiskal yang berlangsung saat ini akan memberikan pengaruh terhadap APBN kurang lebih sama dengan skema masa lalu dengan subsidi daerah otonom (SDO) dan instruksi presiden (INPRES).

Menilik kenyataannya di lapangan, ternyata banyak daerah yang mengajukan klaim kepada pusat yang menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum yang mereka terima tidak mencukupi untuk membayar gaji pegawai apalagi untuk membangun daerah. Alasannya, karena limpahan pegawai instansi pusat dan pegawai provinsi yang berubah status menjadi pegawai kabupaten/kota jumlahnya demikian besar bahkan menurut informasi pengalihan pegawai provinsi di beberapa daerah belum disertai dengan penyerahan pembiayaannya, sehingga untuk menyelesaikan masalah kekurangan DAU itu DPR dan Pemerintah perlu melakukan pengkajian secara mendalam permasalahannya untuk kemudian menemukan prioritas daerah-daerah mana yang akan memperoleh tambahan DAU.

Untuk mengeliminir kemungkinan terjadinya proses serta ketidakpuasan daerah berkenaan dengan alokasi Dana Perimbangan-nya, dan juga dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap alokasi Dana Perimbangan itu sendiri, maka DPR RI melalui Panitia Anggaran pada saat melaksanakan RAKORBANGNAS tanggal 21 Oktober 2002 telah menetapkan rumusan formula Dana Perimbangan untuk Tahun Anggaran  berikutnya. (www.bappenas.go.id).

Berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 junto UU No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 17 tahun 2000, juga telah jelas digariskan secara normatif tentang persentase pembagian hasil penerimaan pemerintah pusat dan daerah, yang secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut :

 

Tabel 1.1.   Prosentase  Pembagian Hasil Penerimaan Pemerintah Pusat dan  Daerah

Sumber Penerimaan

Pusat

(%)

Prop.

(%)

Kab/Kota

(%)

Bagi rata

(%)

Pajak Bumi dan Bangunan

-

16,3

64,8

19

BPHTB

20

16,2

64

20

Iuran Hasil Hutan

20

16

64

-

PSDH / IHPH

20

16

32

12

Landrent

20

16

64

-

Royalti Pertambangan Umum

20

16

32

32

Perikanan

85

3

6

6

Minyak

70

6

12

12

Gas Alam

60

6

40

-

Dana Reboisasi

80

8

12

-

PPh

80

8

12

-

 

Dari uraian di atas, tampaknya sudah cukup jelas bahwa proses otonomi daerah saat ini yang melibatkan desentralisasi fiskal akan menciptakan pertimbangan baru keuangan pusat dan daerah dengan berbagai konsekuensinya terhadap manajemen Keuangan Daerah maupun kepada APBD. Namun demikian, masih kerap terdengar nada sumbang dilontarkan oleh banyak kalangan sebagai cermin rasa pesimistis terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah. Itu semua berpangkal dari implementasi kebijakan (mis: implementasi Dana Perimbangan) yang jauh melenceng dari koridor kaidah normatif yang telah digariskan oleh Undang-Undang maupun produk hukum lainnya. Apa yang terjadi di lapangan, sangat jauh dari apa yang diharapkan data yang diidealkan. Tak jarang, fenomena tersebut akan menggiring pada lahirnya penilaian bahwa Desentralisasi Fiskal (setidaknya untuk saat ini) hanya merupakan retorika Otupis belaka.

Sementara itu, untuk perolehan Dana Perimbangan Kabupaten Blitar khususnya mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) pada tahun anggaran 2008 dan  tahun anggaran 2009 berturut-turut diperoleh sejumlah Rp. 634.378.020.000,- dan Rp. 629.881.991.000,-. Angka yang cukup signifikan untuk ukuran selevel Kabupaten Blitar, sehingga sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang dampak dan kontribusi dana tersebut terhadap struktur, komposisi dan kinerja APBD Kabupaten Blitar terutama pada era desentralisasi fiskal dewasa ini.

Untuk mengetahui dan menganalisis tentang implementasi kebijakan yang berkaitan dengan Dana Perimbangan serta hubungannya dengan APBD (Anggaran Pcndapatan dan Belanja Daerah) dan Desentralisasi Fiskal inilah, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tajuk “ANALISIS IMPLEMENTASI DANA PERIMBANGAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) DALAM RANGKA DESENTRALISASI FISKAL

Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger