Runtuhnya rezim orde baru yang ditandai dengan
turunnya Presiden Soeharto dari kekuasaan pada tahun 1998 telah membawa
berbagai perubahan mendasar bagi kehidupan politik di Indonesia. Amandemen UUD
1945 merupakan produk masa transisi pasca orde baru tersebut yang mempunyai
implikasi amat luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di bidang
politik. Selain itu pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti
menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur Otonomi Daerah
juga membawa implikasi mendasar dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Salah
satu institusi yang mengalami dampak mendasar akibat pemberlakuan UU No. 32
Tahun 2004 itu adalah kecamatan. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut kecamatan
tidak lagi merupakan suatu wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai
satuan wilayah kerja atau pelayanan. Status kecamatan kini merupakan perangkat
daerah kabupaten/kota yang setara dengan dinas dan lembaga teknis daerah,
bahkan setara dengan kelurahan. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 120
ayat (2) dari UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, yakni : “Perangkat daerah
kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah,
lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan”.[1]
Sejalan
dengan itu, camat tidak lagi ditempatkan sebagai kepala wilayah dan wakil
pemerintah pusat seperti dalam UU No. 5 Tahun 1974, melainkan sebagai perangkat
daerah. Camat merupakan “perpanjangan
tangan” bupati. Seperti dikatakan
Kertapradja (2007) bahwa:
“Camat tidak lagi
berkedudukan sebagai kepala wilayah kecamatan dan sebagai alat pemerintah pusat
dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi, namun telah beralih menjadi
perangkat daerah dalam lingkungan wilayah kecamatan”.[2]
Dilihat
dari sumbernya, kewenangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu
kewenangan atributif dan kewenangan delegatif. Kewenangan atributif adalah
kewenangan yang melekat dan diberikan kepada suatu institusi atau pejabat
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewenagan delegatif adalah
kewenagan yang berasal dari pendelegasian kewenangan dari institusi atau
pejabat yang lebih tinggi tingkatannya.[3]
Dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, camat selain menerima kewenangan yang
bersifat delegatif juga memiliki kewenagan yang bersifat atributif. Hal ini
juga diperjelas dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat
(2). Dalam Pasal 126 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (3), atau dalam PP Nomor 19
Tahun 2008 pada Pasal 15 ayat (1), tugas umum pemerintahan yang dimaksud yang
juga merupakan kewenagan atributif meliputi:[4]
a.
Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b.
Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum;
c.
Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan;
d.
Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas
pelayanan umum;
e.
Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di
tingkat kecamatan;
f.
Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau
kelurahan; dan
g.
Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup
tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau
kelurahan.
Kemudian
dalam Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 dijelaskan bahwa :” Selain tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) camat melaksanakan kewenangan pemerintahan
yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi
daerah, yang meliputi aspek:
a.
Perizinan;
b.
Rekomendasi;
c.
Koordinasi;
d.
Pembinaan;
e.
Pengawasan;
f.
Fasilitasi;
g.
Penetapan;
h.
Penyelenggaraan; dan
i.
Kewenangan lain yang dilimpahkan.”
Sedangkan
pada ayat (5) Pasal 15 PP Nomor 19 Tahun 2008 lebih jauh menegaskan tentang
ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang camat diatur
dengan peraturan bupati/walikota. Perubahan pada UU No. 32 Tahun 2004 yang
memberikan kewenagan kepada camat antara lain kewenagan atributif dan kewenagan
delegatif dipandang sebagai penyempurnaan atas UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No.
22 Tahun 1999.[5]
Kecamatan
Sumarorong merupakan salah satu kecamatan yang sedikit telah mengalami
pertumbuhan dan kemajuan dalam berbagai bidang bila dibandingkan beberapa
kecamatan yang terdapat di Kabupaten Mamasa. Secara umum, masyarakat Sumarorong
merupakan masyarakat yang bercorak agraris, bidang pertanian merupakan ujung
tombak sistem ketahanan pangan masyarakat meskipun di bidang lain seperti
perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan sebagainya juga menjadi
prioritas dalam sistem kehidupan masyarakat Sumarorong. Dari segi Sumber Daya
Alam (SDA), Sumarorong dapat dianggap sebagai kecamatan yang potensial dalam
sistem otonomi daerah saat ini.
Camat
sebagai ujung tombak pemerintah daerah secara jelas dalam UU No. 32 Tahun 2004
Pasal 126 ayat (3) menyatakan bahwa camat menjalankan tugas umum pemerintahan
yang dalam pembahasan di atas disebut sebagai kewenangan atributif. Camat
diharapkan mampu melihat potensi wilayah yang dimiliki dan ikut
bertanggungjawab dan bertugas dalam hal kemajuan masyarakat dan lingkungan
wilayah kerjanya. Persoalannya adalah kewenangan yang dimiliki camat dalam
menjalankan tugas umum pemerintahan lebih banyak hanya sebatas
mengkoordinasikan. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan
Sumarorong, pelaksanaan tugas dan tanggungjawab camat lebih banyak mengarah
pada suatu posisi camat yang tidak startegis dalam pengambilan keputusan. Camat
menafsirkan bahwa posisinya yang hanya sebatas dikoordinasikan dan
mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan dalam wilayah kecamatan menyebabkan
pelaksanaan tugas yang tidak jelas. Sebagai cantoh: pelaksanaan tugas dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat, penegakan peraturan perundang-undangan,
ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan, dan pelayanan kepada masyarakat
telah terbagi habis pada semua UPTD, Instansi Vertikal, dan SKPD yang ada di
daerah sehingga posisi camat dalam menjalankan kewenangan oleh undang-undang
pun tidak terlalu rinci. Konsekuensinya adalah pelaksanaan kewenangan camat
sebagai pimpinan SKPD kecamatan tidak terlalu nampak dan dirasakan oleh
masyarakat.
Permasalahan pelaksanaan kewenangan atributif yang kini
dimiliki oleh camat menarik menjadi suatu fokus masalah penelitian untuk
mengetahui seberapa jauh camat berpengaruh terhadap penyelenggaraan
pemerintahan kecamatan. Dengan demikian judul “Studi Pelaksanaan Kewenagan
Camat Di Kecamatan Sumarorong (Studi Kasus Pelaksanaan Kewenagan Atributif)”
diharapkan memberikan gambaran yang real tentang pelaksanaan kewenangan camat
di era otonomi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar