Dikaitkan dengan pemerintahan desa/marga yang keberadaannya
adalah berhadapan langsung dengan masyarakat maka sejalan dengan otonomi daerah
yang dimaksud, upaya untuk memberdayakan (empowering) Pemerintahan desa harus
dilaksanakan dan tidak dapat ditunda-tunda lagi. Salah satu ciri pelayanan yang
baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi yang memerlukan karena cepat, mudah,
dan bila ada biaya maka harus ada kepastian dapat terjangkau.
Disamping itu pelayanan harus relatif dekat dengan yang
memerlukannya, posisi Pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat adalah
pemerintah Desa. Sedangkan dari segi pengembangan peran serta masyarakat , maka
Pemerintah Desa selaku Pembina, pengayom dan pelayan kepada masyarakat yang sangat
berperan dalam menunjang mudahnya digerakkan untuk berpartisipasi.
Penyelenggaraan Pemerintahan desa merupakan subsistem dalam
sistem penyelenggaraan Pemerintahan Nasional sehingga desa memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Landasan pemikiran dalm
pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi,
Otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan mayarakat.
Pada masa reformasi
Pemerintahan Desa diatur dalam UU No. 22/1999 yang diperbarui menjadi
32/2004 Jo.Undang-Undang No.12 tahun 2008 tentang
Pemerintahan Daerah sebagi perubahan keduanya, khususnya pada Bab XI pasal 200
s/d 216. Undang-undang ini berusaha mengembalikan konsep, dan bentuk Desa seperti asal-usulnya yang tidak diakui
dalam undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 5/1979. Menurut undang-undang
ini, Desa atau disebut dengan nama lain,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memilik kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat yg diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada
di Daerah Kabupaten. Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan
memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan
Pemerintah Kabupaten dan DPRD.
Adapun yang dimaksud dengan istilah desa dalam hal ini
disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya masyarakat setempat seperti Nagari,
Kampung, Huta, Bori dan Marga. Sedangkan yang dimaksud dengan asal-usul adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya.
Secara substantif undang-undang ini menyiratkan adanya upaya
pemberdayaan aparatur Pemerintah Desa dan juga masyarakat desa. Pemerintahan
Desa atau dalam bentuk nama lain seperti halnya
Pemerintahan Marga, keberadaannya adalah berhadapan langsung dengan
masyarakat, sebagai ujung tombak pemerintahan yang terdepan. Pelaksaaan
otonomisasi desa yang bercirikan
pelayanan yang baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat yang
memerlukan karena cepat, mudah, tepat dan dengan biaya yang terjangkau, oleh
karena itu pelaksanaan di lapangan harus didukung oleh faktor-faktor yang
terlibat dalam implementasi kebijakan tentang Desa tersebut.
Posisi Pemerintahan Desa yang paling dekat dengan masyarakat adalah
Pemerintah Desa selaku pembina, pengayom, dan pelayanan masyarakat sangat
berperan dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Desa.Penyelenggaraaan Pemerintahan Desa merupakan sub sistem dalam
penyelenggaraan sistem Pemerintahan Nasional, sehingga Desa memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Adapun landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah desa selain menjalankan tugasnya dalam bidang
Pemerintahan dan bidang Pembangunan, pemerintah desa juga melaksanakan tugas
pemerintahan dalam bidang kemasyarakatan. Dimana dalam bidang kemasyarakatan,
kepala desa dan perangkat desa berperan aktif dalam menangani tugas dalam
bidang kemasyarakatan ini.Pemerintah Desa turut serta dalam membina masyarakat
desa, seperti yang kita ketahui Pemerintah desa mempunyai kewajiban menegakan
peraturan perundang-undangan dan memelihara ketertiban dan kententraman
masyarakat. Ketertiban adalah suasana yang mengarah kepada peraturan dalam
masyarakat menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan motivasi bekerja
dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
Semenjak gerakan reformasi digulirkan, beberapa tuntutan
perubahan terjadi secara besar-besaran. Di berbagai sektor kehidupan
menghendaki adanya proses penyesuaian menuju tata sosial, politik, ekonomi dan
sosial budaya yang lebih baik. Cara-cara demokratis yang mencakup semangat
toleransi, pluralisme, penghargaan atas minoritas, kebersamaan dan pengembangan
lokalitas mulai menguat kembali. Persoalannya adalah transformasi atas
perubahan baru ini ternyata justru tidak berjalan secara cepat, tepat dan
relative normal. Justru berbagai fakta membuktikan bahwa masa transisi
cenderung mengisyaratkan adanya benturan-benturan baru.
Berbagai harapan optimisme positif atas perubahan itu ternyata tersirat pula sejumlah keraguan dan kebimbangan, terutama jika menyaksikan rangkaian persoalan konflik sosial berbasiskan etnik, suku, agama antar golongan (Sara) b antar kelompok warga komunitas bertubi-tubi terjadi. Demikian juga bencana alam dan gempa bumi susul menyusul, banjir tahunan yang sekarang tidak lagi tahunan bahkan cenderung lebih sering datang, Bukan saja melahirkan korban materi dan nyawa yang tidak berdosa yang ribuan jumlahnya, juga ketakutan secara psikologis massa terus menghantui. Kuat dugaan, fenomena ini terjadi akibat kuatnya ketergantungan warga terhadap otoritas atau kekuasaan dan disisi lain hilangnya kemandirian warga dalam menyelesaikan persoalan sosial.
Berbagai harapan optimisme positif atas perubahan itu ternyata tersirat pula sejumlah keraguan dan kebimbangan, terutama jika menyaksikan rangkaian persoalan konflik sosial berbasiskan etnik, suku, agama antar golongan (Sara) b antar kelompok warga komunitas bertubi-tubi terjadi. Demikian juga bencana alam dan gempa bumi susul menyusul, banjir tahunan yang sekarang tidak lagi tahunan bahkan cenderung lebih sering datang, Bukan saja melahirkan korban materi dan nyawa yang tidak berdosa yang ribuan jumlahnya, juga ketakutan secara psikologis massa terus menghantui. Kuat dugaan, fenomena ini terjadi akibat kuatnya ketergantungan warga terhadap otoritas atau kekuasaan dan disisi lain hilangnya kemandirian warga dalam menyelesaikan persoalan sosial.
Berkaca dari domain itu, kiranya urgensi mengungkap kembali
unsur-unsur nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial menjadi sangat penting. Kembali
kita ingat semangat Kesetiakawanan Sosial, mencapai “keemasan” kalau boleh dibilang pada zaman Orde Baru.
Karena pada rezim itu pada tataran Kebijakan Makro dan promosi sanga gencar
dilakukan, walaupun dilakukan dalam untaian “seremonial” belum sampai menyentuh aplikasi lapisan akar
rumput (grass root). Namun paling tidak telah menggugah “kesadaran warga yang
juga merupakan nilai-nilai yang terkandung dalam Kesetiakawanan Sosial. Hal ini
terbukti berbagai pengalaman menunjukkan bahwa, sebenarnya prinsip-prinsip
dasar Kesetiakawanan Sosial kemasyarakatan justru terbukti berhasil mewujudkan
Kohesi dan Integrasi Sosial, bahkan memecahkan persoalan sosial dilapisan akar
rumput.
Namun nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial warga masyarakat itu
kelihatan mulai pudar, jika tidak boleh disebut nyaris punah. Persoalannya
adalah bagaimana Kesetiakawanan Sosial (nilai-nilai) itu digali kembali dalam
konteks masyarakat pluralis dan realitas perubahan seperti saat ini.Ini memang
bukan pekerjaan mudah, namun kiranya kita mencoba mengeksplore nilai-nilai sosial
yang mungkin mendasari Kemasyarakatan Sosial berdasarkan pengalaman-pengalaman
praktis ketika menangani suatu Problem Sosial yang terjadi di masyarakat.
Maka dari itu
berdasarkan latar belakang diatas, dilakukanlah penelitian dengan Judul “Analisis Pelaksanaan Kewenangan
Pemerintahan Desa dalam Bidang Kemasyarakatan di Desa ....... Kecamatan ............ Kabupaten ...........
saya butuh ini gan!!
BalasHapus