Analisis Pengaruh Ldr, Npl Dan Car Terhadap Risiko Likuiditas Pada Bank Pembangunan Daerah (Bpd) Se-Indonesia Tahun 2007-2011 (95)

Pelaksanaan program pembangunan Indonesia diadakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tujuan tersebut diwujudkan melalui peningkatan pendapatan dengan berbagai kegiatan yang produktif untuk menciptakan perekonomian yang stabil. Stabilitas perekonomian Indonesia membutuhkan ketersediaan dan peran serta lembaga keuangan. Pada saat ini terdapat dua jenis lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian adalah lembaga keuangan bank. Peran strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama perbankan sebagai financial intermediary,  yaitu sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien.
Diketahui bahwa industri perbankan di Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataaan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan rakyat banyak (Hasibuan, 2007: 4).
Menurut Bank Indonesia, pada tahun 2010 jumlah aset berdasarkan sektor keuangan di Indonesia masih didominasi oleh industri perbankan. Diketahui bahwa bank umum komersial masih tetap unggul dengan pangsa sekitar 79,5% dari total aset sektor keuangan. Sementara, pangsa industri keuangan lainnya seperti Bank Perkreditan Rakyat (1,1%), perusahaan asuransi (8,8%), dana pensiun (3,1%), perusahaan pembiayaan (4,4%) perusahaan sekuritas (2,7%) dan pegadaian (0,4%) relatif rendah.
Prestasi sektor perbankan terus menunjukkan kinerja yang cemerlang di tahun 2011. Realisasi kinerja perbankan telah membuktikan bahwa fundamental ekonomi dan perbankan nasional tetap kuat ditengah gejolak krisis global yang melanda. Kekuatan itu juga tercermin pada stabilitas sistem perbankan nasional yang tetap terjaga dengan baik, hal itu terbukti pada kuartal ketiga tahun 2011 laba bersih yang tercatat di bank terkemuka Indonesia sudah tumbuh rata-rata 35%.

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Visi API (Arsitektur Perbankan Indonesia), yaitu menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menjaga kestabilan sistem keuangan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Triandaru dan Budisantoso, 2008: 26).
Fungsi bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara. Oleh karena itu, keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi. Kepercayaan masyarakat juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup atau alat likuid untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya dalam waktu bersamaan.
Usaha perbankan haruslah dijaga keberlangsungannya. Tingkat likuiditas yang baik merupakan salah satu indikator agar usaha perbankan dapat berjalan.Pengelolaan likuiditas merupakan masalah yang cukup kompleks dalam kegiatan operasional bank. Bank yang sehat adalah bank yang mampu menjaga keberlangsungan usahanya serta dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak yang berkepentingan. Sulitnya pengelolaan likuiditas tersebut disebabkan dana yang dikelola bank sebagian besar adalah dana masyarakat yang sifatnya jangka pendek dan dapat ditarik sewaktu-waktu.
Keadaan likuiditas bank yang baik ialah ketika suatu bank memiliki jumlah aset likuid yang dapat menutupi kewajiban jangka pendek dan penarikan dana oleh deposan. Sebagai lembaga perbankan, di satu sisi bank harus menjaga penarikan dana dari sumberdana yang dititipkannya seperti giro, deposito, tabungan, dan lainnya. Sementara di sisi lain bank harus menjaga penarikan permintaan dana seperti kredit yang diberikan,pembelian peralatan dan lainnya (Rusyamsi, 1999: 37).
Di Indonesia ada beberapa jenis bank, namun jika ditinjau dari segi  kepemilikannya, maka jenis bank yang tergolong di dalamnya ialah Bank BUMN, Bank Pemerintah Daerah (BPD), Bank Milik Swasta Nasional, Bank milik Swasta Campuran, dan Bank Milik Asing (Dendawijaya, 2009:15).
Bank milik Pemerintah Daerah atau yang umum dikenal dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan jenis bank yang tergolong berperan aktif dalam menunjang kegiatan pembangunan nasional dan regional di Indonesia. Hal tersebut dapat diukur dari kinerja BPD selama tahun 2011 yang mengalami perbaikan. Sejauh ini bila dilihat dari segi keuntungan sudah cukup signifikan pertumbuhannya. Namun, dari segi peran pembiayaan di daerah masing-masing memang masih bervariatif, hal ini dikarenakan ada BPD yang masih besar porsinya memberikan kredit konsumsi yang tentunya tingkat pengembaliannya berdampak pada likuiditas BPD itu sendiri. Selain itu, kendala lain yang menghambat pertumbuhan BPD adalah minimnya modal yang dimiliki BPD saat ini. Namun kendala ini diharapkan menjadi pendorong BPD untuk terus meningkatkan kinerja perbankan sehingga BPD dapat bersaing dengan bank-bank umum lainnya.
Menurut laporan tahunan BPD Jateng, diketahui bahwa kepemilikan aset oleh BPD seluruh Indonesia hingga bulan November 2011 mencapai Rp100.210 miliar atau 8% dari total keseluruhan aset kelompok bank yang terdiri dari Persero (40%), BUSN Devisa (35%), BUSN Non Devisa (9%), BPD (8%), Campuran (5%) dan Asing (3%). Dengan perolehan tersebut, BPD menduduki peringkat ke empat dalam hal perolehan aset.
Jika ditinjau dari laporan keuangan masing-masing bank, pada tahun 2011 terdapat 4 BPD sebagai penyumbang total aset terbesar, yaitu secara berurutan Bank BJB, Bank Jatim, Bank Jateng, dan Bank Kaltim. Namun, ternyata tingkat likuiditas yang dimiliki oleh ke-4 Bank tersebut beragam, ada yang tergolong aman sepertiBank Jatim(80,11%), ada yang tergolong tidak aman seperti Bank BJB (72,95%), Bank Jateng (70.17%), dan Bank Kaltim (59.95%).Di sisi lain, terdapat Bank Sulselbar dengan total aset berada pada urutan ke-13 namun memiliki tingkat likuiditas yang aman yaitu 101.93% juga pada Bank NTB yang total asetnya berada pada peringkat ke-22,memiliki tingkat likuiditas 101.45%.
Data di atasmenunjukkan bahwa dengan memiliki total aset yang tinggi, bukan berarti suatu bank memiliki tingkat likuiditas yang aman pula, hal ini dipengaruhi oleh aset yang dimiliki oleh bank tidak semuanya tergolong lancar, ada yang tingkat pengembaliannya dalam jangka waktu yang lamadan berisiko tidak kembali, misalnya pemberian kredit.
Pada tahun 2011, Bank Kaltim yang memiliki aset terbesar ke-4 juga berada pada urutan ke-4 pada pemberian kredit diantara seluruh BPD. Bank ini memiliki tingkat kredit macet sebesar 2.9%, dibandingkan dengan Bank Sulsebar dengan urutan ke-13 pada pemberian kredit, hanya memiliki tingkat kredit macet  sebesar 1.8%.  Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian kredit yang tinggi, maka cenderung akan mempengaruhi tingkat kredit macet yang tinggi pula. Namun, tidak semua bank akan mencari keuntungan dengan mengalirkan sebagian besar asetnya ke pemberian kredit,karena pengembalian pokok dan bunga kredit oleh masyarakat tergolong lama dan berisiko tidak kembali yang tentunya akan mempengaruhi likuiditas bank tersebut.
 Hal ini ditunjukkan dengan tingkat aktiva tertimbang menurut risiko pada Bank Sulsebar pada tahun 2011, yaitu sebesar 23.62%, yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Kaltim (18.45%). Berarti Bank Sulselbar lebih berhati-hati dalam pengelolaan aktivanyaagarlikuiditasnya tetap berada pada tingkat aman.
Pendapatan terbesar suatu bank berasal dari pendapatan bunga atas kredit yang diberikan ke masyarakat. Pendapatan lain juga berasal dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Semakin besarnya penyaluran dana dalam bentuk kredit dibandingkan dengan deposito (simpanan masyarakat) pada suatu bank, maka akan membawa konsekuensi semakin besarnya risiko likuiditas yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan.
Dalam satu setengah dekade terakhir ini, para bankir baru menyadari bahwa sebuah bank berada pada bisnis berisiko. Mereka menyadari bahwa dalam menjalankan fungsi menawarkan jasa-jasa keuangan, bank harus mengambil atau menerima dan mengelola berbagai jenis risiko secara efektif agar dampak negatifnya tidak terjadi. Sebelum kesadaran akan perlunya suatu manajemen risiko ini muncul, hampir semua bank berpendapat bahwa risiko harus dihindari atau diminimalisir (Tampubolon, 2004: 4).
Bank Indonesia mendefinisikan risiko sebagai potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian bank. Menurut Bank Indonesia terdapat beberapa klasifikasi risiko yang kemungkinan dihadapi oleh industri perbankan, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, risiko likuiditas, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.         
Risiko bank merupakan kombinasi dari tingkat kemungkinan sebuah peristiwa terjadi disertai konsekuensi (dampak) dari peristiwa tersebut pada bank. Dampak yang muncul ialah dampak yang menguntungkan atau mengancam sebuah kesuksesan.
Risiko tingkat bunga merupakan risiko yang dapat merugikan dan menguntungkan. risiko kredit dan risiko operasional juga dapat dikategorikan sebagai risiko dua arah.Sedangkan Risiko Likuiditas merupakan risiko dengan satu arah ke bawah atau disebut dengan risiko yang merugikan (Tampubolon, 2004: 21).Risiko yang terberat yang kerap menjadi awal dari terjadinya likuidasi ialah risiko likuiditas (Ali, 2004: 246).
Risiko likuiditas adalah eksposur yang timbul antara lain karena bank tidak mampu memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Krisis pembiayaan ini dapat timbul karena pertumbuhan bank atau ekspansi kredit di luar rencana, adanya peristiwa tak terduga seperti penghapusan (charge off) yang signifikan, hilangnya kepercayaan dari masyarakat sehingga menarik dana mereka dari bank, atau bencana nasional seperti devaluasi mata uang rupiah yang sangat besar (Tampubolon, 2004:26).Bank harus terus memantau posisi likuiditas dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Memiliki jumlah aset dan dana pihak ketiga yang cukup baik belum tentu tidak berpengaruh terhadap terjadinya risiko likuiditas pada suatu bank, karena bank dapat dinilai rentan terhadap risiko likuiditas yaitu dengan cara melihat apakah bank tersebut memiliki aset lancar yang melebihi kewajiban jangka pendeknya dan memenuhi penarikan dana oleh deposan. Berikut data tingkat risiko likuiditas yang ada pada beberapa BPD yang memiliki beragam aset lancar, dana pihak ketiga dan kewajiban jangka pendek pada tahun 2011.
Semakin tinggi angka risiko likuiditas maka semakin likuid bank tersebut Kasmir (2007: 268). Berdasarkan data di atas, secara berurutan bahwa Bank Kaltim, Bank Riaukepri, dan Bank Jateng memperlihatkan angka risiko likuiditas yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa ketiga bank tersebut memiliki keadaan likuiditas yang aman, karena masing-masing bank tersebut memiliki aset lancar yang tergolong tinggi yang dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang tergolong rendah. Jumlah aset lancar yang tersisa setelah membayar kewajiban jangka pendek tersebut berkisar 40% lebih dari jumlah dana pihak ketiga awal yang dihimpun oleh bank, hal itu menunjukkan bahwa dengan aset  lancar yang tersisa, bank masih mampu memenuhi penarikan dana sewaktu-waktu oleh deposan.
Disusul oleh Bank DKI dan Bank BJB yang memiliki sisa aset lancar secara berurut sebesar 36% dan 22%dari dana pihak ketiga awal yang dihimpunnya setelah membayar beberapa kewajiban jangka pendeknya yang tergolong tinggi. Dan terakhir ialah Bank Sulselbar, dapat dilihat bahwa aset lancar yang dimiliki Bank Sulselbar tergolong kecil dengan jumlah kewajiban jangka pendek yang lumayan besar untuk ditutupi, jadi sisa aset lancar yang dimiliki (19% dari dana pihak ketiga yang dihimpun) tergolong rendah untuk menutupi penarikan dana oleh deposan.
Pembahasan risiko likuiditas ini, dicakup dalam Pilar 2 Basel II Accord, dimana salah satu diantara jenis–jenis risiko yang diantisipasi dalam perhitungan CAR ialah risiko likuiditas. Penting diingat, bahwa dengan penambahan modal bukanlah satu-satunya pilihan untuk dapat mangantisipasi risiko. Hal utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas manajemen risiko, yaitu antara lain melalui penetapan limit internal, pemeliharaan alat likuid yang cukup, serta perbaikan internal kontrol sebagaimana rekomendasi Basel di atas (Ali, 2004: 65).
Bank sangat mungkin mengalami keadaan tidak likuid (illiquidity) yakni ketika arus kas keluarnya (penarikan deposito oleh nasabah, pemberian kredit, dan lainnya) jauh lebih besar daripada arus kas masuk (Siahaan, 2009: 134). Namun perlu diperhatikan tentang pemberian sebuah kredit, bank tentu harus tetap menjaga likuiditasnya, karena kredit yang diberikan ke masyarakat berisiko macet, untuk itu pengukuran NPL sangatlah penting untuk menilai tingkat likuiditas suatu bank.
Begitupun dengan LDR, yang menggambarkan perbandingan antara besarnya jumlah pinjaman yang diberikan dengan jumlah dana masyarakat yang dihimpun serta modal sendiri yang dimiliki oleh bank. Semakin tinggi LDR suatu bank, maka bank tersebut akan mengalami kesulitan likuiditas dan sekaligus penurunan profitabilitas (Ali, 2004: 344). Menjaga tingkat likuiditas bagi sebuah bank agar terhindar dari risiko likuiditas sangat penting, karena likuiditas dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas bank yang bersangkutan.
Guna mencapai profitabilitas yang tinggi maka bank akan berusaha menggunakannya ke aset yang menghasilkan bunga yang tinggi, aset jangka panjang dan dengan harapan bahwa operasi harian akan tertutup dengan dana baru. Namun tindakan seperti ini sangat berisiko karena apabila dana yang telanjur digunakan tidak dapat ditarik, sedangkan dana baru yang diharapkan tidak tersedia, bagaimana suatu bank dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan memenuhi penarikan dana oleh deposan, pada akhirnya akan menimbulkan masalah likuiditas (Rusyamsi, 1999:38).
Dengan demikian perlu diketahui bagaimana pengelolaan likuiditas yang baik pada suatu bank agar terhindar dari kemungkinan terjadinya risiko likuiditas, dengan memperhatikan rasio-rasio keuangan yang berpengaruh terhadap keadaan likuiditas suatu bank. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pengaruh LDR ,NPL dan CAR Terhadap Risiko Likuiditas Pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) Se- Indonesia Tahun 2007-2011”.
 
Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger