Masalah kepemimpinan selalu menjadi bahan perdebatan orang dari masa ke
masa. Ini tidak lain karena kenyataan bahwa dalam kehidupan ini, kehadiran para
pemimpin memang sangat dibutuhkan. Pemimpin adalah sosok yang paling menjadi
sorotan dalam organisasi, karena keberhasilan dalam organisasi sangat
ditentukan oleh gaya dan seni memimpinnya.
Dalam kehidupan organisasi pun seorang pemimpin memainkan peranan yang
sangat dominan, apalagi dikaitkan dengan keharusan berinteraksi dengan
lingkungan yang selalu berubah dan berkembang, antara lain karena kemajuan
pesat yang terjadi dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang
sangat cepat itu didalamnya mengandung tantangan dan peluang, serta adanya
bebrapa ancaman dan hambatan yang harus dihadapi dan dicermati. Oleh karenanya
bagi seorang pemimpin, perkembangan tersebut bukan hanya harus diantisipasi,
melainkan juga harus dimanfaatkan.
Perubahan ini akan menjadi peluang bagi mereka yang inovatif dan
ancaman bagi mereka yang mempertahankan status quo. Menurut Friedman, dalam
Jhon Nirenberg (2003), dampak praktis dari globalisasi ini adalah penciptaan
sebuah kultur dunia yang mengancam destabilisasi pemerintahan, kebudayaan lokal
dan city-city lokal. Menurut Prawirokusumo (2001:103), untuk menghadapi
perubahan lingkungan, maka baik organisasi, perusahaan maupun industri, bahkan
bangsa dan negara harus mempunyai strategi global yang ditunjang oleh kesiapan
sumber dayanya.
Pengelolaan organisasi yang baik
seharusnya meliputi dua sisi, yaitu sisi formal (hard side) yang
meliputi struktur, visi, misi, strategi, sistem dan prosedur maupun sisi
informal (soft side) yang meliputi integritas, nilai etika, kompetensi,
komitmen dan kepemimpinan Syauqi M. Hanafi (2006 :64-65). Berdasarkan beberapa
studi yang telah dilakukan terbukti bahwa sisi informal organisasi memiliki
peran penting dalam menunjang kesuksesan organisasi. Lebih jauh dikatakan bahwa sisi informal
menjadi faktor strategis bagi kelangsungan hidup organisasi serta memperkuat
pelaksanaan sisi formal. Syauqi M.
Hanafi (2006: 64-65), mengemukakan bahwa sisi formal organisasi mengendalikan
kegiatan-kegiatan kerja secara semu serta hanya menjadi simbol ketimbang
substansi organisasi. Sisi informal yang
kuat menghindarkan organisasi dari kesalahan kesalahan ketika merumuskan dan menerapkan
strategi menjalankan bisnis dan kegiatan operasional.
Dengan
demikian agar pemanfaatan sumber daya
fisik dan modal yang ada menjadi optimal, para pemimpin organisasi perlu
mengelola sumber daya manusia secara efektif dengan berusaha mengarahkan perilaku SDM sesuai dengan tujuan organisasi.
Kahn, 1978 dalam Steers et.al., (1996), menyebutkan terdapat tiga perilaku SDM yang dibutuhkan oleh
suatu organisasi, yaitu: (1) SDM harus
memiliki komitmen terhadap organisasi, yaitu perasaan terlibat dalam organisasi dan tetap tinggal
dalam organisasi, (2) SDM harus menunjukkan kinerja sesuai dengan tugasnya (in role behavior), (3) SDM
harus menunjukkan kinerja melampaui peran in-role nya dengan menunjukkan
perilaku kerja yang kreatif, inovatif
dan spontan yang sering disebut sebagai extra role behavior. Ketiga
perilaku SDM tersebut merupakan sumber tercapainya efektivitas organisasi.
Secara umum pemimpin memiliki fungsi penting dalam menjalankan
pekerjaaannya dengan baik apabila :
1. Memberikan kepuasan terhadap kebutuhan
langsung kepada bawahannya.
2. Menyusun jalur pencapaian tujuan, untuk melakukan hal ini pimpinan perlu
memberikan pedoman untuk mencapai tujuan bersama dengan pemuasan kebutuhan para
karyawan.
3.
Menghilangkan hambatan-hambatan
pencapaian tujuan.
4.
Mengubah/mengarahkan tujuan karyawan,
sehingga tujuan mereka bisa berguna secara organisatoris (Husnan, 1989: 218).
Teori
kepemimpinan yang banyak mendapat perhatian dari para peneliti adalah gaya
kepemimpinan transformasional dan transaksional, Judge dan Bono (2000) dalam
Albrecht, (2005:2). Kedua gaya kepemimpinan tersebut meskipun berbeda namun
bersifat saling menggantikan (komplementer). Pemimpin transformasional
memotivasi pengikut dengan meningkatkan kepedulian pengikut terhadap pentingnya
nilai hasil (outcome) yang telah ditetapkan dan dengan
mentransformasikan nilai-nilai personal untuk mendukung tujuan atau visi
organisasi. Adapun pemimpin transaksional
berusaha menumbuhkan komitmen untuk mencapai tujuan dengan menetapkan
imbalan dan koreksi terhadap
penyimpangan dari kinerja yang telah ditetapkan. Efektivitas gaya
kepemimpinan transaksional dan transformasional dapat diukur dengan melihat
sejauh mana pengaruh kedua gaya kepemimpinan tersebut terhadap komitmen dan
kinerja karyawan (Brown, 2003).
Dengan kata lain kepemimpinan berorientasi perubahan (transformasional)
pada perilaku kerja atau gaya kerja dalam organisasi, yang berfokus pada
pertukaran (transaksional) antara pemimpin dan pengikut, dengan ditopang oleh
perilaku yang mengakibatkan transformasi organisasi. Ada banyak perilaku yang
mendukung kearah perubahan organisasi, diantaranya: motivasi, komitmen,
prestasi, loyalitas, dan lain-lain.
Komitmen
organisasional merujuk pada kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi organisasi dimana dia berada
dan terlibat didalamnya, Mowday (1979)
dalam Allen dan Meyer (1990). Menurut beberapa peneliti, pemimpin transaksional, mempengaruhi komitmen karyawan melalui kewenangannya dalam menetapkan rewards maupun
punishment ketika menilai
kinerja karyawan. Melalui balas jasa yang bersifat ekonomis, seorang
pemimpin mendorong karyawan agar tetap tinggal dalam organisasi karena
pertimbangan biaya yang harus ditanggung bila mereka keluar dari organisasi.
Sementara itu, pemimpin transformasional mempengaruhi komitmen pengikut melalui
adanya sikap kewajiban moral terhadap
organisasi dan hal tersebut diadopsi oleh pengikut mereka,
Lagomarsino dan Cardona (2003).
Kinerja
karyawan yang bisa dikaitkan dengan
kepemimpinan dan komitmen organisasional
adalah Oganizational Citizenship Behavior
(OCB). OCB didefinisikan sebagai
kemauan karyawan untuk bertindak melebihi tugas
yang diberikan kepada mereka
(Organ, 1990 dalam Jewett dan Scholar, 2003). Perilaku OCB meliputi
menolong sesama, suka rela melaksanakan pekerjaan tambahan, mematuhi aturan,
dan tidak mengeluh atas kondisi yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan ukuran
kinerja tradisional seperti produktivitas, OCB tidak dikaitkan dengan sistem
imbalan formal, artinya perilaku OCB
merupakan perilaku sukarela dari para karyawannya.
Sebuah organisasi yang sukses tentunya memerlukan
dukungan penuh dari para
karyawannya. Salah satu dukungan yang dapat diberikan oleh karyawan adalah menjadi seorang karyawan yang baik (good
citizen), bukan hanya dalam mengerjakan tugas dan
tanggung jawab pekerjaannya atau dalam perilaku intra role saja, namun
juga dalam perilaku extra role. Perilaku karyawan ini dikenal sebagai Organizational Citizenship Behavior
(OCB). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gonzales dan Garazo (2006), yang menemukan bahwa dengan
meningkatkan kepuasan karyawan akan dapat
meningkatkan Organizational
Citizenship Behavior karyawan
tersebut. Perilaku extra role terbukti dapat mendukung kesuksesan organisasi, seperti yang dikemukakan oleh DeGroot
dan Brownlee (2006).
Perilaku karyawan dalam sebuah organisasi tidak
hanya akan mempengaruhi efektifitas kinerja organisasi, namun
juga akan berpengaruh terhadap persepsi masyarakat terhadap pelayanan dari
organisasi yang bersangkutan. Bullgarella (2005) menyatakan bahwa seorang
karyawan yang puas adalah karyawan yang diberi kesempatan untuk berkembang, diberdayakan, dan diberi tanggung jawab untuk mengetahui, menyediakan dan
melayani kebutuhan masyarakat. Maka dari itu, kepuasan karyawan akan
mempengaruhi kepuasan masyarakat melalui energi positif dan kemauan karyawan
itu untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.
Beberapa perilaku
di luar peran utama karyawan diantaranya adalah kesediaan untuk membantu karyawan lain menyelesaikan
tugas-tugas yang berkaitan dengan
operasional organisasi tanpa ada paksaan, yang dikenal dengan sebutan altruism. Selain itu, kesediaan
karyawan untuk yang menunjukkan dukungan dan partisipasi sukarela
terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara professional maupun social
alamiah (civic virtue), kesediaan untuk medengarkan masalah-masalah yang dihadapi karyawan lain (sportsmanship),
kemampuan karyawan untuk
mengerjakan pekerjaan yang melebihi standard yang telah ditetapkan oleh
organisasi (conscientiousness) serta perilaku karyawan yang tidak
membuat isu-isu negatif dan mengganggu ketenangan karyawan lain (courtesy) akan
dapat meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan (Organ. 1988 dalam Gonzalez dan garazo. 2006). Organizational
Citizenship Behavior juga terbukti
akan dapat mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh Barksdale dan Werner (2001) bahwa In-role behavior dan altruism sebagai
salah satu dimensi dari OCB memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja
organisasi secara keseluruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar