Judul Penelitian : Pengaruh Iklim Organisasi, Etos Kerja Dan Disiplin Kerja Terhadap Efektivitas Kinerja Organisasi ...(Kode:130)
Era Otonomi Daerah ini, menjadi sangat monumental karena salah satu
perubahan yang mendasar adalah pergeseran paradigma pemerintahan, antara lain
kekuasaan sudah banyak diberikan kepada daerah melalui kebijakan otonomi
daerah, peranan DPRD tidak saja mitra eksekutif yang lemah, tetapi melaksanakan
fungsi secara yang seimbang. Peranan Legislatif (DPRD) adalah membuat regulasi,
dan mengontrol pelaksanaan kebijakan yang dijalankan eksekutif (pemerintah
daerah) baik melalui komisi, fraksi, maupun melalui alat kelengkapan DPRD
lainnya. Dalam logika
politik, DPRD bertugas menentukan kebijakan sedangkan eksekutif bertugas
melaksanakan kebijakan.
Pada masa orde baru, telah banyak tulisan
yang mengandung kritik terhadap keberadaan lembaga legislatif daerah (DPRD) dan
eksekutif daerah di Indonesia. Pada umumnya tulisan-tulisan itu (Rasjid, 1997;
Cipto, 1995; Thaib, 1994: Sri Soemantri, 1994) menyimpulkan bahwa DPRD lebih
banyak berperan sebagai mitra yang kurang seimbang dari Kepala Daerah yang juga
merangkap Kepala Wilayah. Kedudukan DPRD sebagai salah satu komponen pemerintah
daerah, sehingga dipandang sebagai faktor kelemahan dari badan yang
menyelenggarakan fungsi legislator daerah ini. Ada anggapan seolah-olah sebagai
mitra Kepala Daerah, tetapi DPRD lebih banyak dituntut untuk mengikuti saja arah
kebijakan pemerintah daerah yang sudah terlebih dahulu dirumuskan oleh Kepala
Daerah.
Dalam praktek pemerintahan di daerah
memang harus diakui bahwa Kepala Eksekutif (Kepala Daerah/Kepala Wilayah) memiliki
posisi yang sangat kuat. Dalam pencalonannya, ia dipilih oleh DPRD, tetapi ia
tidak diangkat oleh DPRD melainkan oleh pemerintah pusat. Bahkan dalam
peraturan perundangan yang berlaku saat itu ditegaskan bahwa walaupun jumlah
perolehan suara pemilihan atas calon-calon Kepala Daerah akan dipertimbangkan,
perolehan suara itu tidak mengikat pemerintah pusat dalam pengambilan
keputusan. Itulah sebabnya maka ada beberapa kasus dimana pemerintah pusat
menetapkan pengangkatan seorang Kepala Daerah dari seorang calon yang memperoleh
dukungan mayoritas. Pembenaran atas kebijakan seperti ini adalah karena Kepala
Daerah juga merangkap sebagai Kepala Wilayah.
Sejauh ini pengamatan peranan DPRD pada
masa orde baru hanya terbatas dalam pembahasan rancangan peraturan daerah saja.
Itupun tidak dapat dibanggakan karena umumnya prakarsa untuk mengajukan
rancangan peraturan daerah berasal dari pihak eksekutif/Kepala Daerah (Rasjid,
1977). Fakta menunjukkan bahwa selama
orde baru inisiatif mengajukan rancangan peraturan daerah semuanya datang dari
pihak pemerintah atau eksekutif (Sri Soemantri, 1994). Pada saat pembahasan
peraturan daerah, anggota DPRD jarang menggunakan hak-hak yang dimiliki karena
memang situasi kurang mendukung untuk itu. Oleh karena itu sering muncul
ungkapan DPRD hanya sebagai “tukang stempel” (blubber stamp) terhadap
peraturan daerah yang telah dirancang oleh eksekutif.
Gerakan reformasi yang terjadi di
Indonesia telah membawa perubahan terhadap kedudukan antara lembaga legislatif
dan eksekutif daerah. Reformasi di bidang politik yang ditandai dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 4
Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, dan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengubah pola hubungan
legislatif dan eksekutif daerah yang selama ini dipandang tidak seimbang.
Pola hubungan legislatif dan eksekutif
daerah menurut versi era reformasi sekarang ini didasarkan pada hubungan yang
demokratis (berdasarkan atas kerakyatan). Hubungan demokratis adalah hubungan
kekuasaan segitiga yang seimbang dan saling mengontrol antara rakyat (warga
negara yang berhak memilih wakil dan wadah-wadah yang mewakilinya), dan politisi
(anggota DPRD dan Kepala Daerah), serta birokrasi (PNS dan Tentara).
Melalui pemilihan umum yang lebih free
and fair, dan dibantu oleh partai politik peserta pemilu yang menawarkan calon-calon
wakil rakyat dan berbagai alternatif program dan kebijakan, rakyat menentukan
wakil-.wakilnya di DPRD dan, atau Kepala Daerah (secara langsung maupun tidak langsung)
yang akan membuat keputusan perihal kebijakan publik (APBD dan Peraturan Daerah
lainnya) bagi mereka. Karena itu para anggota DPRD bertanggung jawab kepada
konstituennya dan segala tindak tanduknya akan diawasi oleh wadah-wadah yang
dibentuk oleh rakyat, seperti lembaga parlemen, forum pemerhati pelayanan
publik, LSM dan organisasi kemasyarakatan. Sedangkan Kepala Daerah secara
politik bertanggung jawab kepada DPRD.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, lembaga
perwakilan rakyat (DPRD) merupakan unsur penting disamping unsur-unsur lainnya,
seperti sistem pemilihan, persamaan di depan hukum, kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan berserikat dan sebagainya. Setiap sistem demokrasi adalah
ide warga negara terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan
keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil pilihan
mereka di lembaga perwakilan (Sarjen, 1981).
Para anggota DPRD dan Kepala Daerah secara
bersama-sama merumuskan dan menetapkan APBD dan Peraturan Daerah lainnya (Pasal
18 ayat (1) huruf d dan e, Pasal 43 huruf UU No. 22 Tahun 1999) jo pasal 25
huruf a UU nomor 32 tahun 2004. Kepala Daerah memimpin pemerintah daerah untuk
melaksanakan APBD dan Perda lainnya (Pasal 44). Sedangkan DPRD melakukan pengawasan
terhadap Kepala Daerah dalam melaksanakan APBD dan Perda lainnya (Pasal 18
huruf f, pasal 27 UU 32/2004).
Dari uraian di atas, dapat diketahui,
bahwa DPRD sebagai lembaga legislatif sebenarnya memiliki beberapa fungsi yaitu
fungsi legislatif (pembuatan kebijakan, Perda dan keputusan-keputusan lainnya),
fungsi budget (Anggaran /APBD), fungsi pengawasan (control function) dan
fungsi perwakilan (representative function). Dari beberapa fungsi yang
seharusnya dijalankan oleh DPRD, penulis tertarik untuk mencermati fungsi
legislatif, sebab lemahnya DPRD dalam fungsi legislatif paling tidak secara
hipotesis paralel dengan lemahnya DPRD dalam fungsi dan peran di bidang lain
(Sri Soemantri, 1994). Fungsi
legislatif pada masa orde baru telah diambil alih secara dominatif oleh eksekutif.
Fenomena ini semakin menarik ketika pada masa reformasi sekarang terjadi arus
balik hubungan legislatif dan eksekutif daerah (Sarundajang, 1999).
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 jo Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk
melaksanakan fungsi legislatif, dimana DPRD diberi hak prakarsa/ inisiatif (mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah), hak amandemen (mengubah Rancangan Peraturan
Daerah) baik secara substansial, maupun redaksional, dan hak anggaran (termasuk
menentukan anggaran belanja DPRD, mengajukan bentuk dan arah kebijakan anggaran
pendapatan dan belanja, menentukan alokasi anggaran menurut program dan alokasi,
dan sebagainya) (pasal 19 ayat (1) huruf d sampai g), pasal 41 UU No 32/2004.
Fungsi utama lembaga legislatif
menurut Mirriam (1985: 34) lebih dipersempit menjadi 2 (dua) fungsi, yaitu :
1.
Menentukan Policy atau kebijaksanaan
dan membuat Undang-Undang;
2.
Mengontrol Badan Eksekutif
dalam arti menjaga semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan
yang telah ditetapkan.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa fungsi dan peran DPRD
yang esensial adalah fungsi legitimasi dan kontrol. Sehingga untuk menjalankan
fungsi dan peran yang diembannya, DPRD dibekali dengan sejumlah hak sebagai
instrumen pelaksanaan fungsi tersebut. Secara terperinci Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 pasal 19 ayat (1) dan pasal
43 UU no 32 tahun 2004 menyatakan, DPRD mempunyai hak :
1.
Meminta
pertanggungjawaban Gubernur, Bupati atau Bupati,
2.
Meminta
keterangan kepada Pemerintah Daerah,
3.
Mengadakan Penyelidikan,
4.
Mengadakan Perubahan atas
Rancangan Peraturan Daerah.
5.
Menyatakan pendapat,
6.
Mengajukan rancangan Peraturan
Daerah,
7.
Menentukan Anggaran Belanja DPRD,
dan
8.
Menetapkan Tata tertib DPRD.
Menurut Faried Ali (1999: 76),
menjelaskan secara garis besar tentang hak‑hak anggota dewan dalam rangka
pelaksanaan tugas dan fungsinya, adalah sebagai berikut:
1.
Mengajukan pertanyaan. Hak ini dimaksudkan, bahwa setiap Anggota Dewan, baik secara
individual maupun secara bersama-sama dapat mengajukan sesuatu pertanyaan
kepada Kepala Daerah. Penyampaian pertanyaan dilakukan secara tertulis, singkat
dan jelas, dan disampaikan kepada pimpinan dewan, untuk selanjutnya diteruskan
kepada Kepala Daerah. Selain itu, pertanyaan itu dibagi-bagi pula pada anggota.
2.
Meminta keterangan (interpelasi),
Hak ini dimaksudkan sebagai hak untuk meminta keterangan
kepada Kepala daerah tentang kebijaksanaan yang dijalankan.
3.
Mengadakan penyelidikan
(angket), Hal ini
dimaksudkan sebagai hak untuk mengajukan usul penyelidikan mengenai hal-hal
yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
4.
Mengadakan Perubahan
(Amandemen), Hak ini dimaksudkan sebagai hak dewan
atau fraksi untuk melakukan perubahan atas sesuatu Undang-undang yang diajukan oleh
pemerintah.
5.
Mengajukan pernyataan pendapat; Hak ini dimaksudkan sebagai hak untuk mengajukan sesuatu
pernyataan pendapat untuk dapat dibicarakan dalam persidangan dewan.
6. Mengajukan seorang calon jika ditentukan
oleh Undang-undang;
Hak ini dimaksudkan sebagai hak untuk mengajukan calon
suatu jabatan yang oleh badan musyawarah, sebagai salah satu alat kelengkapan
dewan, dapat membicarakan sekaligus memberikan pertimbangan.
Dalam demokratisasi, ada beberapa prinsip
yang harus dipegang, dalam menangani isu publik. Untuk menjamin pelaksanaan
asas kerakyatan, maka semua ketentuan yang : (a) mengatur dan membatasi hak dan
kebebasan warga daerah, (b) mengenakan beban pajak, retribusi dan pungutan
lainnya kepada warga daerah, dan (c) mendistribusikan dan mealokasikan berbagai
bentuk manfaat materiil kepada warga daerah, harus dibuat dengan persetujuan
DPRD (Surbakti, 1999).
Banyak isu publik yang pada masa orde baru
diperlakukan sebagai isu teknis, sehingga diputuskan sendiri oleh eksekutif. Tindakan seperti ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran asas
kerakyatan. Isu publik bukanlah sekedar isu-isu umum yang bersifat abstrak
melainkan isu-isu yang secara kongkrit dialami, dihadapi, dilakukan, ditanggung
dan dinikmati oleh para warga. “siapa mendapat apa, apa bentuknya, berapa besarnya,
dimana, kapan, bagaimana dan mengapa” sehingga harus diputuskan oleh mereka
yang mendapat mandat secara langsung dari rakyat. Pada pihak lain, isu teknis
menyangkut know how atau pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan,
menciptakan, melaporkan, melayani, menegakkan, mengendalikan apa saja yang diputuskan
oleh mereka yang mendapat mandat dari rakyat sehingga harus dilaksanakan oleh
mereka yang memiliki keahlian.
Pemerintahan pada hakekatnya merupakan pelayanan
kepada masyarakat. Ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi
untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan
bersama (Rasyid, 1998: 139).
Secara hukum, pemerintahan daerah mempunyai
landasan yang kuat dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Kebijakan yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-undang nomor 32 tahun
2004 tersebut diharapkan akan lebih memberi peluang pada perubahan kehidupan
pemerintahan yang demokratis untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya,
yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.
Tentang hubungan legislatif dan eksekutif
daerah secara progresif dikembangkan dengan menempatkan DPRD pada kedudukan
yang jauh lebih kuat dan berpengaruh atas pihak eksekutif daerah (Ashari dan
Fernanda, 2001: 108). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa fungsi DPRD menjadi
sangat strategis di era reformasi dan era otonomi daerah saat ini dalam rangka
merumuskan dan membuat kebijakan (Peraturan Daerah, APBD dan lain-lain) yang
sesuai dengan tuntutan publik, karena sistem ketatanegaraan Indonesia
jelas-jelas sangat mendukung hal itu. Permasalahannya sekarang adalah mengapa
peranan DPRD tidak bisa optimal dalam melakukan perubahan-perubahan yang
dikehendaki oleh publik?
Membuat dan merumuskan suatu kebijakan,
apalagi kebijakan itu berupa peraturan/peraturan daerah, bukanlah suatu proses
yang sederhana dan mudah ini disebabkan banyak faktor atau kekuatan-kekuatan
yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Suatu
kebijakan/peraturan dibuat bukan untuk kepentingan politis (misalnya guna
mempertahankan status quo pembuatan keputusan) tetapi justru untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup anggota masyarakat secara keseluruhan (Islamy, 1997).
Jika kita cermati di lapangan, kebanyakan
dalam perumusan kebijakan publik, baik dalam bentuk Undang-undang maupun
Peraturan Daerah seringkali terdapat perbedaan orientasi dalam tujuan yang
ingin dicapai. Orientasi elite politik seringkali cenderung mementingkan aspek
legal formal pembuatan Undang-Undang dan cenderung menekankan aspek kewenangan
dan kekuasaan. Sedangkan orientasi massa atau publik dalam proses perumusan
kebijakan untuk publik lebih cenderung mementingkan aspek kesejahteraan dan
pelayanan publik, sehingga seringkali muncul gap antara apa yang dipikirkan
oleh elite dan apa yang dikehendaki oleh publik itu sendiri.
Untuk memperjelas makna yang terkandung
dalam pembuatan kebijakan Charles Lindblom (dalam Abdul Wahab, 1990),
menuturkan bahwa pembuatan kebijakan negara (Public - Policy - making) itu pada
hakekatnya merupakan “an extremely complex, analytical and political process
to which there is no beginning or end, and the boundaries of which ore mused
uncertain. Somehow a complex set of forces that
we call policy-making all taken together, produces effects called policies”. (Merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana
tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-Batas dari proses itu
sesungguhnya yang paling tidak pasti. Serangkaian kekuatan yang agak kompleks
yang kita sebut sebagai pembuatan kebijakan negara, itulah yang membuahkan hasil
yang disebut kebijakan).
Raymond Bouer (dalam Wahab, 1990) merumuskan pembuatan
kebijakan negara sebagai proses tranformasi atau pengubahan input-input politik
menjadi output-output politik. Pandangan ini nampak amat dipengaruhi oleh teori
analisis sistem, schagaimana yang dianjurkan o1ch David Easton (1963).
Secara lebih terperinci seorang pakar kebijakan negara dari Afrika,
Chief J. O. Udoji (1981) merumuskan pembuatan kebijakan negara sebagai “The
whole process of articulating and defining problems, formulating possible
solutions in to political demands, channeling those demands in to the political
system, seeking sanctions or legitimating of the preferred course of action,
legitimating and implementation, monitoring and review (feedback)”.
(Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian, dan pendefinisian
masalah, perumusan kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan
politik, pengupayaan pemberian sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang
dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan
kembali (umpan balik).
Seringkali setiap pembuat kebijakan memandang setiap masalah politik
berbeda dengan pembuat kebijakan yang lain. Belum tentu suatu masalah yang
dianggap masyarakat perlu dipecahkan oleh pembuat kebijakan dapat menjadi isu
politik yang bisa masuk ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses
menjadi kebijakan. Proses pembuatan kebijakan yang sudah begitu sulit dan rumit
dilakukan, belum lagi dihadang dengan persoalan : apakah kebijakan negara itu
sudah diperhitungkan dapat secara mudah dan lancar ketika diimplementasikan. Hasil
implementasi akan berdampak positif atau negatif juga berpengaruh terhadap
proses perumusan kebijakan berikutnya.
Proses pembuatan atau perumusan kebijakan pada intinya adalah suatu
tindakan dari interaksi di lingkungan stakeholder yang menghasilkan output
dalam bentuk kebijakan. Pengambilan keputusan yang baik dan benar untuk suatu
kebijakan memerlukan data dan informasi yang lengkap, disamping pengetahuan
yang cukup mengenai kondisi dan situasi yang Akan menjamin terlaksananya
keputusan tersebut. Dengan demikian barulah keputusan mengenai kebijaksanaan
itu mendapat persetujuan, dukungan dan kepercayaan masyarakat. (Soenarko; 53 : 2000).
Di era otonomi daerah pembuatan PERDA cenderung lebih ketat karena
persaingan kepentingan antar fraksi di DPRD yang seringkali pada posisi yang sangat
dilematis, di satu pihak harus memperjuangkan dan mengamankan amanat partai melalui
fraksi, dan di satu pihak yang lain harus mengedepankan kepentingan publik. Dilema yang sangat sulit ini semakin
menjadi-jadi ketika perbedaan kepentingan antar partai politik semakin tajam.
Disamping itu dilema pembuatan PERDA bukan
saja terletak pada persaingan kepentingan antar partai politik, tetapi
dipengaruhi juga oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) anggota DPRD yang
terlibat langsung dalam proses pembuatan PERDA. Dari sisi proses, fakta
menunjukkan bahwa hampir semua Rancangan Peraturan Daerah merupakan usulan dari
eksekutif sehingga DPRD hanya memformalisasikannya menjadi Peraturan Daerah.
Fenomena dilematis itulah yang menyebabkan
kecenderungan peran DPRD semakin tidak populer dimata pemilih (voter)
yang pada akhirnya memunculkan image (kesan) publik bahwa peran partai politik
menurun dalam mengartikulasikan kepentingan pemilihnya, termasuk upaya
meningkatkan kualitas PERDA yang dibuat juga menjadi tidak optimal. Hal seperti
ini pernah dikatakan oleh Ryaas Rasyid yang mcnawarkan konsep pemberdayaan DPRD
dengan jalan melakukan internalisasi nilai-nilai kebebasan dan kesederajatan sebagai
dua nilai hakiki demokrasi yang seyogyanya melekat pada peranan para anggota
DPRD.
Kenyataan di lapangan juga menunjukkan
bahwa di era otonomi daerah dan di era multi partai cenderung mendorong sikap
dan perilaku fraksi untuk bersaing dalam setiap pengambilan keputusan untuk
publik, khususnya dalam proses pembuatan Peraturan Daerah. Dalam penelitian ini
peneliti mencoba untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang peranan DPRD, dan
berbagai kendala serta pendukung dalam proses pembuatan peraturan daerah dan
upaya meningkatkan kualitas peraturan daerah.
Yang menjadi ukuran kebijaksanaan yang baik
itu adalah kepentingan masyarakat (public interest). Karena memang
Pemerintah itu mendapat kekuasaan dari rakyat, maka pada gilirannya pemerintah harus
melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kehendak rakyat untuk kepentingan
rakyat itu. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan melalui proses pengambilan
kebijaksanaan (policy making) dan pelaksanaan keputusan-keputusan dalam
kebijaksanaan (administration) sebagaimana mestinya. Rakyat telah
menyerahkan segala kekayaan dan kekuasaannya kepada pemerintah yang bertugas
mengurusi segala kepentingannya, maka konsekuensinya pemerintah untuk imbalan (reward)
yang semestinya kepada rakyat (Soekarko;
45 :2000).
Pertanyaannya sekarang apakah, kebijakan dalam
bentuk peraturan daerah dan keputusan lainnya, benar-benar telah sesuai dengan masyarakat
dengan keinginan masyarakat (public interest), dan melalui proses yang semestinya
menurut peraturan dan perundangan yang berlaku, sehingga dalam pelaksanaanya
telah mendapat dukungan masyarakat pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar