Sampai saat ini di
lingkungan negara-negara yang sedang berkembang masalah hubungan antara Pusat
dan Daerah masih menjadi salah satu isu sentral, terutama di negara yang
wilayahnya sangat luas atau kehidupan penduduknya secara sosial maupun ekonomi
hiterogen. Pengalaman menunjukkan bahwa karena pemerintahan daerah yang
mencerminkan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah terfokus pada aspek
politik, maka masalah kesenjangan hubungan keduanya sering terlihat pada
ancaman disintegrasi nasional.
Adanya pemerintahan daerah merupakan
hal yang sangat penting dalam membangun sistem pemerintahan negara yang
demokratis. Hal itu penting karena bisa menampung pluralisme bangsa,
partisipasi masyarakat, serta memberikan tambahan pilihan bagi warganya
terutama yang bersangkutan dengan kebutuhan dan kepentingan penduduknya.
Dengan adanya pemerintahan daerah,
maka pluralisme yang ada dalam masyarakat/negara baik sosial, budaya, ekonomi
dan lainnya bisa ditampung dalam wadah pemerintahan daerah masing-masing
sehingga tidak mengarah kepada otokrasi sentral. Dalam wilayah mereka,
keragaman yang ada dalam masyarakat tetap terpelihara sehingga menjadi akar
kebangsaan, tanpa kemudian harus menaifkan ciri-ciri khusus kedaerahan yang
ada.
Melalui pemerintahan daerah juga bisa diberi kesempatan yang lebih luas
bagi penduduk untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah mereka, melalui bermacam-macam dewan daerah baik yang bersifat politik
(seperti DPRD di Indonesia) maupun ekonomi (misalnya Komite Perlindungan
Konsumen Daerah) atau sosial misalnya Dewan Pemangku Adat Daerah dan
sebagainya. Masyarakat juga mempunyai kesempatan untuk memperoleh pilihan yang
banyak, dari pelayanan umum yang disediakan pemerintahan daerah selain yang
disediakan oleh pemerintahan secara nasional.
Seperti sudah diduga sebelumnya,
implementasi otonomi daerah yang sudah berlangsung masih jauh dari sempurna.
Berbagai macam keluhan dari daerah, kebingungan para pejabat dan masyarakat
daerah, serta ketidakpastian yang menyelimuti para calon investor makin membuat
banyak orang pesimis akan prospek pemulihan ekonomi Indonesia yang sudah
diganggu oleh banyak masalah, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi.
Bahkan ketidakjelasan otonomi daerah saat ini dijadikan salah satu alasan utama
sikap wait and see dari para calon
investor asing disamping ketidak pastian politik dan hukum.
Tampaknya tindakan-tindakan di atas merupakan reaksi jangka pendek atau
reaksi spontan dari beberapa pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dengan otonomi daerah. Di samping reaksi-reaksi spontan di atas, tidak banyak
pihak yang memperhatikan efek jangka menengah maupun jangka panjang dari
implementasi otonomi daerah tersebut terhadap kondisi fiskal di
Dampak dari sistem yang selama
ini kita anut (sebelum diberlakukanya UU
Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004)
menyebabkan Pemerintahan Daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap
aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek pembangunan daerah yang tidak
menghiraukan manfaat langsung yang dirasakan masyarakat, karena beberapa proyek
merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan arahan dari
Pemerintahan Pusat.
Kritik yang muncul selama ini adalah
Pemerintahan Pusat terlalu dominan terhadap Daerah. Pola pendekatan yang
sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan Pemerintahan Pusat telah
mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah. Pemerintahan Daerah kurang diberi
keleluasaan (local discreation) untuk
menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Otonomi yang selama ini diberikan tidak
disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber daya
manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang terjadi
bukannya tercipta kemandirian Daerah, tetapi justru ketergantungan Daerah
terhadap Pemerintah Pusat.
Besarnya arahan (campur tangan) dari
Pemerintahan Daerah didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin
stabilitas nasional, dan karena alasan kondisi sumber daya manusia daerah yang
dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan itu, sentralisasi otoritas
dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional
serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti
benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya Indonesia mengalami
pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam
jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya
akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat
pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan
sosial ekonomi di daerah.
Sebenarnya apa yang tercantum dalam UU
Nomor 25 tahun 1999 junto UU Nomor 33 Tahun 2004 berikut peraturan-peraturan
pemerintah yang mengikutinya mendefinisikan desentralisasi fiskal di Indonesia
lebih sebagai desentralisasi kewenangan pengeluaran dibanding desentralisasi
kewenangan pemungutan. Hal ini tampak jelas dari tidak berubahnya secara
signifikan local taxing power dari
daerah-daerah otonom seperti tercantum dalam UU 34/2000. UU tersebut hanya
mengatur jenis-jenis pajak dan retribusi yang boleh dipungut pemerintahan
Kabupaten/kota dan Propinsi.
Memang ada pasal dalam UU tersebut yang
menyatakan bahwa setiap daerah boleh mengusulkan jenis pajak baru sepanjang
ditunjang oleh Perda dan tidak mendapat veto dari pemerintahan pusat. Mengingat
bahwa pajak-pajak seperti PPh dan PPn adalah pajak pusat ditambah dengan
persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam UU 34/2000, akan sangat sulit bagi
suatu daerah untuk mendapatkan sumber penerimaan yang signifikan dari jenis
pajak baru yang diusulkannya tersebut. Alternatif dari peningkatan local taxing power belum dimungkinkan
dalam UU tersebut (Bachrul Elmi : 2002).
Dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:
(a) Pendapatan
asli daerah;
(b) Dana
perimbangan;
(c) Pinjaman
daerah; dan
(d) Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan asli daerah berasal dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan dana perimbangan terdiri
atas bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, Dana Alokasi Umum,
dan Dana Alokasi Khusus.
Sumber penerimaan daerah yang lain adalah
bagi hasil dari penerimaan beberapa pajak pemerintah pusat. Saat ini yang sudah
dibagi-hasilkan adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Pemilikan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) seperti tercantum dalam UU 25/1999 junto UU 33/2004.
Sumber penerimaan dari kedua bagi hasil pajak ini tidak terlalu signifikan bagi
sebagian besar daerah di Indonesia, kecuali mungkin untuk Jakarta dan beberapa
kota besar lainnya.
Satu jenis pajak lagi yang akan
dibagi-hasilkan adalah PPh perseorangan di mana 20% penerimaannya akan
dikembalikan ke daerah yang bersangkutan. Berbeda dengan PBB dan BPHTB, bagi
hasil PPh perseorangan ini tidak tercantum dalam UU 25/1999 junto UU 33/2004
dan baru dikemukakan dalam revisi UU tentang PPh. Khususnya, masih ada sedikit
keraguan pada pemerintahan daerah untuk memasukkan perkiraan bagi hasil
tersebut di dalam APBD. Kalaupun akhirnya dimasukkan, mereka memasukkan jumlah
di bawah perkiraan yang dilansir pemerintahan pusat. Dengan distribusi
penerimaan PPh perseorangan yang sangat tidak merata di mana sekitar 60% total
penerimaan pajak tersebut berasal dari Jakarta, sulit diharapkan bagi hasil pajak
ini akan memberikan kontribusi signifikan bagi sebagian besar daerah di
Indonesia.
Adapun Dana Alokasi Khusus
(DAK) adalah specific purpose grant dimana
daerah hanya boleh menggunakan dana tersebut untuk keperluan tertentu yang
sudah disepakati dengan pemerintah pusat. Disisi lain, Dana Alokasi Umum (DAU)
adalah general purpose grant dimana
daerah berhak menentukan sendiri penggunaan alokasi dana yang mereka terima
dari pemerintah pusat tersebut. Alokasi DAU ke semua kabupaten/kota dan
propinsi sudah ditentukan dengan PP 104/2000 dan Keputusan Presiden yang
menjelaskan secara rinci alokasi per daerah. Sebagaimana diketahui bahwa yang
muncul dengan alokasi DAU sekarang adalah banyaknya daerah yang merasa bahwa
alokasi yang mereka terima tidak cukup untuk membayar gaji pegawai mereka plus
gaji pegawai pusat yang didaerahkan.
DAU menjadi kontroversi, lebih karena
ketidakpuasan beberapa daerah yang merasa alokasi yang mereka terima tidak
cukup untuk membayar pengeluaran pegawai mereka, baik pegawai daerah maupun
pegawai limpahan dari pusat. Concern
yang muncul lebih pada alokasi untuk daerah dan belum menyentuh pada efek dari
desentralisasi fiskal itu sendiri pada kesinambungan fiskal nasional. Muncul
anggapan bahwa desentralisasi fiskal yang berlangsung saat ini akan memberikan
pengaruh terhadap APBN kurang lebih sama dengan skema masa lalu dengan subsidi
daerah otonom (SDO) dan instruksi presiden (INPRES).
Menilik kenyataannya di lapangan, ternyata
banyak daerah yang mengajukan klaim kepada pusat yang menyatakan bahwa Dana
Alokasi Umum yang mereka terima tidak mencukupi untuk membayar gaji pegawai
apalagi untuk membangun daerah. Alasannya, karena limpahan pegawai instansi
pusat dan pegawai provinsi yang berubah status menjadi pegawai kabupaten/kota
jumlahnya demikian besar bahkan menurut informasi pengalihan pegawai provinsi
di beberapa daerah belum disertai dengan penyerahan pembiayaannya, sehingga
untuk menyelesaikan masalah kekurangan DAU itu DPR dan Pemerintah perlu
melakukan pengkajian secara mendalam permasalahannya untuk kemudian menemukan
prioritas daerah-daerah mana yang akan memperoleh tambahan DAU.
Untuk
mengeliminir kemungkinan terjadinya proses serta ketidakpuasan daerah berkenaan
dengan alokasi Dana Perimbangan-nya, dan juga dalam rangka memberikan kepastian
hukum terhadap alokasi Dana Perimbangan itu sendiri, maka DPR RI melalui
Panitia Anggaran pada saat melaksanakan RAKORBANGNAS tanggal 21 Oktober 2002
telah menetapkan rumusan formula Dana Perimbangan untuk Tahun Anggaran berikutnya. (www.bappenas.go.id).
Berdasarkan UU No.25 Tahun 1999 junto UU
No. 33 Tahun 2004 dan UU No. 17 tahun 2000, juga telah jelas digariskan secara
normatif tentang persentase pembagian hasil penerimaan pemerintah pusat dan
daerah, yang secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut :
Tabel 1.1. Prosentase Pembagian Hasil Penerimaan Pemerintah Pusat
dan Daerah
Sumber Penerimaan |
Pusat (%) |
Prop. (%) |
Kab/Kota (%) |
Bagi rata (%) |
Pajak Bumi dan
Bangunan |
- |
16,3 |
64,8 |
19 |
BPHTB |
20 |
16,2 |
64 |
20 |
Iuran Hasil Hutan |
20 |
16 |
64 |
- |
PSDH / IHPH |
20 |
16 |
32 |
12 |
Landrent |
20 |
16 |
64 |
- |
Royalti
Pertambangan Umum |
20 |
16 |
32 |
32 |
Perikanan |
85 |
3 |
6 |
6 |
Minyak |
70 |
6 |
12 |
12 |
Gas Alam |
60 |
6 |
40 |
- |
Dana Reboisasi |
80 |
8 |
12 |
- |
PPh |
80 |
8 |
12 |
- |
Dari uraian di atas, tampaknya sudah cukup
jelas bahwa proses otonomi daerah saat ini yang melibatkan desentralisasi
fiskal akan menciptakan pertimbangan baru keuangan pusat dan daerah dengan
berbagai konsekuensinya terhadap manajemen Keuangan Daerah maupun kepada APBD.
Namun demikian, masih kerap terdengar nada sumbang dilontarkan oleh banyak
kalangan sebagai cermin rasa pesimistis terhadap pelaksanaan desentralisasi
fiskal di daerah. Itu semua berpangkal dari implementasi kebijakan (mis:
implementasi Dana Perimbangan) yang jauh melenceng dari koridor kaidah normatif
yang telah digariskan oleh Undang-Undang maupun produk hukum lainnya. Apa yang
terjadi di lapangan, sangat jauh dari apa yang diharapkan data yang diidealkan.
Tak jarang, fenomena tersebut akan menggiring pada lahirnya penilaian bahwa
Desentralisasi Fiskal (setidaknya untuk saat ini) hanya merupakan retorika
Otupis belaka.
Sementara itu, untuk perolehan Dana
Perimbangan Kabupaten Blitar khususnya mengenai Dana Alokasi Umum (DAU) pada
tahun anggaran 2008 dan tahun anggaran
2009 berturut-turut diperoleh sejumlah Rp. 634.378.020.000,- dan Rp. 629.881.991.000,-.
Angka yang cukup signifikan untuk ukuran selevel Kabupaten Blitar, sehingga
sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang dampak dan kontribusi dana
tersebut terhadap struktur, komposisi dan kinerja APBD Kabupaten Blitar
terutama pada era desentralisasi fiskal dewasa ini.
Untuk mengetahui
dan menganalisis tentang implementasi kebijakan yang berkaitan dengan Dana
Perimbangan serta hubungannya dengan APBD (Anggaran Pcndapatan dan Belanja
Daerah) dan Desentralisasi Fiskal inilah, maka penelitian ini dilaksanakan
dengan tajuk “ANALISIS IMPLEMENTASI DANA
PERIMBANGAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
(APBD) DALAM RANGKA DESENTRALISASI FISKAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar