Organisasi sebagai wadah bagi orang-orang
dalam memenuhi kebutuhan hidup yang berbeda-beda. Pada dasarnya organisasi
merupakan sekumpulan orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan terlebih dahulu. Di dalam menjalankan kerjasama tersebut
dibutuhkan koordinasi, interaksi, komunikasi serta dibutuhkan persepsi yang sama
agar tujuan organisasi dapat tercapai.
Organisasi harus melakukan perbaikan secara
terus menerus agar dapat berkembang dan mempertahankan eksistensinya didalam
menghadapi persaingan dengan organisasi lain. Untuk mencapai tingkat keunggulan
bersaing yang tinggi dan berkesinambungan, sebuah organisasi tidak lagi
semata-mata tergantung pada kemajuan tehnologi yang dipergunakan ataupun posisi
strategisnya, akan tetapi lebih menekankan pada pengelolaan tenaga kerja atau
sumberdaya manusia yang ada (Pfeffer, 1995). Oleh karena itu organisasi harus
mampu mengembangkan sumberdaya manusia yang dimilikinya untuk dapat bersaing
dan menjadi yang terbaik dilingkungannya.
Gomes (1997) menyatakan bahwa unsur manusia di dalam organisasi
mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena manusialah yang biasa
mengetahui input-input apa yang perlu diambil dari lingkungan dan bagaimana
caranya untuk mendapatkan dan menangkap input-input tersebut, tehnologi dan
cara apa yang dianggap paling tepat untuk mengolah atau mentransformasikan
input-input tersebut menjadi output yang dapat memenuhi keinginan pasar atau
publik (lingkungan). Oleh karena itu organisasi harus berusaha untuk mengelola
sumber daya manusia yang dimilikinya sebaik mungkin supaya kinerja
operasionalnya dapat optimal.
Untuk meningkatkan kinerja sumber daya manusianya, selain
meningkatkan ketrampilan dan pengetahuannya, juga sangat penting bagi seorang
pemimpin dalam memimpin, mengarahkan dan mengawasi bawahannya, menerapkan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan, dimana seorang
pemimpin dapat membina dan mengarahkan bawahannya sesuai dengan gaya atau style
yang dimilikinya, sehingga bisa saja pada saat tertentu sebuah organisasi
membutuhkan seorang pemimpin yang menerapkan gaya partisipatif atau pada saat
yang lain dan di tempat yang berbeda dibutuhkan
seorang pemimpin yang memiliki gaya supportive. Menurut Druker dalam
Rasimin (1988), bekerja adalah suatu kegiatan yang unik, menyangkut kekuasaan,
kepribadian masyarakat, ekonomi, serta fisiologis. Kemudian Rasimin
mengungkapkan bahwa bekerja adalah kegiatan pokok dari suatu aktivitas yang
dapat dibagi menjadi sejumlah dimensi kekuasaan tersebut adalah gaya seorang
pemimpin dalam memimpin, mengarahkan dan mengawasi bawahannya dalam mencapai
tujuan organisasi.
Setiap pemimpin memiliki ciri khas atau gaya tersendiri dalam
menjalankan tugas kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan (leadership style)
sebenarnya berkaitan dengan bagaimana pemimpin menjalankan tugas
kepemimpinannya, misalnya gaya apa yang akan digunakan dalam merencanakan,
merumuskan dan menyampaikan perintah, himbauan, maupun ajakan. Untuk memahami
kepemimpinan yang sukses, memusatkan diri pada apa yang dilakukan oleh seorang
pemimpin adalah gayanya. Corak atau gaya pemimpin (Leader Styles)
seorang manajer sangat berpengaruh terhadap efektifitas seorang pemimpin,
sehingga Robbins (1996:39) mengartikan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok kearah pencapaian tujuan. Robbins juga membedakan
macam-macam gaya kepemimpinan dengan mengutip pendapat House (1996:52) sebagai
berikut :
a)
Kepemimpinan direktif,
merupakan kepemimpinan yang membuat bawahan agar tahu apa yang diharapkan
pimpinan mereka, menjadwalkan kerja untuk dilakukan, memberi bimbingan khusus
mengenai bagaimana menyelesaikan tugas.
b)
Kepemimpinan yang mendukung,
yaitu kepemimpinan yang bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan
kebutuhan bawahan.
c)
Kepemimpinan Partisipatif,
adalah kepemimpinan yang berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran
mereka sebelum mengambil suatu keputusan.
d)
Kepemimpinan Berorientasi
Prestasi, merupakan kepemimpinan yang menetapkan tujuan yang menantang dan
mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi mereka.
Gaya kepemimpinan menurut Robbins (1996:45) merupakan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Robbins juga
menjabarkan gaya kepemimpinan secara jelas beserta contoh penerapannya dalam
kajian aktual.
Perbedaan gaya kepemimpinan dalam organisasi akan mempunyai pengaruh
yang berbeda pula pada partisipasi individu dan perilaku kelompok dalam
organisasi. Sebagai contoh, partisipasi dalam pengambilan keputusan pada gaya
kepemimpinan demokratis akan mempunyai dampak pada peningkatan hubungan manajer
dengan bawahan, menaikkan moral dan kepuasan kerja pegawai, dan menurunkan
ketergantungan terhadap pemimpin
Oleh karena itu penerapan gaya kepemimpinan yang baik haruslah
disesuaikan dengan situasi dan kondisi kerja. Seorang pemimpin harus dapat
membaca situasi, kapan harus menerapkan gaya directive, kepemimpinan yang
mendukung atau bahkan kepemimpinan demokratisnya.
Penerapan gaya kepemimpinan yang sesuai dalam organisasi dapat
menjadi jembatan untuk mencapai tujuan organisasi, namun ada beberapa variabel
lain yang dapat menjembatani pencapaian tujuan organisasi, salah satunya adalah
semangat kerja karyawan dan situasi kerja organisasi. Bagaimanapun baiknya gaya
kepemimpinan yang diterapkan jika tidak ditunjang dengan semangat kerja
karyawan dan situasi kerja yang
kondusif, maka tujuan organisasi akan sulit diwujudkan.
Semangat kerja merupakan gairah untuk menjalankan pekerjaan lebih
giat, sehingga pekerjaan akan dapat dikerjakan dan diselesaikan secara lebih
cepat dan lebih baik. Setiap pegawai hendaknya memiliki semangat kerja yang tinggi,
agar pekerjaan yang dibebankan kepadanya dapat diselesaikan dengan segera.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Nitisemito (1998) bahwa hanya
melalui semngat kerja yang tinggi seorang pemimpin dapat mencapai tujuan
melalui karyawannya.
Semangat
kerja dalam bahasa Inggris disebut work satisfaction atau
sering disebut
job satisfaction merupakan
hal yang perlu mendapat perhatian
dari pihak pimpinan organisasi, Instansi atau perusahaan. Lalu muncul pertanyaan mengapa semangat kerja memerlukan perhatian dari pihak organisasi atau
perusahaan?
Menurut pendapat Louis A. Alien yang dikutip oleh Moh. As'ad (1981) tentang
pentingnya unsur-unsur manusia dalam menjalankan roda industri, Louis A. Alien
berpendapat bahwa : Betapapun sempurnanya rencana-rencana organisasi dan
pengawasan serta penelitiannya, bila mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan minat dan gembira maka suatu perusahaan tidak akan mencapai hasil
sebanyak yang sebenarnya dapat
dicapainya.
Apabila semangat kerja ini sudah timbul secara alami dari dalam diri karyawan, maka akan
dapat berkerja dengan senang yang pada akhirnya menimbulkan kepuasan kerja.
Menurut Savery (1987), kepuasan kerja yang rendah menyebabkan rendahnya
produktifitas. Sebaliknya produktifitas akan meningkat karena kepuasan yang
tinggi. Seperti teori dari Theory Discrepancy dan teory Equity (As'ad, 1991)
menekankan bahwa kepuasan orang dalam bekerja ditengarai oleh dekatnya jarak antara harapan dan kenyataan, yaitu kenyataan yang didapat sesuai dengan harapannya. Demikian
juga yang diterima rekan sekerja
lain adalah sama atau adil seperti yang diterima sesuai dengan pengorbanannya. Teori dasar intrinsik dan extrinsik, dimana
faktor intrinsik merupakan sumber
kepuasan kerja, sedangkan faktor ekstrinsik
merupakan pengurang ketidakpuasan dalam bekerja.
Situasi kerja merupakan kondisi atau keadaan yang harus dihadapi
oleh bawahan ketika mereka harus melakukan hubungan atau interaksi dengan
atasan, sehingga untuk mewujudkan hubungan atau interaksi tersebut dibutuhkan
komunikasi yang efektif agar tujuan organisasi dapat tercapai. Melalui
komunikasi yang efektif diharapkan seseorang dapat melakukan kegiatan
sebagaimana yang dikehendaki oleh lawan bicaranya, segala ketidakpastian
menjadi pasti dan dengan komunikasi pula akan diperoleh replikasi ingatan,
sehingga orang mempeoleh kepastian dalam melaksanakan tugas yang dikehendaki
orang lain.
Gaya kepemimpinan seseorang dalam menjalankan organisasi sangatlah menentukan keberhasilannya dalam
menjalin hubungan dan komunikasi dengan para bawahannya. Apabila gaya
kepemimpinan yang diterapkan sudah tepat dan arus komunikasi yang dikembangkan
juga dapat memonitor mekanisme yang tersedia bagi organisasi maka akan tercipta
iklim organisasi yang sangat menunjang bagi keberhasilan organisasi untuk
mencapai tujuan bersama.
Menurut Gibson (1996) iklim organisasi merupakan serangkaian sifat
lingkungan kerja, yang dijalani dan dinilai langsung maupun tidak langsung oleh
pegawai, yang dianggap menjadi kekuatan utama dalam mempengaruhi perilaku. Iklim
organisasi mempunyai fungsi mempengaruhi tindakan pegawai sebagai individu yang
mandiri atau bagian dari sebuah interaksi kelompok maupun sebagai bagian
kolektif dari organisasi. Singkatnya bahwa adanya iklim organisai yang baik dan
kondusif akan mempengaruhi kinerja pegawai.
Davis (1986) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan
manusia dimana para pegawai dalam organisasi tersebut melakukan pekerjaan
mereka. Pengertian ini mengacu pada lingkungan suatu departemen, unit
organisasi yang penting atau suatu organisasi secara keseluruhan. Pada
gilirannya iklim dipengaruhi dan / atau mempengaruhi hampir semua hal yang
terjadi dalam organisasi. Iklim adalah merupakan suatu konsep atau sistem yang
dinamis.
Oleh karena itu menurut Davis (1997) ada dua aspek penting yang
harus diperhatikan dari iklim organisasi yaitu tempat kerja itu sendiri dan
perlakuan karyawan atau pegawai yang diterima dari manajemen. Karyawan akan
merasakan bahwa suatu iklim akan menyenangkan apabila mereka dapat melakukan
suatu pekerjaan atau tugas yang berguna dan memberikan rasa kemanfaatan
pribadi. Dengan demikian kemampuan organisasi mencapai tujuan adalah tergantung
pada iklim organisasi yang diciptakan.
Konsekuensinyaa, untuk mengkaji sejauh mana organisasi mampu menciptakan
iklim organisasi yang menyenangkan bagi karyawannya adalah dengan melihat
perilaku dari para pemimpinnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Litwin dan
Stranger (dalam Hawarni :1999) bahwa terbentuknya iklim organisasi dipengaruhi
oleh motivasi dan perilaku orang-orang kunci yang ada dalam organisasi yaitu
pemimpinnya.
Namun demikian bagaimana pemimpin mempengaruhi pegawai atau
karyawannya untuk menciptakan iklim organisasi yang menyenangkan tergantung
pada apakah situasi kerja yang ada, mendukungnya atau tidak. Hal ini seperti
yang ditegaskan oleh Fiedler (1998) bahwa kepemimpinan yang berhasil tergantung
pada penerapan gaya seorang pemimpin terhadap tuntutan situasi. Dengan demikian
suatu gaya kepemimpinan akan terasa paling efektif kalau gaya tersebut digunakan
pada situasi yang tepat (Sujak : 1995)
Selanjutnya Purnomosidhi (1996) menyatakan bahwa iklim organisasi
yang tidak menunjang penampilan kerja yang produktif, penyediaan tehnologi dan
kondisi kerja yang tidak memadai, arus komunikasi yang tidak menunjang dalam
artian kuantitas maupun kualitas, praktek pengambilan keputusan yang tidak
obyektif di semua jenjang organisasi maupun kesejahteraan pegawai yang kurang
diperhatikan, di sisi lain akan mengakibatkan rendahnya tingkat kepuasan dan
prestasi kerja pegawai.
Berdasarkan penjabaran uraian diatas, maka peneliti mengambil judul
penelitian ini dengan “Pengaruh Gaya
Kepemimpinan, Semangat Kerja dan Situasi Kerja terhadap Iklim Organisasi di
Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo”.
Penelitian ini merupakan penelitian
replikasi, dimana sudah ada beberapa peneliti sebelumnya yang melakukan
penelitian semacam ini pada tempat dan obyek yang lain. Penelitian ini juga
mendasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, namun ada beberapa
instrumen penelitian yang perlu disesuaikan dengan lokasi penelitian ini,
sehingga membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Pengembangan instrumen terutama disesuaikan dengan pengembangan variabel dan
kondisi di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar