PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL, TRANSAKSIONAL DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) (306)

 

Masalah kepemimpinan selalu menjadi bahan perdebatan orang dari masa ke masa. Ini tidak lain karena kenyataan bahwa dalam kehidupan ini, kehadiran para pemimpin memang sangat dibutuhkan. Pemimpin adalah sosok yang paling menjadi sorotan dalam organisasi, karena keberhasilan dalam organisasi sangat ditentukan oleh gaya dan seni memimpinnya.

Dalam kehidupan organisasi pun seorang pemimpin memainkan peranan yang sangat dominan, apalagi dikaitkan dengan keharusan berinteraksi dengan lingkungan yang selalu berubah dan berkembang, antara lain karena kemajuan pesat yang terjadi dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang sangat cepat itu didalamnya mengandung tantangan dan peluang, serta adanya bebrapa ancaman dan hambatan yang harus dihadapi dan dicermati. Oleh karenanya bagi seorang pemimpin, perkembangan tersebut bukan hanya harus diantisipasi, melainkan juga harus dimanfaatkan.

Perubahan ini akan menjadi peluang bagi mereka yang inovatif dan ancaman bagi mereka yang mempertahankan status quo. Menurut Friedman, dalam Jhon Nirenberg (2003), dampak praktis dari globalisasi ini adalah penciptaan sebuah kultur dunia yang mengancam destabilisasi pemerintahan, kebudayaan lokal dan city-city lokal. Menurut Prawirokusumo (2001:103), untuk menghadapi perubahan lingkungan, maka baik organisasi, perusahaan maupun industri, bahkan bangsa dan negara harus mempunyai strategi global yang ditunjang oleh kesiapan sumber dayanya.

Pengelolaan organisasi yang baik seharusnya meliputi dua sisi, yaitu sisi formal (hard side) yang meliputi struktur, visi, misi, strategi, sistem dan prosedur maupun sisi informal (soft side) yang meliputi integritas, nilai etika, kompetensi, komitmen dan kepemimpinan Syauqi M. Hanafi (2006 :64-65). Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan terbukti bahwa sisi informal organisasi memiliki peran penting dalam menunjang kesuksesan organisasi.  Lebih jauh dikatakan bahwa sisi informal menjadi faktor strategis bagi kelangsungan hidup organisasi serta memperkuat pelaksanaan sisi formal.  Syauqi M. Hanafi (2006: 64-65), mengemukakan bahwa sisi formal organisasi mengendalikan kegiatan-kegiatan kerja secara semu serta hanya menjadi simbol ketimbang substansi organisasi.  Sisi informal yang kuat menghindarkan organisasi dari kesalahan kesalahan ketika merumuskan dan menerapkan strategi menjalankan bisnis dan kegiatan operasional.

Dengan demikian agar pemanfaatan sumber daya  fisik dan modal yang ada menjadi optimal, para pemimpin organisasi perlu mengelola sumber daya manusia secara efektif dengan berusaha mengarahkan  perilaku SDM sesuai dengan tujuan organisasi. Kahn, 1978 dalam Steers et.al., (1996), menyebutkan terdapat  tiga perilaku SDM yang dibutuhkan oleh suatu  organisasi, yaitu: (1) SDM harus memiliki komitmen terhadap organisasi, yaitu perasaan  terlibat dalam organisasi dan tetap tinggal dalam organisasi, (2) SDM harus menunjukkan kinerja sesuai dengan  tugasnya (in role behavior), (3) SDM harus menunjukkan kinerja melampaui peran in-role nya dengan menunjukkan perilaku kerja  yang kreatif, inovatif dan spontan yang sering disebut sebagai extra role behavior. Ketiga perilaku SDM tersebut merupakan sumber tercapainya efektivitas organisasi.

Secara umum pemimpin memiliki fungsi penting dalam menjalankan pekerjaaannya dengan baik apabila :

1.      Memberikan kepuasan terhadap kebutuhan langsung kepada bawahannya.

2.      Menyusun jalur pencapaian tujuan,  untuk melakukan hal ini pimpinan perlu memberikan pedoman untuk mencapai tujuan bersama dengan pemuasan kebutuhan para karyawan.

3.      Menghilangkan hambatan-hambatan pencapaian tujuan.

4.      Mengubah/mengarahkan tujuan karyawan, sehingga tujuan mereka bisa berguna secara organisatoris (Husnan, 1989: 218).

Teori kepemimpinan yang banyak mendapat perhatian dari para peneliti adalah gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional, Judge dan Bono (2000) dalam Albrecht, (2005:2). Kedua gaya kepemimpinan tersebut meskipun berbeda namun bersifat saling menggantikan (komplementer). Pemimpin transformasional memotivasi pengikut dengan meningkatkan kepedulian pengikut terhadap pentingnya nilai hasil (outcome) yang telah ditetapkan dan dengan mentransformasikan nilai-nilai personal untuk mendukung tujuan atau visi organisasi. Adapun pemimpin transaksional  berusaha menumbuhkan komitmen untuk mencapai tujuan dengan menetapkan imbalan dan koreksi terhadap  penyimpangan dari kinerja yang telah ditetapkan. Efektivitas gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional dapat diukur dengan melihat sejauh mana pengaruh kedua gaya kepemimpinan tersebut terhadap komitmen dan kinerja karyawan (Brown, 2003).

Dengan kata lain kepemimpinan berorientasi perubahan (transformasional) pada perilaku kerja atau gaya kerja dalam organisasi, yang berfokus pada pertukaran (transaksional) antara pemimpin dan pengikut, dengan ditopang oleh perilaku yang mengakibatkan transformasi organisasi. Ada banyak perilaku yang mendukung kearah perubahan organisasi, diantaranya: motivasi, komitmen, prestasi, loyalitas, dan lain-lain.

Komitmen organisasional merujuk pada kemampuan seseorang dalam  mengidentifikasi organisasi dimana dia berada dan terlibat didalamnya,  Mowday (1979) dalam Allen dan Meyer (1990). Menurut beberapa peneliti, pemimpin  transaksional,  mempengaruhi komitmen karyawan  melalui kewenangannya dalam  menetapkan rewards   maupun   punishment ketika menilai  kinerja  karyawan. Melalui  balas jasa yang bersifat ekonomis, seorang pemimpin mendorong karyawan agar tetap tinggal dalam organisasi karena pertimbangan biaya yang harus ditanggung bila mereka keluar dari organisasi. Sementara itu, pemimpin transformasional mempengaruhi komitmen pengikut melalui adanya sikap kewajiban moral  terhadap organisasi  dan  hal tersebut diadopsi oleh pengikut mereka, Lagomarsino dan Cardona (2003).

Kinerja karyawan yang  bisa dikaitkan dengan kepemimpinan  dan komitmen organisasional adalah Oganizational  Citizenship Behavior (OCB). OCB  didefinisikan sebagai kemauan karyawan untuk bertindak melebihi tugas  yang diberikan kepada mereka  (Organ, 1990 dalam Jewett dan Scholar, 2003). Perilaku OCB meliputi menolong sesama, suka rela melaksanakan pekerjaan tambahan, mematuhi aturan, dan tidak mengeluh atas kondisi yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan ukuran kinerja tradisional seperti produktivitas, OCB tidak dikaitkan dengan sistem imbalan  formal, artinya perilaku OCB merupakan perilaku sukarela dari para karyawannya.

Sebuah organisasi yang sukses tentunya memerlukan dukungan penuh dari para karyawannya. Salah satu dukungan yang dapat diberikan oleh karyawan adalah menjadi seorang karyawan yang baik (good citizen), bukan hanya dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya atau dalam perilaku intra role saja, namun juga dalam perilaku extra role. Perilaku karyawan ini dikenal sebagai Organizational Citizenship Behavior (OCB). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gonzales dan Garazo (2006), yang menemukan bahwa dengan meningkatkan kepuasan karyawan akan dapat meningkatkan Organizational Citizenship Behavior karyawan tersebut. Perilaku extra role terbukti dapat mendukung kesuksesan organisasi, seperti yang dikemukakan oleh DeGroot dan Brownlee (2006).

Perilaku karyawan dalam sebuah organisasi tidak hanya akan mempengaruhi efektifitas kinerja organisasi, namun juga akan berpengaruh terhadap persepsi masyarakat terhadap pelayanan dari organisasi yang bersangkutan. Bullgarella (2005) menyatakan bahwa seorang karyawan yang puas adalah karyawan yang diberi kesempatan untuk berkembang, diberdayakan, dan diberi tanggung jawab untuk mengetahui, menyediakan dan melayani kebutuhan masyarakat. Maka dari itu, kepuasan karyawan akan mempengaruhi kepuasan masyarakat melalui energi positif dan kemauan karyawan itu untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.

Beberapa perilaku di luar peran utama karyawan diantaranya adalah kesediaan untuk membantu karyawan lain menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan operasional organisasi tanpa ada paksaan, yang dikenal dengan sebutan altruism. Selain itu, kesediaan karyawan untuk yang menunjukkan dukungan dan partisipasi sukarela terhadap fungsi-fungsi organisasi baik secara professional maupun social alamiah (civic virtue), kesediaan untuk medengarkan masalah-masalah yang dihadapi karyawan lain (sportsmanship), kemampuan karyawan untuk mengerjakan pekerjaan yang melebihi standard yang telah ditetapkan oleh organisasi (conscientiousness) serta perilaku karyawan yang tidak membuat isu-isu negatif dan mengganggu ketenangan karyawan lain (courtesy) akan dapat meningkatkan efektivitas organisasi secara keseluruhan (Organ. 1988 dalam Gonzalez dan garazo. 2006). Organizational Citizenship Behavior juga terbukti akan dapat mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Barksdale dan Werner (2001) bahwa In-role behavior dan altruism sebagai salah satu dimensi dari OCB memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan.

 Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, peneliti  menetapkan judul penelitian sebagai berikut : “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional, Transaksional dan Komitmen  Organisasional terhadap Organizational Citizenship Behavior   (OCB)  Karyawan BAPPEDA Kabupaten Probolinggo”.

Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger