PENGARUH PENILAIAN KINERJA DAN KEMAMPUAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BAPPEDA KABUPATEN... (301)

 

Manusia merupakan sumberdaya yang paling utama dalam suatu organisasi. Bentuk dan tujuan organisasi dibuat berdasarkan berbagai visi untuk berbagai kepentingan, dalam pelaksanaan visinya tersebut maka harus dikelola dan diurus oleh sumberdaya manusia yang handal. Manajemen saat ini telah banyak berubah dari keadaan 20-30 tahun lampau, dimana human capital menggantikan mesin-mesin sebagai basis kebanyakan perusahaan, (Ristika 2003:1). Pakar manajemen mengemukakan bahwa masalah yang dihadapi bagi manajer sekarang adalah tenaga kerja yang kini cenderung tidak dapat diatur seperti tenaga kerja generasi yang lalu. Titik berat pekerjaan bergerak sangat cepat dari tenaga manual dan clerical ke knowledge-worker yang menolak menerima perintah (“komando”) ala militer, Cara yang diadopsi oleh dunia bisnis 100 tahun yang lalu (Drucker, Peter 1998).

Dengan demikian perhatian dan pembinaan kepada sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor penting yang harus ditingkatkan, sehingga efektifitas dan efisiensi organisasi dapat dicapai. Dan sudah tentu, suatu organisasi dalam menjalankan aktivitasnya akan selalu berhadapan dengan manusia sebagai sumberdaya yang dinamis dan memiliki kemampuan untuk terus berkembang. Oleh karena manusia selalu berperan aktif dan dominan dalam setiap kegiatan organisasi, karena manusia menjadi perencana, pelaku dan penentu terwujudnya tujuan organisasi. Tujuan itu tidak mungkin terwujud tanpa peran aktif dari anggotanya (pegawai), meskipun alat-alat yang dimiliki suatu perusahaan ataupun organisasi tersebut sangat canggih. Organisasi yang berhasil adalah organisasi yang secara efektif dan efisien mengkombinasikan sumber-sumber daya guna menerapkan strategi-strateginya.

Teknik paling tua yang digunakan oleh manajemen untuk meningkatkan kinerja adalah penilaian. Motivasi karyawan untuk bekerja, mengembangkan kemampuan pribadi, dan meningkatkan kemampuan di masa mendatang dipengaruhi oleh umpan balik mengenai kinerja masa lalu dan pengembangan. Bagian dasar manajemen melalui sasaran adalah anggapan bahwa kinerja pegawai dapat diperbaiki bila para pegawai mengetahui apa yang diharapkan dari mereka, kapan mereka diperbolehkan berperan serta dalam proses menetapkan harapan-harapan tersebut, dan kapan mereka dinilai dari hasilnya. Penilaian kinerja (performance appraisal) telah ditentukan bertahun-tahun, tetapi hal itu sering dilaksanakan tidak selayaknya. Para pegawai acap kali tidak dapat produktif sebagaimana mestinya, mungkin kinerjanya tidak dapat diukur dengan baik, atau kadang kala data kinerja yang diperoleh tidak digunakan secara konstruktif untuk meningkatkan produktivitas. Penilaian kinerja (performance appraisal) dapat mempertinggi produktivitas para pekerja, tetapi harus dilaksanakan dengan suatu cara sehingga dapat meningkatkan komitmen karyawan untuk lebih produktif. Penilaian kinerja (performance appraisal) yang akurat menuntut lebih dari sekedar alat pemberi nilai kinerja.

Penilaian kinerja (performance appraisal) amat penting bagi suatu organisasi. Dengan kegiatan tersebut suatu organisasi dapat melihat sampai sejauh mana faktor manusia dapat menunjang tujuan suatu organisasi. Melalui penilaian kinerja (performance appraisal), organisasi dapat memilih dan menempatkan orang yang tepat untuk menduduki suatu jabatan tertentu secara obyektif. Pentingnya penilaian kinerja (performance appraisal) juga dapat dilihat dari kaca mata pendidikan dan pengembangan pegawai/karyawan. Artinya, suatu organisasi menggunakan penilaian kinerja (performance appraisal) sebagai alat untuk menentukan apakah karyawan tertentu membutuhkan suatu keterampilan (skill) baru atau tidak. Apakah keterampilan yang dimilikinya masih mengikuti perkembangan organisasi yang ada. Apakah organisasi secara keseluruhan membutuhkan skill baru agar dapat eksis dalam kompetisi.

Penilaian kinerja (performance appraisal) pegawai di suatu institusi juga perlu memperhatikan tata cara yang lebih baik dari pada penilaian yang selama ini digunakan. Berdasarkan pasal 20 UU No 8 Tahun 1974 junto UU No 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1979 tentang penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS, penilaian kinerja (performance appraisal) untuk pegawai selama ini menggunakan format penilaian yang dikenal dengan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan). Dengan demikian pemerintah telah mendorong pelaksanaan DP3 untuk meningkatkan motivasi PNS agar dapat bekerja secara optimal. Namun melihat format DP3 yang tidak dapat menggambarkan secara akurat kinerja pegawai, lagi-lagi tujuan pemerintah tersebut hingga saat ini belum dapat tercapai. Pengaturan lebih lanjut tentang DP3 terdapat dalam PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS. Unsur yang dinilai dalam DP3 sesuai PP tersebut ada delapan buah yakni: kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Jadi, PP tersebut jika dibandingkan dengan UU-nya menambah unsur “kejujuran” dalam penilaian pelaksanaan pekerjaan.

Dalam menghadapi globalisasi maka pemerintah harus segera berbenah diri dalam berbagai aspek terutama aspek sumber daya aparaturnya, karena pada fase ini akan ada 2 permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia (Utomo, 1998: 28) yaitu : Pertama, kita menghadapi keadaan situasi, tuntutan dan tantangan dalam rangka menghadapi perubahan, perkembangan, kompetisi, sarat nilai, mobilitas dan pencarian jalan pintas. Kedua, kemajemukan secara geografis dan kemasyarakatan menuntut diperlakukan daerah-daerah tersebut sesuai dengan keberadaannya dan peningkatan kemandiriannya. Dan ini berarti bahwa kebijaksanaan atau peraturan tidak harus berorientasi ke pusat. Akibat adanya perkembangan teknologi dan otomatisasi pekerjaan terjadilah pergeseran pada bidang personalia yang pada akhirnya mengarah pada aspek yang bersifat sasaran dan kebijaksanaan yang dikenal dengan personalia anggota baru yang tidak lagi terpaku pada peraturan dan prosedur, tetapi mempunyai wewenang dalam merumuskan kebijakan organisasi, dengan adanya pergeseran tersebut maka timbul istilah Human Resources Management (Noor, 1992:13).

Dengan semangat otonomi daerah yang pelaksanaannya telah dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2002, menjadikan semakin jelas arah dan kebijakan Pemerintah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di masa yang akan datang. Semua urusan selama ini diatur dan ditetapkan dari pusat, ke depan menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh daerah, baik pelaksanaannya maupun pembiayaannya (Safar Nasir, 2003).

Untuk menjalankan fungsinya secara optimal, sedikitnya ada tujuh elemen utama penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu:

  1. Adanya urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah. Urusan tersebut merupakan isi otonomi yang menjadi dasar bagi kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
  2. Adanya kelembagaan yang merupakan pewadahan dari otonomi yang diserahkan pada daerah.
  3. Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga yang bersangkutan.
  4. Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.
  5. Adanya unsur-unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah.
  6. Adanya manajemen pelayanan publik agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomis, dan akuntabel.
  7. Adanya pengawasan, supervise, monitoring, dan evaluasi yang efektif dan efisien.

Penyebab ketidakandalan penilaian kinerja (performance appraisal), dalam hal ini menyangkut DP3 dalam praktik kepegawaian, khususnya pada Bappeda Kabupaten Blitar,  sebagai salah satu miniatur praktek kepegawaian di Indonesia adalah:

a.       Kurangnya pemahaman yang mendalam dari para Pejabat Penilai (Rater) dan Pegawai Yang Dinilai (Ratee) mengenai bagaimana melakukan penilaian prestasi pegawai yang baik. Pihak rater dan ratee kurang diberikan informasi secara utuh mengenai PP No. 10 Tahun 1979 beserta lampirannya. Sehingga rater dan ratee tidak mengetahui definisi dari kedelapan unsur penilaian prestasi dan bagaimana penilaian tersebut dilakukan dalam bentuk kuantitatif.

b.      Rater mengalami kesulitan dalam mempraktekkan PP tersebut karena terlalu banyaknya item-item (traits) yang dipertimbangkan sehingga pengisian DP3 menyita waktu, tenaga dan pikiran.

c.       Walaupun PP tersebut telah berusaha memberikan pedoman kepada rater dengan merinci kedelapan unsur penilaian kedalam item-item, namun faktor ketidakjelasan standar yang dipakai masih kita temukan. Sebagai contoh kalimat ‘selalu’, ‘pada umumnya’, ‘adakalanya’, ‘kurang’ yang dipakai untuk membedakan apakah suatu trait yang dinilai tersebut masuk kategori ‘Amat Baik’, ‘Baik’, ‘Cukup’, ‘Sedang’ dan ‘Kurang’ masih dapat ditafsirkan berbeda-­beda oleh para Rater jika tidak didukung oleh data yang jelas.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut diatas, maka diperlukan pengkajian dan analisis yang kritis terkait pengaruh Penilaian kinerja (performance appraisal) terhadap kinerja pegawai dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia guna pelaksanaan otonomi daerah pada Bappeda Kabupaten Blitar.

Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger