Dalam era Otonomi Daerah, peningkatan kualitas sumber daya manusia
dalam semua bidang merupakan prioritas utama yang diharapkan dapat membentuk
manusia yang berkualitas, memiliki kemampuan memanfaatkan dan menguasai Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi ( IPTEK ) yang digunakan untuk mendukung pembangunan
di bidang lainnya. Pada periode pembangunan Indonesia dalam meyongsong era
globalisasi dan era bebas, bangsa Indonesia menghadapi suatu era persaingan
yang semakin ketat. Kondisi yang demikian ini dapat diantisipasi dengan
keamampuan menysesuaikan diri dengan lingkungan baru yang kompetitif.
Satu-satunya cara yang paling tepat adalah dengan mempersiapkan sumber daya
manusia yang berkualitas siap dan mampu menghadapi tantangan zaman.
Soedjatmoko (1998) memberikan gambaran tentang manusia masa depan
era industri yang mempunyai ciri-ciri antara lain :
a.
Kaya informasi (well-informed) dan siap belajar seumur
hidup.
b.
Mampu nalar secara rasional.
c.
Memiliki sikap kreatif terhadap
tantangan baru, memiliki kemapuan untuk mangantisipasi mperkembangan,
berinovasi, dan bertanggung jawab.
Dalam upaya menyiapkan sumber daya manusia masa depan yang
berkualitas seperti tersebut diatas, pemerintahanmenjadi pengemban amanat yang
besar sekali. Dunia pemerintahanberperan dalam pembinaan dan pengembangan
sumber daya manusia dan merupakan modal dan pelaku pembangunan. Dalam konteks
inilah pemerintahanakan semakin dituntut untuk memainkan perannya, yaitu
pemerintahannasional harus diselenggarakan secara adil, relevan, berkualitas,
efektif, dan efisien.
Berbagai persoalan
Sumber Daya Manusia muncul di organisasi dapat memberikan beban dalam pencapain
tujuan. Gosip, kasak kusuk sebagai bentuk dinamika berkumpul yang cenderung menghambat pencapaian tujuan
Perusahaan. Dalam era globalisasi kebutuhan akan perencanaan Sumber Daya Manusia semakin memiliki peran penting guna
menunjang keberhasilan. Tentu saja,
sejauh mana sasaran organisasi baik yang bersifat profit maupun non
profit (social) dapat dicapai didasarkan atas kemampuan dalaam mengelola Sumber
Daya Manusia untuk melaksanakan kegiatan roda orgaanisasi.
Perencanaan merupakan
proses menganalisa kebutuhan Sumber Daya Manusia guna melakukan
aktifitas-aktifitas yang diperlukan dalam organisasi. Perencanaan ini berpusat
pada keseluruhan sistem sumber Daya Manusia yang terpadu pada penyusunan
kebbijakan dan program untuk mencapai tujuan organisasi. Perencanaan Sumber
Daya Manusia merupakan Estimasi secara sistematik tentang kegiatan kegiatan untuk memenuhi
kebutuhan sumber daya manusia organisasi. Manfaat yang diperoleh dalam
melakukan perencanaan SDM, yaitu:
1.
Meningkatkan pendayagunaan SDM
2.
Menyelaraskan aktifitas SDM
dengan sasaran organisasi secara efisien
3.
Melakukan pengadaan SDM
(karyawan) dari dalam dan luar organisasi
4.
Estimasi nilai goodwill SDM
5.
Mengintegrasikan sistem
informasi perencanaan SDM
Acuan dalam menyusun rencana SDM
diperlukan pertimbangan yang berkaitan sistim terpadu, seperti:
1.
Strategi pemerintahan dan
Operasional diuraikan untuk menggambarkan beban kerja yang akan dilakukan.
2.
Perumusan tujuan perencanaan
SDM yang dikaitkan dengan tugas secara efektif dan efisien.
3.
Penyusunan dan penetapan
persyaratan persyaratan SDM
4.
Rencana perolehan melalui
seleksi, Latihan, Transfer, Promosi atau Rekruitmen dari luar organisasi.
- Perlu Kendali dan Evaluasi sebelum dilakukan berkaitan dengan
tujuan perencanaan SDM
Peningkatan mutu kinerja dewasa ini merupakan suatu kebutuhan yang
tidak dapat ditunda-tunda lagi. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa
ditentukan terutama oleh keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas, yang
hanya dapat dihasilkan lewat pemerintahanyang berkualitas pula.
Mengingat pentingnya kinerja untuk meningkatkan pelayanan
masyarakat, maka dalam pengelolaannya membutuhkan kesiapan, perencanaan serta
manajemen yang efektif. Sebagai sebuah lembaga pemerintahanyang menajadi
tumpuan untuk mengangkat citra bangsa, maka lembaga desa perlu adanya
kematangan dalam bekerja.
Kualitas
pelayanan publik, administrasi-pemerintahan, efektivitas dalam menjalankan
kewenangan, kemampuan berinisiatif serta pembiayaan pembangunan yang
ditunjukkan oleh kebanyakan pemerintahan desa saat ini, dipastikan 180 derajat
berkebalikan dengan harapan dari semua pihak terutama oleh UU no. 32/2004.
Pemerintah desa sangat sulit diharapkan menjadi “entrepreneur-unit” yang
progresif dan mampu menjadi penghela perubahan sebagaimana dituntut oleh
gagasan “otonomi desa” (village-level autonomy) pada UU no. 32/2004 dan
Pertauran Pemerintah di bawahnya.
Fakta-fakta
yang digali dan ditemukan oleh studi-aksi di lapangan memang membuktikan
hadirnya sejumlah fakta yang memprihatinkan atas kinerja tata kelola
pemerintahan desa tersebut. Alih-alih menjadi mandiri, “wajah” organisasi
pemerintahan desa justru diwarnai oleh beberapa hal yang kurang menggembirakan,
seperti: (1) derajat ketergantungan struktural2 pemerintahan desa (lokalitas)
terhadap otoritas pemerintahan “atas desa” yang makin hari semakin menguat,
terutama dalam hal pendanaan dan inisiasi kreativitas terhadap ide-ide
perubahan; (2) stok modal social (kepercayaan publik pada kelembagaan
pemerintah desa) yang terus menipis seiring dengan
“etika-moral-penyelenggara-pemerintahan” yang menampakkan ciri-ciri lamban,
tidak responsif, dan praktek pemerintahan yang masih belum
transparan-akuntabelbertanggung jawab (bad governance); serta (3) sistem
manajemen dan administrasi publik yang belum adaptif terhadap kebutuhan OTODA
seperti tegaknya efisiensi dan efektivitas dalam pengambilan keputusan.
Ketiga
persoalan tersebut lebih banyak berlangsung pada “wilayah” struktur kelembagaan
pemerintahan desa, sehingga sebagai “unit-pemandu-perubahan”, jelas pemerintah
desa sulit memainkan peran sebagai institutional-entrepreneur bahkan
pada tuntutan yang paling minimal sekalipun. Terdapat dua dampak siklikal atas
terjadinya sindroma “ketidakberfungsian” kelembagaan (institutionally
less-functional) pemerintahan desa yang perlu dicermati terutama pada sisi human-actors
(aparat dan warga desa). Pertama, aparat desa dan warga desa umumnya
menghadapi kemiskinan dalam menggagas inisiatif-inisiatif (poor of
initiative) perubahan (pembangunan) yang bernas atau asli/otentik sesuai
dengan potensi, persoalan serta kebutuhan di tingkat lokalitas. Kemiskinan
stok-gagasan tersebut telah menyebabkan dampak bolak-balik terhadap
kelembagaan pemerintahan desa berupa ketidakberdayaan untuk berperan sebagai
“mesin perubahan sosial” (to generate local social change). Kedua,
aparat pemerintahan desa menghadapi ketidakberdayaan dalam menggalang kekuatan
lokal (terutama dalam membangun aksi dan kesadaran kolektif) bagi
perubahan sosial-ekonomi dan masyarakat lokalitas secara mencukupi.
Kelembagaan
pemerintahan desa menghadapi persoalan kekurangan stok modal-sosial yang
diperlukan sebagai “energi” (dalam bentuk trust dan jaringan
sosial) bagi perubahan di aras kolektivitas sosial desa. Aksi-reaksi
bolak-balik antara sisi “agensi dan struktur” tersebut telah menyebabkan
tampilan keseluruhan tata-pemerintahan desa tidak kondusif untuk menyambut era
OTODA, terlebih dalam mengemban missi kemandirian desa.
Lembaga desa sebagai salah satu wadah utama dan menjadi dasar bagi
pemerintahan yang berkualitas pada masa mendatang jika sejak dini kualitas
kinerja ditingkatkan, dengan sangat terbatas kualitas sumber daya manusia perlu
adanya pembinaaan dalam kinerja. Dalam penelitian ini dengan judul : “ Pengaruh Kepemimpinan Kepala Desa dan Kualitas Proses Pengambilan
Keputusan Terhadap Kinerja Perangkat Desa Se Kecamatan Tiris Kabupaten
Probolinggo “.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar