Hampir setiap organisasi bisnis menyatakan bahwa “manusia
adalah aset terpenting bisnis kami”. Secara eksplisit hal itu menghargai
mereka, namun dalam kenyataannya seringkali bertentangan dengan realita yang
ada. Misalnya, bagi perusahaan/organisasi yang terlalu banyak menggunakan pola
padat modal sebagai pengganti manusia, bisa jadi manusia hanya dipandang
sebagai unsur produksi yang tidak ada bedanya dengan unsur lainnya, hal ini
tentunya kurang manusiawi. Di sisi lain, masih banyak terdapat perusahaan/organisasi
yang menerapkan sistem upah, iklim kerja, dan kepemimpinan yang kurang
kondusif. Namun terlepas dari
hal-hal tersebut, secara umum manusia dan potensinya merupakan elemen utama
dari keberhasilan suatu bisnis. Tinggal lagi bagaimana somber daya manusia
berupa tingkat etos kerja, pendidikan, keterampilan, pengetahuan, emosi,
kejujuran, kesehatan, pengalaman, dan kepemimpinan dapat dioptimalisasikan
(Gunawan, 2002).
Suatu perusahaan/organisasi
didalam mencapai tujuan tentunya menghadapi adanya kendala, apakah itu tujuan
untuk mencapai laba, memenangkan persaingan, ataupun memenuhi kepuasan
pelanggan. Namun permasalahan dalam pencapaian tujuan tersebut tidaklah
sesederhana yang dipikirkan pihak manajemen. Kendala-kendala utama yang timbul
terutama dapat berasal dari para pegawai sebagai anggota organisasi, seperti
perilaku individunya, rendahnya kepuasan kerja serta komitmen pegawai untuk
tetap bekerja dalam jangka waktu yang sudah ditentukan perusahaan/organisasi (Armansyah,
2002).
Individu sebagai salah satu
hal yang menentukan keberhasilan organisasi tentunya memiliki latar belakang
yang berbeda diantaranya adalah pengalaman kerja dan kebutuhan yang pada
akhirnya memberikan ciri-ciri tertentu pada masing-masing individu.
Thoha dalam Setyowati (1997)
berpendapat bahwa individu membawa dirinya ke dalam tatanan organisasi,
kemampuan, kepercayaan pribadi, penghargaan kebutuhan, dan pengalaman masa
lalunya. Ini semua adalah karakteristik yang dimiliki individu dan karakteristik
ini akan memasuki suatu lingkungan baru, yakni organisasi atau lainnya. Sejalan
dengan hal itu Robbins dalam Sutrisno (1997) mengungkapkan bahwa karakteristik
individu meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan
dan masa kerja. Selain karakteristik individu, hal lain yang juga perlu
mendapat perhatian adalah kepuasan kerja dan komitmen pegawai terhadap
organisasi.
Berdasar beberapa penelitian
dalam Sumberdaya Manusia, karakteristik individu mempunyai pengaruh terhadap
kepuasan kerja, meskipun terkadang pengaruh tersebut bersifat positif maupun
negatif (Green,2000). Disisi lain, karakteristik individu ini ternyata dapat
pula digunakan untuk memberikan penjelasan atas perbedaan komitmen yang
ditunjukkan oleh responder serta perbedaan tingkat turnover. Hal serupa juga dinyatakan dalam penelitian
Hawkins (1998) bahwa Usia, jenis kelamin, masa kerja, perceived fairness,
dan perceived organizational support terkait dengan komitmen
afektif. Sedangkan status perkawinan, berdasar hipotesis Sager (1991) dalam
Pribadi (1998) menyatakan ada hubungan positif antara status perkawinan dengan
komitmen organisasi.
Kepuasan kerja merupakan
pandangan yang lebih dikhususkan pada pekerjaan itu sendiri maupun aspek-aspek
pekerjaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Robbins (1996) bahwa kepuasan kerja
merupakan sikap umum pegawai terhadap pekerjaannya.
Tuntutan adanya kepuasan
kerja semakin meningkat seiring dengan persaingan antara organisasi bisnis.
Organisasi yang tidak mampu memberikan kepuasan kerja pada pegawainya, akan
menghadapi resiko penurunan produktivitas kerja, tingginya tingkat Turnover (Luthans,
2001). Keadaan ini dinyatakan pula oleh Feinstein (2000), bahwa pegawai yang
merasa puas, ternyata lebih bersikap komit terhadap organisasi, memiliki sikap
yang menyenangkan terhadap pekerjaan dan organisasinya, dan lebih kecil
kemungkinan untuk meninggalkan organisasinya dari pada pegawai yang tidak puas.
Berbeda dengan kepuasan kerja yang merupakan pandangan
pegawai terhadap pekerjaan secara khusus, komitmen organisasi secara umum
dipahami sebagai suatu ikatan kejiwaan individu terhadap organisasi termasuk
keterlibatan kerja, kesetiaan dan perasaan percaya terhadap nilai-nilai
organisasi. Banyak hal yang mendorong terciptanya komitmen organisasi, diantaranya
kepuasan kerja yang diperoleh di dalam organisasi. Kepuasan akan pembayaran
yang diberikan perusahaan/organisasi, kepuasan kondisi kerja apakah secara
mental pekerjaan yang dihadapi menantang atau tidak, sikap atasan dan
pengawasan yang ada, hubungan dengan sesame rekan kerja, merupakan
faktor-faktor penentu komitmen organisasi.
Di dalam menjalankan perusahaan/organisasi, tentunya
pihak manajemen perwakilan Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo berupaya untuk
meningkatkan kepuasan kerja pegawainya secara optimal. Salah satu upaya yang
dilakukan adalah pemenuhan kebutuhan para pegawainya. Jika kondisi kerja yang
dihadapi pegawai tidak sebanding dengan pengharapan mereka terhadap perusahaan/organisasi,
tentunya akan timbul ketidakpuasan dan pada akhirnya akan berpengaruh pada
tingkat komitmen.
Berdasar uraian di atas, bagaimana menumbuhkan
komitmen pegawai merupakan hal yang menarik jika ditinjau dari segi
karakteristik individu dan kepuasan kerja yang dirasakan oleh para pegawai
khususnya di Garasi Perwakilan Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo sebagai
obyek penelitian ini. Suatu perusahaan/organisasi bisnis akan lebih mudah
mencapai sasaran dan tujuannya jika pegawai mempunyai komitmen terhadap perusahaan/organisasi.
Komitmen akan meningkat seiring dengan meningkatnya kepuasan kerja pegawai.
Kondisi ini akan dapat terwujud, apabila perusahaan/organisasi berupaya
meminimalkan kemungkinan terjadinya resiko akibat adanya ketidakpuasan kerja
serta mengelola aspekaspek kerja sebaik mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar