Dewasa ini, persaingan global telah
dirasakan oleh berbagai organisasi/organisasi. Kondisi ini dirasakan, walaupun
perdagangan bebas belum diberlakukan secara penuh antar negara baik dalam skup
Asia maupun dalam dunia internasional.
Sebagian besar organisasi/organisasi di
Indonesia, telah mempersiapkan diri dengan melakukan pembenahan di segala
bidang, termasuk sumber daya yang dimilikinya. Tujuannya adalah agar dapat
untuk tetap survive menghadapi
berbagai perubahan di era-milenium ketiga ini, karena organisasi/organisasi-organisasi/organisasi
yang mampu bertahan dan menang dalam persaingan adalah yang mampu mengelola
segala sumber daya yang dimiliki (Djojonegoro, 1997).
Semakin kompetitifnya persaingan dalam
dunia bisnis tersebut, mengharuskan organisasi/organisasi untuk dapat memiliki keunggulan
dalam menghadapi persaingan (kompetitif
advantages) yang sifatnya berkesinambungan.
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu
faktor kunci untuk membangun suatu keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.
(Gress & Pfeffer 1995), karena banyak diantara organisasi/organisasi yang
mengalami penurunan usaha karena terpaku oleh kegiatan operasionalnya saja
tanpa memperhatikan sumberdaya manusia yang dimiliki (Djojonegoro, 1997). Olen
karena itu, dalam kehidupan berorganisasi manusia merupakan salah satu dimensi
utama organisasi (Schermerhorn , 1998,
Indrawijaya 1998), dan menjadi pemeran sentral pendayagunaan sumber-sumber yang
lain (Sujak, 1990). Ini berarti, bagaimana pun baiknya organisasi, lengkapnya
sarana dan fasilitas kerja, semuanya tidak akan mempunyai arti tanpa adanya
aktivitas manusia yang menyatu, menggunakan dan memeliharanya
Keefektifan suatu organisasi dalam rangka
mencapai tujuan akan sangat dipengaruhi oleh kualitas dari anggota organisasi
(Fieldmen & Arnold 1985), khususnya perilaku dari para anggota organisasi
tersebut, atau dengan kata lain kinerja organisasi tergantung pada kinerja
individu (Gibson et al. 1996).
Mengacu pada penjelasan tersebut, maka
perilaku organisasi baik yang bersifat kelompok maupun individu akan memberikan
kekuatan terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan, sebab apa yang
dikerjakan manusia dalam organisasi dan perilakunya itu akan mempengaruhi
kinerja organisasi (Nimran, 1996). Hal ini didasarkan oleh adanya pemikiran
bahwa prestasi kerja individu akan memberikan kontribusi pada prestasi kelompok
selanjutnya prestasi kelompok memberikan kontribusi pada prestasi organisasi.
Mengingat arti pentingnya kedudukan
manusia dalam organisasi, maka seorang manager perlu kiranya untuk mempelajari dan
memahami perilaku bawahannya dan mendorongnya demi pencapaian tujuan organisasi
secara efektif (Nimran, 1996, Sujak, 1990; dan Anoraga, 1992). Hal ini disebabkan
tugas manager adalah menyelesaikan urusan-urusan lewat orang lain (Robbins,
1996), dengan tugas utama bertanggungjawab atas pencapaian tujuan organisasi,
kemudian melakukan evaluasi kinerja, serta membantu bawahannya agar lebih
efektif dalam menjalankan tugasnya (Beer dan Ruh, 1991).
Pernyataan tersebut, dipertegas oleh E.A
Johns yang menyatakan bahwa keberhasilan seorang pimpinan pada masa yang akan
datang ditentukan oleh kemampuannya untuk mengenal perilaku .manusia (Johns
dalam Indrawijaya 1988).
Berdasarkan penjelasan tersebut, pimpinan
yang berkedudukan sebagai
pembina manusia, sangat dituntut integritas karakternya sebagai seorang pembina
yang harus mampu memandang orang-orangnya sebagai sumberdaya yang
penting yang akan menentukan kemajuan organisasinya. Kondisi yang demikian
akan menuntut konsekuensi logis kemampuan pimpinan yang harus dapat menciptakan
suasana yang kondusif yang mampu memberikan kesempatan dan kemudahan kepada
bawahannya untuk tumbuh, berkembang, serta berprestasi dalam suasana organisasi
yang dinamis (Sujak, 1995).
Para pengelola suatu organisasi, terutama
para pimpinan sangatlah penting untuk mengetahui perilaku individu atau pegawai
sebagai anggota di dalam organisasinya, agar lebih mudah menggerakkan atau
memotivasi mereka, bekerja mencapai prestasi atau kinerja yang tinggi (Mohyi,
1999).
Melalui pengenalan dan pemahaman terhadap
perilaku kerja pegawai diharapkan akan bisa meramalkan, menjelaskan dan
mengendalikan perilaku pegawai kearah yang dikehendaki (Gibson et. al., 1996), karma kekuatan sumberdaya
manusia dibentuk oleh sifat dan karakter yang berbeda dari masing-masing
individu, yang dituangkan dalam bentuk pandangan untuk mencapai tujuan organisasi/organisasi
(Djojonegoro, 1997). Perbedaan antara seorang individu dengan individu lainnya,
termasuk kemampuan dalam memecahkan masalah atau bagaimana mereka dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan.
Setiap individu (pekerja) yang bergabung
dengan suatu organisasi harus menyesuaikan dengan lingkungan yang baru, orang
baru. Bagaimana orang menyesuaikan diri pada situasi dan orang lain sangat
tergantung pada bentuk psikologis dan latar belakang pribadi mereka. Setiap
usaha untuk mempelajari mengapa seseorang berperilaku seperti yang mereka
lakukan dalam organisasi mensyaratkan beberapa pengertian mengenai perbedaan individual.
Para pimpinan menghabiskan cukup banyak waktu untuk menilai kecocokan antara
individu. tugas kerja, dan keefektifan. Baik karakteristik pimpinan ataupun
bawahannya, akan mempengaruhi penilaian kinerjanya (Gibson el al., 1996). Tanpa adanya pegawai yang berprestasi tinggi, suatu organisasi/organisasi
akan gagal mencapai tujuannya (Gress 1998; Pfeffer 1995).
Menurut Lewin dalam Lau (1.975), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kerja pegawai
bisa berasal dari dalam diri pegawai itu sendiri (faktor individu) dan faktor
yang ada diluar (budaya organisasi).
Djojonegoro (1997) mengemukakan bahwa
untuk memberi pandangan yang sama bagi sumberdaya manusia dalam organisasi, perlu
dibentuk suatu aturan main dalam bentuk budaya organisasi/organisasi sebagai
pengikat dalam bertindak dan akan mencerminkan ciri khas dari organisasi,
sehingga anggota organisasi seperti orang berbaris menuju satu tujuan. Karena
budaya adalah sesuatu yang sangat kompleks dan luas dimana menyangkut antara
lain perilaku, upacara, ritual, maupun kepercayaan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan guna
meningkatkan kinerja organisasi agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya
secara efektif, efisien, terarah dan terencana adalah menyiapkan SDM yang
profesional serta budaya organisasi/organisasi yang mendukung (Gress &
Pfeffer 1995).
Bagi organisasi, budaya merupakan “harta”
yang sangat berharga karena kemampuannya untuk mengarahkan perilaku para
anggota organisasi ketujuan organisasi yang dikehendaki (Soetjipto dalam Usahawan, 1997).
Budaya organisasi itu bisa dirasakan
keberadaannya melalui perilaku anggota/pegawai di dalam organisasi itu sendiri.
Kebudayaan tersebut memberikan pola cara-cara berfikir, merasa, menanggapai dan
menuntun para anggota organisasi dalam mengambil keputusan maupun kegiatan-kegiatan
lainnya dalam organisasi. Oleh karena itu budaya organisasi akan berpengaruh
pada perilaku individu serta kelompok di dalam organisasi, serta akan
berpengaruh pula terhadap prestasi individu tersebut dan sekaligus secara
bersama-sama akan berpengaruh pada efektif-tidaknya pencapaian tujuan suatu
organisasi (Mohyi, 1999).
Peran budaya dalam mempengaruhi perilaku pegawai
tampaknya dianggap semakin penting dalam dasawarsa 1990-an. Adanya rentang
ketidali yang semakin lebar, didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim,
dikuranginya formalisasi, dan diberi kuasanya pegawai oleh organisasi, makna
bersama yang diberikan oleh suatu budaya memastikan bahwa semua orang diarahkan
ke arah yang sama (Robbins, 1996).
Budaya organisasi menjadi sangat berarti
bagi kelangsungan hidup organisasi terutama bila dikaitkan dengan upaya organisasi
untuk mengatasi berbagai masalah dalam adaptasi atas berbagai perkembangan dan
perubahan eksternal dan integrasi terhadap kekuatan internal (Schein dalam Hatch, 1997).
Budaya dapat memiliki pengaruh yang
bermakna pada sikap dan perilaku anggota-anggota organisasi, terutama karena
budaya melakukan sejumlah fungsi
dalam suatu organisasi. Pertama,
budaya mempunyai suatu peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan
pembedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitmen
pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan individual. Keempat, budaya meningkatkan kemantapan
sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang
harus dikatakan dan dilakukan oleh para pegawai. Akhirnya budaya berfungsi
sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap
dan perilaku pegawai (Robbins, 1996).
Ditinjau dari segi pengertiannya, budaya
organisasi merupakan suatu pola yang unik dari asumsi, nilai dan norma yang membentuk
aktivitas organisasi, bahasa, simbul dan perilaku. Seperti halnya setup
kepribadian individual, suatu budaya organisasi memberikan suatu pola yang
dapat diduga dan pengharapan yang mengacu mengacu pada; bagaimana memecahkan
masalah, menemukan tujuan dan menghadapi pelanggan, bagaimana pegawai berpersepsi,
berfikir dan perperasaan mengenai solusi yang telah digunakan diwaktu yang lalu
untuk menghadapi berbagai masalah, bagaimana ganjaran dan hukuman yang
ditentukan (Hellrigel & Slocum, 1996).
Budaya organisasi dapat membantu kinerja pegawai,
karena menciptakan suatu tingkat motivasi yang luar biasa bagi pegawai untuk
memberikan kemampuan terbaiknya dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan
oleh organisasi. Barney dalam Lado
& Wilson (1994) menyatakan nilai-nilai yang dianut bersama membuat pegawai
secara nyaman bekerja, memiliki komitmen dan kesetiaan serta membuat pegawai
berusaha lebih keras, meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja serta
mempertahankan keunggulan kompetitif.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
dikatakan bahwa perilaku kerja, pegawai dalam berorganisasi tidak hanya
ditentukan oleh satu faktor saja, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor ini bisa berasal dari diri pribadi pegawai maupun dari faktor
luar (Gibson et. al., 1996).
Hasil interaksi antara kedua variabel
tersebut dalam organisasi tidak hanya berpengaruh terhadap perilaku kerja pegawai,
tetapi juga berpengaruh terhadap kinerjanya (Gibson et. al., 1996). Steers (1985) menyatakan apabila interaksi antara
individu dengan lingkungannya (dalam hal ini budaya organisasi) bisa berjalan dengan
baik, maka akan diperoleh dua hasil perilaku kerja yang sama-sama penting. Pertama, keinginan individu untuk tetap
mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Kedua, adanya keinginan individu untuk berkarya dalam kerja, dan
akan memberikan sumbangannya bagi pencapaian tujuan organisasi.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka
penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai “Pengaruh Faktor Individu Dan
Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Kerja Pegawai di Sektretariat Daerah Bagian
Penyusunan Program Kabupaten Probolinggo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar