Bangsa dan Negara Indonesia
baru saja melaksanakan pesta demokrasi untuk melaksanakan pemilihan umum Presiden
serta Wakil Presiden 2009 yang didahului dengan Pemilu Legislatif. Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden menjadi perhatian peneliti, karena pemilu ini baru
kali kedua sejak Indonesia merdeka?. Hal ini terjadi karena masa lalu, yaitu
masa Orde lama maupun Orde baru aturan dasarnya belum mengatur tentang pemilu
ini. Yang terjadi adalah Presiden
sebagai mandataris MPR, dipilih dan diberhentikan melalui mekanisme lembaga MPR.
Sejak amandemen UUD 1945 yang
dilakukan dalam 4 tahap, yaitu tahap pertama terjadi pada tanggal 19 oktober
1999 sampai dengan tahap keempat, pada tanggal 10 Agustus 2002, menetapkan salah
satu pasal 6A yang mengatur: Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu.
Pasangan yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara
dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang
tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi
Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk menjabarkan lebih
lanjut ketentuan tersebut, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam dictum menimbang dinyatakan
sebagai berikut :
a. bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis
dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden;
Dari dasar itulah, maka
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri waktu itu mau tidak mau, suka atau tidak
suka memiliki suatu kewajiban melaksanakan amanah amandemen pasal 6A UUD 1945 dan
UU tersebut untuk kali pertama. Sebagaimana Charles Lindblom (dalam Abdul
Wahab, 1990), menuturkan bahwa pembuatan kebijakan negara (Public-Policy-making)
itu pada hakekatnya merupakan “an extremely complex, analytical and
political process to which there is no beginning or end, and the boundaries of
which ore mused uncertain. Somehow a complex set of forces that we call
policy-making all taken together, produces effects called policies”.
(merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana tidak mengenal
saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya yang
paling tidak pasti. Serangkaian kekuatan yang agak kompleks yang kita sebut
sebagai pembuatan kebijakan negara, itulah yang membuahkan hasil yang disebut
kebijakan).
Raymond Bouer (dalam Wahab,
1990) merumuskan pembuatan kebijakan negara sebagai proses tranformasi atau
pengubahan input-input politik menjadi output-output politik. Pandangan ini
nampak amat dipengaruhi oleh teori analisis sistem, schagaimana yang dianjurkan
o1ch David Easton (1963).
Secara lebih terperinci
seorang pakar kebijakan negara dari Afrika, Chief J. O. Udoji (1981) merumuskan
pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole process of articulating and defining
problems, formulating possible solutions in to political demands, channeling
those demands in to the political system, seeking sanctions or legitimating of
the preferred course of action, legitimating and implementation, monitoring and
review (feedback)”. (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian,
dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk
tuntutan-tuntutan politik, pengupayaan pemberian sanksi atau legitimasi dari
arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring
dan peninjauan kembali (umpan balik).
Seringkali setiap pembuat
kebijakan memandang setiap masalah politik berbeda dengan pembuat kebijakan
yang lain. Belum tentu suatu masalah yang dianggap masyarakat perlu dipecahkan
oleh pembuat kebijakan dapat menjadi isu politik yang bisa masuk ke dalam
agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi kebijakan. Proses pembuatan
kebijakan yang sudah begitu sulit dan rumit dilakukan, belum lagi dihadang
dengan persoalan : apakah kebijakan negara itu sudah diperhitungkan dapat
secara mudah dan lancar ketika diimplementasikan. Hasil implementasi akan
berdampak positif atau negatif juga berpengaruh terhadap proses perumusan
kebijakan berikutnya.
Proses pembuatan atau
perumusan kebijakan pada intinya adalah suatu tindakan dari interaksi di
lingkungan stakeholder yang menghasilkan output dalam bentuk kebijakan.
Pengambilan keputusan yang baik dan benar untuk suatu kebijakan memerlukan data
dan informasi yang lengkap, disamping pengetahuan yang cukup mengenai kondisi
dan situasi yang Akan menjamin terlaksananya keputusan tersebut. Dengan
demikian barulah keputusan mengenai kebijaksanaan itu mendapat persetujuan,
dukungan dan kepercayaan masyarakat. (Soenarko; 53 : 2000).
Sehingga terjadilah
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden untuk kali pertama secara langsung
sebagai amanah UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 2004. Ternyata hasil yang didapat
berdasarkan Pemilu tersebut belum memenuhi ketentuan pasal 6A ayat (3), yaitu
dari 5 pasang calon tidak satupun yang memperoleh lebih dari lima puluh persen,
sehingga harus dilakukan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahap II,
yang berlangsung pada tanggal 20 September 2004. Pada Pemilihan umum tahap II
ini yang berhak mengikuti putaran II adalah pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla dan pasangan Megawati Soekarno Putri- KH.Hasyim
Muzadi. Ternyata pemilihan umum Presiden ini, walaupun untuk kali pertama
terselenggara, hasilnya memuaskan dan cukup demokratis, free and fire election,
aman, jujur dan relatif adil. Sehingga tercatat dalam sejarah Pemilihan umum di
Indonesia yang baik dan demokratis, yang mengantarkan Presiden terpilih Susilo
Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan panggilan SBY dan Wakil Presiden
Muhammad Jusuf Kalla yang dikenal dengan panggilan JK. Sehingga dalam sejarah
Bangsa Indonesia ini Presiden dan Wakil Presiden pilihan rakyat ini, untuk kali
pertama dengan hasil yang sangat memuaskan.
Waktu berjalan Pemerintahan
SBY-JK mengendalikan Pemerintahan di Negeri ini untuk waktu 5 tahun sampai
dengan Tahun 2009. Dalam proses perjalannya keluar produk hukum yang dibuat
oleh Pemerintah bersama DPR untuk persiapan pemilu Presiden dan Wakil Presiden
berikutnya, yaitu Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden untuk melaksanakan
Pemilihan Umum kali kedua.
Sehingga pada tanggal 8 Juli
2009 kita Bangsa dan Negara Indonesia untuk kali kedua melaksanakan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 1
ayat (1) Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 menyatakan bahwa :
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Disamping itu dengan
pemilihan umum secara langsung ini sebagai bagian dari proses demokrasi yang
dibangun Indonesia, untuk mewujudkan Pemerintahan yang baik menuju terwujudnya good
and clean government. Sehingga
terjadilah pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebagai
amanah UUD 1945. Pasal 2 Undang-undang
tersebut menyatakan bahwa Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Berarti rambu-rambu normative
telah mengatur sedemikian rupa agar Pemilu berjalan dengan tertib dan lancar.
Realita yang terjadi secara factual
dan umum, hasil yang didapat berdasarkan Pemilu kali kedua yang diselaraskan melalui
ketentuan tersebut, dari 3 pasang calon yang memperoleh lebih dari lima puluh
persen. Ternyata pemilihan umum Presiden ini, walaupun kali kedua
terselenggara, hasilnya relative memuaskan dan demokratis, free and fire election, aman, jujur dan
relatif adil. Kalau disana-sini masih ada dinamika dengan aroma ketidakpuasan
itu sesuatu yang sangat manusiawi. Sehingga tercatat dalam sejarah Pemilihan
umum di Indonesia yang baik dan demokratis, yang mengantarkan Presiden terpilih
Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan panggilan SBY dan Wakil Presiden Boediono
yang dikenal sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat, dengan hasil
yang memuaskan.
Persoalannya human capital
para kandidat, kalau dilihat kasat mata masing-masing calon memiliki human
capital yang sangat potensial dan aktual. Dimana pasangan Megawati Soekarno
Putri- Prabowo Subianto sumber kekuasaannya sangat actual, yaitu authoritas
dirinya sebagai Ketua Umum PDIP dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra). Logika politik beliau sangat mudah menggunakan alat
kekuasaan untuk menguatkan posisi kekuasaannya sebagai Presiden dan Wakil
Presiden. Beberapa jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah anak buah sendiri yang berasal dari
satu partai yaitu PDIP. Sebagaimana yang terjadi di Malang raya yaitu Walikota
Malang, Walikota Batu dan Bupati Malang berasal dari satu induk organisasi,
yaitu PDIP. Didukung oleh adanya koalisi dengan Partai Gerindra. Masih ditambah
lagi elit-elit partai yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan adalah mereka
yang sudah berpengalaman.
Sehingga dalam bahasa yang
sederhana Megawati dan Prabowo Subianto punya fasilitas kekuasaan yang cukup
strategis untuk membuat jaringan kekuasaan sampai daerah-daerah, dia punya
fasilitas yang lebih, baik dukungan material dari rekan sejawatnya sebagai
sarana mobilisasi massa, punya kekuatan yang didukung partai besar dan
pengalaman serta punya kader-kader yang militan, masih ditambah dengan potensi
pasangan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto sebagai seorang yang matang
dalam mengelola organisasi baik sipil maupun militer dan sebagai pengusaha yang
sukses dan kaya.
Berikut pasangan Mohammad
Jusuf Kalla dan Wiranto, juga memiliki human capital yang sangat baik
& berpengalaman. Jusuf Kalla dalam waktu bersamaan sebagai Wakil Presiden
RI, Ketua Umum Golkar yang nota bene dalam pemilu Legislatif, 9 April 2009
sebagai pemenang kedua setelah Partai Demokrat. Berikutnya berdampingan dengan Wiranto untuk
kali kedua mencalonkan sebagai Wakil Presiden. Kemauan kerasnya untuk mengabdi
kepada Bangsa dan Negara Indonesia, ternyata tidak terpilih pada Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal, 5 Juli 2004 melalui kendaraan Partai
Golkar (Waktu itu Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu Legislatif). Akhirnya dalam
perjalanannya Wiranto mendeklarasikan sebuah Partai baru bernama Partai Hati
Nurani Rakyat (Partai Hanura). Pengalamannya yang luar biasa dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara ( karier di Militer dan Pemerintahan) sehingga human
capital beliau cukup kiranya secara logic untuk dapat mengantarkan pada
kursi singgasana, yaitu istana Presiden dan Wakil Presiden.
Namun nyatanya hasil yang
diperolehnya jauh dari yang kita duga, sehingga sangat menarik untuk dikaji
tentang human capital ini dikaitkan dengan perubahan perilaku politik
masyarakat dan bagaimana hal ini bisa terjadi. Pertanyaan yang muncul apakah
masyarakat kita sudah pandai atau minimal melek politik, apakah ia
betul-betul memilih berdasarkan hati nurani atau yang lain. Apakah rakyat
memahami dengan kebijakan yang populis dan kurang populis, keberpihakan kepada
rakyat kecil menjadi sandaran suatu harapan. Persoalan lapangan kerja,
pendidikan, ekonomi mikro yang banyak melibatkan potensi rakyat kecil terasa
sangat menjadi primadona dalam meraih hati rakyat. Sehingga tanpa bermaksud
untuk mengkritisi kebijakan yang ada, semua terpulang pada proses langsung yang
dirasakan oleh rakyat.
SBY sebagai Presiden bersama
Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden tidak selamanya kebijakannya berpihak pada
rakyat. Ada persoalan-persoalan bangsa dan rakyat Indonesia yang harus
dilakukan dalam mengambil kebijakan walaupun tidak populis, antara lain
kenaikan BBM, Listrik, Ekonomi Mikro yang masih banyak dirasakan rakyat belum
sepenuhnya dapat pulih. Ditambah persoalan-persoalan bangsa karena Gempa Bumi,
Banjir, Lumpur Lapindo, Separatisme di Maluku dan Papua. Singkat kata masih
banyak persoalan bangsa dan Negara ini yang dirasakan oleh rakyatnya, sehingga
harus sabar dan terus bersabar serta memohon pada Tuhan Yang Maha Esa agar
segera keluar dari himpitan masalah yang menimpa bangsa Indonesia ini.
Disisi yang lain, muncul harapan yang bisa dilihat, dirasakan oleh
rakyat melihat perilaku elit politik yang cenderung corrupt yang berpihak pada kepentingan golongan atau
partainya. Maka perlu terobosan dalam pemberantasan
korupsi, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang
bersifat ad hoc, untuk menangani Korupsi yang melanda negeri ini.
Upaya lain sekarang sudah
mulai bergeser dan disadari bahwa urusan partai harus dipisahkan dengan urusan
kenegaraan. Sehingga seseorang yang telah menduduki posisi di pemerintahan
harus melepaskan jabatannya sebagai Ketua Partai. Sebagaimana fatsunt,
norma, ethika dan tatakrama berpolitik, sebagai kekuatan moral dalam
mengingatkan penguasa-penguasa politik, karena di Indonesia memang belum ada
peraturan yang mengatur dan membatasi seseorang yang menjabat di pemerintahan
tidak boleh merangkap jabatan di partai. Fatsunt, norma, ethika dan
tatakrama yang dimaksud adalah my loyalty to my party the end, my loyalty to
my country begin. Agar tidak overlepping, tumpang tindih ketokohannya sebagai seorang
negarawan atau pimpinan partai, bisa berkonsentrasi pada bidang tugas di
pemerintahan untuk mengurusi rakyatnya, sehingga mampu mengembangkan komitmen
untuk kepentingan rakyat banyak, kebijakan-kebijakannya tidak ambivalen antara rakyat banyak dengan untuk partai.
Dari gambaran ini nampaknya,
kandidat Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono,
memiliki human capital yang
relatif potensial walaupun juga ada yang actual dan lebih nyata. Karena mereka
dalam waktu yang bersamaan sedang berkuasa (SBY sebagai Presiden), memiliki
jaringan kekuasaan walaupuan masih banyak dikuasai PDIP dan GOLKAR. Namun yang bisa dicatat dan dipahami bahwa
SBY adalah sosok tokoh negarawan yang memahami perspektif moral bersama
rakyat, berwibawa, politik yang
dilakukan cenderung santun, dengan menggunakan filosofi Jawa yang andap
asor, mikul duwur mendem jero, ambeg parama arta (mendahulukan yang
utama), tidak emosional, seambrek pengalamannya di dunia Militer dan
Pemerintahan relatif bersih, tidak cacat hukum maupun moral.
Cara-caranya
dalam menyelesaikan masalah cukup strategis dan tepat. Walaupun kadang-kadang
dinilai oleh masyarakat atau lawan politiknya SBY cenderung lamban, peragu
tidak segera ambil sikap. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh Jusuf Kalla
dalam Pemilunya kemarin, melalui slogan “lebih cepat lebih baik”. Namun
kalau dipahami riwayat hidupnya (baik karier Militer, Pendidikan dan di
Pemerintahan) potensi dirinya sangat pandai dan jujur. Sehingga rakyat menilai
dengan berbagai cara, berdasarkan sudut pandang (frame of thinking) yang
sangat berbeda-beda pula. Nampaknya dengan berbagai penilaian itu ada benang
merah yang saling bertautan dan membentuk kesimpulan yang relatif sama.
SBY seorang
pemimpin masa depan, pemimpin yang karismatik, pemimpin rakyat sejati bahkan
juga bisa disebut satriyo piningit yang menerima wahyu dari Tuhan Yang
Maha Esa. Sementara Boediono seorang profesional yang paham dengan irama
ekonomi bangsa Indonesia ini, sebelumnya menjabat sebagai Menko perekonomian
dan Gubernur BI. Walaupun bukan berasal
dari tokoh politik, sehingga di awal kekuasaannya dengan century gate bersama Sri Mulyani, guncangannya sangat
keras, seakan tidak mampu untuk membendungnya, namun waktu telah berbicara, prestasinya
masih bisa dirasakan rakyat banyak. Kalaupun mendapat apresiasi yang kurang
baik itu sesuatu yang wajar, ia paham bagaimana reformasi dan regulasi ekonomi
harus dijalankan, ia juga paham bagaimana ekonomi Indonesia ini harus dikelola.
Sehingga kalau ujian yang dihadapi sangat dasyat nampaknya ia pun juga
terselamatkan.
Gerakan-gerakan
rakyat yang demikian ini cenderung mengerucut dengan berbagai bentuk aktifitas,
antara lain influence, persuation, manipulation dengan daya sugesti dan
metafisik yang digerakkan. Kiranya inilah modal potensial dan aktual yang
dimiliki oleh SBY serta Boediono. Tentu masih banyak lagi lainnya yang belum
dapat disebutkan. Akhirnya realita politik yang terjadi dari hasil pemilihan
umum presiden dan wakil presiden, tanggal 9 Juli 2009 mengantarkan pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden
2009-2014
Namun semua
itu masih dalam kapasitas human capital sebagai analisis faktual, belum
teruji secara ilmiah, belum didukung oleh alat analisis yang valid dan
reliable. Sehingga perlu pembuktian kebenarannya secara ilmiah berdasarkan
rambu-rambu metodologi yang ilmiah pula. Dari gambaran tersebut maka dapat
dikerucutkan bahwa perilaku dan keputusan pemilih pada Pemilihan Umum Presiden
sangat mengejutkan, dan diluar perkiraan banyak pengamat. Pertanyaan lebih
lanjut factor-faktor apakah yang mempengaruhi perilaku dan keputusan pemilih dalam
pemilihan umum Presiden 2009. Hal
inilah yang menjadi focus peneliti untuk melihat, memahami dan menganalisis
perilaku dan keputusan pemilih dengan factor-faktor yang mempengaruhinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar