Pelanggan
atau konsumen setelah membeli suatu produk atau jasa tentunya berharap agar produk
atau jasa tersebut mampu memberikan kepuasan setelah dikonsumsi. Kepuasan (dan mungkin
ketidakpuasan) pelanggan ini dapat muncul ketika konsumen melakukan evaluasi setelah
mengakuisisi produk atau jasa tersebut. Mowen dan Minor (1998:
415) menguraikan bahwa proses evaluasi pasca akuisisi (postacquisition) ini merupakan tahap
terakhir dalam pengambilan keputusan konsumen yang mengacu pada konsumsi,
evaluasi pasca pemilihan, disposisi barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide. Selama
tahap evaluasi pasca pemilihan, konsumen biasanya mengungkapkan kepuasan atau
ketidakpuasan atas pembelian mereka.
Dari sudut
pandang perusahaan, memenuhi harapan konsumen dan menumbuhkan kepuasan
merupakan salah satu tujuan perusahaan. Namun memuaskan konsumen secara mutlak
tidaklah mudah diwujudkan. Sebaik apapun pelayanan yang diberikan, biasanya
masih ada konsumen yang merasa tidak puas. Kapan dan bagaimana konsumen itu
merasa puas serta tindakan apa yang perlu diambil ketika mereka merasa tidak
puas merupakan hal yang patut diperhatikan oleh perusahaan. Konsumen yang
merasa puas, termasuk pada pasca pembelian dapat diindikasikan dengan perilaku
pembelian ulang, sedang konsumen yang merasa tidak puas diindikasikan melalui keluhan
atau komplain.
Namun, dalam
kaitannya dengan konsumen yang merasa tidak puas pasca akuisisi diatas, yang
perlu disadari oleh perusahaan adalah bahwa pada dasarnya ada beberapa wujud tindakan
atau perilaku konsumen yang merasa tidak puas, perilaku ini biasanya diwujudkan
dalam perilaku komplain (complaining
behavior). Perilaku komplain merupakan istilah yang mencakup semua tindakan
konsumen yang berbeda bila mereka merasa tidak puas dengan suatu pembelian. Mowen dan Minor (1998: 430) menjelaskan
bahwa setidaknya ada 5 (lima) perilaku
komplain, keberagaman perilaku komplain ini perlu diperhatikan oleh perusahaan
dalam upaya mengatasi ketidakpuasan konsumen.
Adapun kelima perilaku
komplain tersebut antara lain: 1) menghadapi perusahaan dengan cara tertentu
(komplain suara), 2) menghindari perusahaan dan mempengaruhi konsumen lain untuk
melakukan hal yang sama (komplain pribadi) atau tidak komplain, 3) mengambil
tindakan terbuka yang melibatkan pihak ketiga (komplain pihak ketiga) seperti
melalui lembaga konsumen, media dan sejenisnya atau melancarkan tindakan resmi
untuk memperoleh ganti rugi, 4) memboikot perusahaan atau organisasi, dan 5) menciptakan
perusahaan alternatif sebagai pengganti menyediakan barang dan/atau jasa yang
sama.
Tiga perilaku komplain yang pertama adalah
berhubungan langsung dengan perusahaan dimana perilaku ini merupakan respon
terbuka terhadap masalah yang dialami oleh konsumen pasca akuisisi produk atau
jasa dimana wujudnya antara lain dapat berupa tuntutan ganti rugi atau
penggantian. Sedangkan dua perilaku terakhir adalah lebih jauh jangkauannya
karena konsumen meluncurkan pemboikotan dan berusaha untuk mengubah praktik
pemasaran dan atau mempromosikan perubahan sosial. Perilaku yang paling drastis
adalah yang terakhir yaitu menciptakan organisasi yang baru sama sekali untuk
menyediakan barang dan jasa.
Dari kelima perilaku komplain diatas, yang sering
terjadi dan perlu diwaspadai oleh perusahaan adalah ketika konsumen memilih
untuk tidak menyampaikan komplain (komplain pribadi) karena mereka merasa tidak
puas. Ketidakpuasan yang tidak disampaikan ini akan membawa pengaruh buruk bagi
perusahaan karena konsumen yang tidak puas cenderung mengungkapkan
pengalamannya pada orang lain, bukan kepada perusahaan. Selain itu, perusahaan
akan sulit mengetahui kekurangannya serta akan kehilangan kesempatan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan secara capat dan tepat. Akibatnya, perusahaan tidak
hanya mengalami penurunan penjualan atau konsumsi dari sisi konsumen saja, namun
juga dapat kehilangan mereka dan bahkan akan mengalami hambatan dalam menarik
konsumen baru.
Perilaku komplain yang
melibatkan pihak ketiga (komplain pihak ketiga) juga sering dilakukan. Seperti
hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Hogarth et.al. (2001: 74-87) yang meneliti tentang kepuasan pelanggan jasa
keuangan pasca komplain melalui mekanisme pihak ketiga di Amerika Serikat dimana
ditemukan bahwa 60% konsumen merasa puas dengan proses resolusi komplain
melalui pihak ketiga ini, dan separuhnya justru merasa sangat puas. Selain itu,
mereka ingin menggunakan mekanisme seperti ini kembali jika di kemudian hari
mereka merasa tidak puas dan ingin melakukan komplain lagi. Ungkapan ini
terutama berasal dari pelanggan yang merasa sangat puas dengan proses resolusi
komplain melalui mekanisme pihak ketiga ini.
Penelitian lain terkait
dengan perilaku komplain seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh
Dewi (2001) yang meneliti tentang pengaruh faktor penentu komplain terhadap respon
ketidakpuasan, studi pada pelanggan PDAM dan PLN Kota Malang. Faktor penentu
komplain terdiri dari faktor pengetahuan dan pengalaman, tingkat kesulitan
komplain, dan peluang keberhasilan komplain, sedangkan respon ketidakpuasan terdiri
dari respon pribadi, respon suara, dan respon pihak ketiga. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa meskipun secara simultan tidak terdapat pengaruh dari ketiga
faktor penentu komplain tersebut terhadap respon pihak ketiga baik untuk
pelanggan PDAM maupun PLN, namun terdapat pengaruh yang signifikan terhadap
respon pribadi dan respon suara.
Setelah perusahaan
memahami perilaku komplain (complaining
behavior) diatas, hal selanjutnya yang sangat perlu diperhatikan adalah
bagaimana menangani atau mengatasi komplain mereka. Penanganan komplain (complaint handling) atau penanggulangan
jasa (service recovery) harus segera
dilakukan agar ketidakpuasan pelanggan (consumer
dissatisfaction) dapat segera teratasi. Dimensi proses penanganan komplain
atau penanggulangan jasa (service
recovery) ini sangat diperlukan ketika pelanggan memiliki komplain. Selain
itu, pelanggan yang komplain juga pasti berharap agar hasil dari proses
penanganan komplain mereka dapat memuaskan dan memenuhi harapan mereka.
Penanganan komplain yang tepat selain dapat
berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan, juga berpengaruh terhadap pembelian
ulang. Pengaruh ini antara lain seperti yang telah dibuktikan oleh Spreng et.al. (1995: 15-23) dimana proses
penanggulangan jasa (service recovery) merupakan
hal yang sangat penting ketika konsumen melakukan komplain, dan kepuasan setelah
penanganan komplain akan mampu meningkatkan pembelian ulang (repurchase intention), yang menentukan
tingkat kepuasan pelanggan ketika pelanggan melakukan komplain adalah seberapa
besar upaya perusahaan dalam mengoptimalkan kemampuannya untuk menangani
komplain tersebut. Perilaku komplain pelanggan yang tidak segera ditangani tentu saja tidak akan
memberikan kepuasan pelanggan secara keseluruhan.
Hasil penelitian lain
mengenai kepuasan pelanggan pasca penanganan komplain ini seperti yang telah
dibuktikan oleh McCollough et.al. (2000:
121-137) dan juga Hess Jr et.al.
(2003: 127-145). McCollough et.al. meneliti
kepuasan pelanggan (customer
satisfaction) secara lebih mendalam dengan melibatkan model diskonfirmasi dengan
asumsi bahwa kepuasan pelanggan itu akan terwujud jika realitas atau kinerja suatu
layanan itu mampu menutupi ekspektasi pelanggan terhadap kemungkinan terjadinya
kegagalan layanan.
Selain itu, kepuasan pelanggan
itu juga akan terwujud jika realitas atau kinerja dari pelaksanaan penanganan
komplain itu mampu memenuhi ekpektasi keinginan pelanggan terhadap realisasi penanganan
komplain. Oleh karena itu dua sudut pandang tersebut dapat terjadi, sehingga kepuasan
pelanggan akan terwujud.
Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh McCollough et.al.
diatas, Taylor (2001: 30-57) meneliti dengan menekankan bahwa kepuasan
pelanggan itu tidak hanya berhubungan dengan hasil dari proses penanganan
komplain saja, namun juga berhubungan dengan kepercayaan pelanggan (customer trust) dan kualitas layanan (service
quality). Dari beberapa uraian mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan kepuasan pelanggan diatas dapat dipahami bahwa memahami perilaku
komplain dari pelanggan mereka adalah penting, namun yang tidak kalah
pentingnya adalah proses penanganan komplain yang bagaimana yang perlu diberikan
agar kepuasan pelanggan dapat terwujud.
Hal yang juga menarik
untuk dikaji dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan selain faktor perilaku komplain
dan penanganan komplain diatas adalah atribut harga (price attribute). Alford dan Engelland (2000: 93-100) menjelaskan
bahwa harga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan oleh konsumen dalam
tahap pencarian informasi (search
intention). Meskipun atribut harga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan
sebelum mengakuisisi suatu produk atau jasa, atau merupakan salah satu faktor
yang diperhatikan dalam tahap pencarian informasi, namun faktor ini juga
berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan jika realitas atau kinerja suatu produk
atau jasa itu mampu memenuhi atau melebihi ekspektasi pelanggan. Jika hal ini
terjadi, maka harga yang dibayar oleh konsumen akan dianggap wajar atau dipandang
cukup rendah untuk produk atau jasa yang mereka konsumsi.
Pentingnya faktor harga
terhadap kepuasan pelanggan diatas seperti hasil penelitian yang telah
dibuktikan oleh Bei dan Chiao (2001: 125-140), yang meneliti pengaruh kualitas
produk, kualitas layanan dan kewajaran harga terhadap kepuasan pelanggan dan
loyalitas pelanggan. Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan itu akan
terwujud tidak hanya disebabkan oleh kualitas produk atau layanan semata, namun
juga disebabkan oleh kewajaran harga. Jika harga suatu produk atau jasa
dipersepsikan wajar, maka kepuasan pelanggan juga akan terwujud. Selain itu, kewajaran
harga juga dapat berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan.
Hasil penelitian lain
mengenai pentingnya memperhatikan faktor harga dalam mengkaji kepuasan
pelanggan ini seperti yang telah dibuktikan oleh Ismail dan Khatibi (2004:
309-313), bahwa tidak hanya hubungan antara harga dengan kepuasan pelanggan
saja, namun juga meneliti hubungan antara persepsi nilai kualitas layanan dengan kepuasan pelanggan di
industri telekomunikasi Malaysia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selain
terdapat hubungan antara persepsi nilai dari kualitas layanan dengan kepuasan
pelanggan, juga ada hubungan antara faktor harga dengan kepuasan pelanggan.
Maka kepuasan pelanggan tidak hanya nilai dari kualitas layanan semata, tetapi juga
faktor harga.
Dari uraian mengenai pentingnya
memahami pengaruh perilaku komplain (complaining
behavior), penanganan komplain (complaint
handling atau service recovery), dan
atribut harga (price attribute) terhadap
kepuasan pelanggan (consumer
satisfaction) diatas, maka selanjutnya dilakukan penelitian apakah pengaruh
tersebut juga terjadi pada pelanggan PT. PLN (Persero), khususnya PT. PLN
(Persero) Area Pelayanan Dan Jaringan (APJ) Malang. Jika terdapat pengaruh dari ketiga variabel
tersebut terhadap kepuasan pelanggan, maka tindakan apa yang perlu dilakukan
oleh PT. PLN (Persero) APJ Malang agar kepuasan pelanggan dapat terus
ditingkatkan.
Perlu diketahui bahwa PT.
PLN (Persero) merupakan badan usaha milik negara, yang ditunjuk oleh pemerintah
sebagai pemegang kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan, tetapi tidak termasuk
penetapan harga penjualan atau yang sering disebut Tarip Dasar Listrik (TDL)
yang selama ini ditetapkan oleh Pemerintah. Jadi penetapan harga pokok penjualan
ditentukan oleh Pemerintah, sedangkan harga pokok penyediaan ditentukan oleh
PT. PLN (Persero) yang berdasarkan atas biaya-biaya operasional termasuk biaya
beban lainnya, sehingga kaidah usaha sulit mencapai tingkat keekonomiannya.
Seiring dengan perkembangannya,
PT. PLN (Persero) adalah sebagai penyedia tenaga listrik bagi hajat hidup orang
banyak, baik dari kalangan rendah hingga kalangan atas, kalangan rumah tangga
hingga kalangan pengusaha, yang semuanya mempunyai budaya dan kepentingan
masing-masing. Untuk itu, PT. PLN (Persero) tidak mungkin dapat memuaskan
seluruh pelanggannya, karena kompleksitas atau kemajemukan pelanggan yang
mempunyai kemampuan dan keberadaan yang berbeda-beda. Tidak mustahil jika komplain
pelanggan mulai bermunculan terutama terkait dengan kualitas pelayanan dan harga
listrik atau tarif dasar listrik (TDL).
Terkait dengan kualitas
pelayanan, misalnya adanya listrik padam itu bisa karena keterbatasan PT. PLN
(Persero) dan juga belum semuanya pelanggan memahami proses penyediaan listrik,
baik dari proses produksi hingga proses penyaluran atau pendistribusian listrik
ke seluruh pelanggan. Sedangkan yang terkait dengan harga, itu bisa karena daya
beli masyarakat yang rendah, sehingga harga masih dianggap memberatkan dan juga
belum semuanya memahami nilai-nilai manfaat atas teknologi kelistrikan. Untuk
itu sudah wajar munculnya komplain terkait dengan kualitas pelayanan dan harga,
walau ada juga yang memahami serta menganggap bahwa harga listrik di Indonesia
masih wajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar