PENGARUH KOMPENSASI DAN PENGEMBANGAN KARIER TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN (393)

 Penulis adalah salah satu tenaga kerja pada PT. Ocean Buana Lines, dalam perjalanan waktu penulis melihat bahwa masalah tenaga kerja di perusahaan tersebut sering timbul permasalahan yang berkaitan dengan Kepuasan kerja karyawan, untuk itu penulis mencoba melakukan penelitian terhadap pengaruh kompensasi, pengembangan karir  terhadap kepuasan kerja  karyawan.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan :

  1. Apakah secara bersama – sama terdapat pengaruh kompensasi dan pengembangan karier terhadap kepuasan kerja karyawan.
  2. Apakah secara parsial terdapat pengaruh kompensasi dan pengembangan karier terhadap kepuasan kerja karyawan.

Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui penyebaran kuesioner, wawancara dengan responden, dokumentasi dari data primer dan sekunder. Agar instrumen penelitian layak digunakan, maka dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dalam uji asumsi digunakan uji multikolineartitas, heterokedastisitas.

Berdasarkan hasil penelitian dengan didukung oleh perhitungan kuantitatif yang telah di interpretasikan, maka dapatlah diketahui bahwa variabel yang dominan mempengaruhi kepuasan kerja adalah variabel X1 (kompensasi).

Hasil dari penelitian  dapat disimpulkan sebagai berikut ;

a.       Secara simultan terdapat pengaruh antara kompensasi karyawan, pengembangan karier karyawan terhadap kepuasan kerja karyawan. Terbukti dengan hasil uji F hitung sebesar 4,622 > F tabel 3,93 dengan nilai signifikan  0,012 < 0,05

Secara parsial terdapat pengaruh antara kompensasi karyawan, pengembangan karier karyawan terhadap kepuasan kerja karyawan. Terbukti dengan hasil t hitung 3,036 > t tabel 1,660  dengan nilai signifikan 0,003 < 0.005 untuk variabel kompensasi (X1) sedangkan untuk variabel pengembangan karier (X2) nilai t hitung  2,160 > t tabel 1,660 dengan nilai signifikan 0,008 < 0,05.

PERILAKU MASYARAKAT DAN KEPUTUSAN PEMILIH PENGARUHNYA TERHADAP KEBERHASILAN PEMILIHAN UMUM (Studi Kasus Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 di... (392)

 

Bangsa dan Negara Indonesia baru saja melaksanakan pesta demokrasi untuk melaksanakan pemilihan umum Presiden serta Wakil Presiden 2009 yang didahului dengan Pemilu Legislatif. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menjadi perhatian peneliti, karena pemilu ini baru kali kedua sejak Indonesia merdeka?. Hal ini terjadi karena masa lalu, yaitu masa Orde lama maupun Orde baru aturan dasarnya belum mengatur tentang pemilu ini.  Yang terjadi adalah Presiden sebagai mandataris MPR, dipilih dan diberhentikan melalui mekanisme lembaga MPR.

Sejak amandemen UUD 1945 yang dilakukan dalam 4 tahap, yaitu tahap pertama terjadi pada tanggal 19 oktober 1999 sampai dengan tahap keempat, pada tanggal 10 Agustus 2002, menetapkan salah satu pasal 6A yang mengatur:  Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu. Pasangan yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.  

Untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan tersebut, maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam dictum menimbang dinyatakan sebagai berikut :

 a.      bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.       bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden;

 

Dari dasar itulah, maka Pemerintahan Megawati Soekarno Putri waktu itu mau tidak mau, suka atau tidak suka memiliki suatu kewajiban melaksanakan amanah amandemen pasal 6A UUD 1945 dan UU tersebut untuk kali pertama. Sebagaimana Charles Lindblom (dalam Abdul Wahab, 1990), menuturkan bahwa pembuatan kebijakan negara (Public-Policy-making) itu pada hakekatnya merupakan “an extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end, and the boundaries of which ore mused uncertain. Somehow a complex set of forces that we call policy-making all taken together, produces effects called policies”. (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti. Serangkaian kekuatan yang agak kompleks yang kita sebut sebagai pembuatan kebijakan negara, itulah yang membuahkan hasil yang disebut kebijakan).

Raymond Bouer (dalam Wahab, 1990) merumuskan pembuatan kebijakan negara sebagai proses tranformasi atau pengubahan input-input politik menjadi output-output politik. Pandangan ini nampak amat dipengaruhi oleh teori analisis sistem, schagaimana yang dianjurkan o1ch David Easton (1963).

Secara lebih terperinci seorang pakar kebijakan negara dari Afrika, Chief J. O. Udoji (1981) merumuskan pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions in to political demands, channeling those demands in to the political system, seeking sanctions or legitimating of the preferred course of action, legitimating and implementation, monitoring and review (feedback)”. (Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian, dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengupayaan pemberian sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).

Seringkali setiap pembuat kebijakan memandang setiap masalah politik berbeda dengan pembuat kebijakan yang lain. Belum tentu suatu masalah yang dianggap masyarakat perlu dipecahkan oleh pembuat kebijakan dapat menjadi isu politik yang bisa masuk ke dalam agenda pemerintah yang kemudian diproses menjadi kebijakan. Proses pembuatan kebijakan yang sudah begitu sulit dan rumit dilakukan, belum lagi dihadang dengan persoalan : apakah kebijakan negara itu sudah diperhitungkan dapat secara mudah dan lancar ketika diimplementasikan. Hasil implementasi akan berdampak positif atau negatif juga berpengaruh terhadap proses perumusan kebijakan berikutnya.

Proses pembuatan atau perumusan kebijakan pada intinya adalah suatu tindakan dari interaksi di lingkungan stakeholder yang menghasilkan output dalam bentuk kebijakan. Pengambilan keputusan yang baik dan benar untuk suatu kebijakan memerlukan data dan informasi yang lengkap, disamping pengetahuan yang cukup mengenai kondisi dan situasi yang Akan menjamin terlaksananya keputusan tersebut. Dengan demikian barulah keputusan mengenai kebijaksanaan itu mendapat persetujuan, dukungan dan kepercayaan masyarakat. (Soenarko; 53 : 2000).

Sehingga terjadilah pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden untuk kali pertama secara langsung sebagai amanah UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 2004. Ternyata hasil yang didapat berdasarkan Pemilu tersebut belum memenuhi ketentuan pasal 6A ayat (3), yaitu dari 5 pasang calon tidak satupun yang memperoleh lebih dari lima puluh persen, sehingga harus dilakukan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahap II, yang berlangsung pada tanggal 20 September 2004. Pada Pemilihan umum tahap II ini yang berhak mengikuti putaran II adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla dan pasangan Megawati Soekarno Putri- KH.Hasyim Muzadi. Ternyata pemilihan umum Presiden ini, walaupun untuk kali pertama terselenggara, hasilnya memuaskan dan cukup demokratis, free and fire election, aman, jujur dan relatif adil. Sehingga tercatat dalam sejarah Pemilihan umum di Indonesia yang baik dan demokratis, yang mengantarkan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan panggilan SBY dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla yang dikenal dengan panggilan JK. Sehingga dalam sejarah Bangsa Indonesia ini Presiden dan Wakil Presiden pilihan rakyat ini, untuk kali pertama dengan hasil yang sangat memuaskan.

Waktu berjalan Pemerintahan SBY-JK mengendalikan Pemerintahan di Negeri ini untuk waktu 5 tahun sampai dengan Tahun 2009. Dalam proses perjalannya keluar produk hukum yang dibuat oleh Pemerintah bersama DPR untuk persiapan pemilu Presiden dan Wakil Presiden berikutnya, yaitu Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan Pemilihan Umum kali kedua.

Sehingga pada tanggal 8 Juli 2009 kita Bangsa dan Negara Indonesia untuk kali kedua melaksanakan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.  Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 tahun 2008 menyatakan bahwa :

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, selanjutnya disebut Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

 

Disamping itu dengan pemilihan umum secara langsung ini sebagai bagian dari proses demokrasi yang dibangun Indonesia, untuk mewujudkan Pemerintahan yang baik menuju terwujudnya good and clean government.  Sehingga terjadilah pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebagai amanah UUD 1945.  Pasal 2 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Berarti rambu-rambu normative telah mengatur sedemikian rupa agar Pemilu berjalan dengan tertib dan lancar.

Realita yang terjadi secara factual dan umum, hasil yang didapat berdasarkan Pemilu kali kedua yang diselaraskan melalui ketentuan tersebut, dari 3 pasang calon yang memperoleh lebih dari lima puluh persen. Ternyata pemilihan umum Presiden ini, walaupun kali kedua terselenggara, hasilnya relative memuaskan dan demokratis,  free and fire election, aman, jujur dan relatif adil. Kalau disana-sini masih ada dinamika dengan aroma ketidakpuasan itu sesuatu yang sangat manusiawi. Sehingga tercatat dalam sejarah Pemilihan umum di Indonesia yang baik dan demokratis, yang mengantarkan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan panggilan SBY dan Wakil Presiden Boediono yang dikenal sebagai presiden dan wakil presiden pilihan rakyat, dengan hasil yang memuaskan.

Persoalannya human capital para kandidat, kalau dilihat kasat mata masing-masing calon memiliki human capital yang sangat potensial dan aktual. Dimana pasangan Megawati Soekarno Putri- Prabowo Subianto sumber kekuasaannya sangat actual, yaitu authoritas dirinya sebagai Ketua Umum PDIP dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Logika politik beliau sangat mudah menggunakan alat kekuasaan untuk menguatkan posisi kekuasaannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Beberapa jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota  adalah anak buah sendiri yang berasal dari satu partai yaitu PDIP. Sebagaimana yang terjadi di Malang raya yaitu Walikota Malang, Walikota Batu dan Bupati Malang berasal dari satu induk organisasi, yaitu PDIP. Didukung oleh adanya koalisi dengan Partai Gerindra. Masih ditambah lagi elit-elit partai yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan adalah mereka yang sudah berpengalaman.

Sehingga dalam bahasa yang sederhana Megawati dan Prabowo Subianto punya fasilitas kekuasaan yang cukup strategis untuk membuat jaringan kekuasaan sampai daerah-daerah, dia punya fasilitas yang lebih, baik dukungan material dari rekan sejawatnya sebagai sarana mobilisasi massa, punya kekuatan yang didukung partai besar dan pengalaman serta punya kader-kader yang militan, masih ditambah dengan potensi pasangan Calon Wakil Presiden Prabowo Subianto sebagai seorang yang matang dalam mengelola organisasi baik sipil maupun militer dan sebagai pengusaha yang sukses dan kaya.

Berikut pasangan Mohammad Jusuf Kalla dan Wiranto, juga memiliki human capital yang sangat baik & berpengalaman. Jusuf Kalla dalam waktu bersamaan sebagai Wakil Presiden RI, Ketua Umum Golkar yang nota bene dalam pemilu Legislatif, 9 April 2009 sebagai pemenang kedua setelah Partai Demokrat.  Berikutnya berdampingan dengan Wiranto untuk kali kedua mencalonkan sebagai Wakil Presiden. Kemauan kerasnya untuk mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia, ternyata tidak terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal, 5 Juli 2004 melalui kendaraan Partai Golkar (Waktu itu Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu Legislatif). Akhirnya dalam perjalanannya Wiranto mendeklarasikan sebuah Partai baru bernama Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura). Pengalamannya yang luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ( karier di Militer dan Pemerintahan) sehingga human capital beliau cukup kiranya secara logic untuk dapat mengantarkan pada kursi singgasana, yaitu istana Presiden dan Wakil Presiden.

Namun nyatanya hasil yang diperolehnya jauh dari yang kita duga, sehingga sangat menarik untuk dikaji tentang human capital ini dikaitkan dengan perubahan perilaku politik masyarakat dan bagaimana hal ini bisa terjadi. Pertanyaan yang muncul apakah masyarakat kita sudah pandai atau minimal melek politik, apakah ia betul-betul memilih berdasarkan hati nurani atau yang lain. Apakah rakyat memahami dengan kebijakan yang populis dan kurang populis, keberpihakan kepada rakyat kecil menjadi sandaran suatu harapan. Persoalan lapangan kerja, pendidikan, ekonomi mikro yang banyak melibatkan potensi rakyat kecil terasa sangat menjadi primadona dalam meraih hati rakyat. Sehingga tanpa bermaksud untuk mengkritisi kebijakan yang ada, semua terpulang pada proses langsung yang dirasakan oleh rakyat.

SBY sebagai Presiden bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden tidak selamanya kebijakannya berpihak pada rakyat. Ada persoalan-persoalan bangsa dan rakyat Indonesia yang harus dilakukan dalam mengambil kebijakan walaupun tidak populis, antara lain kenaikan BBM, Listrik, Ekonomi Mikro yang masih banyak dirasakan rakyat belum sepenuhnya dapat pulih. Ditambah persoalan-persoalan bangsa karena Gempa Bumi, Banjir, Lumpur Lapindo, Separatisme di Maluku dan Papua. Singkat kata masih banyak persoalan bangsa dan Negara ini yang dirasakan oleh rakyatnya, sehingga harus sabar dan terus bersabar serta memohon pada Tuhan Yang Maha Esa agar segera keluar dari himpitan masalah yang menimpa bangsa Indonesia ini.  

Disisi yang lain, muncul  harapan yang bisa dilihat, dirasakan oleh rakyat melihat perilaku elit politik yang cenderung corrupt  yang berpihak pada kepentingan golongan atau partainya. Maka perlu terobosan  dalam pemberantasan korupsi, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang bersifat ad hoc, untuk menangani Korupsi yang melanda negeri ini.

Upaya lain sekarang sudah mulai bergeser dan disadari bahwa urusan partai harus dipisahkan dengan urusan kenegaraan. Sehingga seseorang yang telah menduduki posisi di pemerintahan harus melepaskan jabatannya sebagai Ketua Partai. Sebagaimana fatsunt, norma, ethika dan tatakrama berpolitik, sebagai kekuatan moral dalam mengingatkan penguasa-penguasa politik, karena di Indonesia memang belum ada peraturan yang mengatur dan membatasi seseorang yang menjabat di pemerintahan tidak boleh merangkap jabatan di partai. Fatsunt, norma, ethika dan tatakrama yang dimaksud adalah my loyalty to my party the end, my loyalty to my country begin. Agar tidak overlepping,  tumpang tindih ketokohannya sebagai seorang negarawan atau pimpinan partai, bisa berkonsentrasi pada bidang tugas di pemerintahan untuk mengurusi rakyatnya, sehingga mampu mengembangkan komitmen untuk kepentingan rakyat banyak, kebijakan-kebijakannya tidak ambivalen antara  rakyat banyak dengan untuk partai.

Dari gambaran ini nampaknya, kandidat Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Calon Wakil Presiden Boediono, memiliki human capital  yang relatif potensial walaupun juga ada yang actual dan lebih nyata. Karena mereka dalam waktu yang bersamaan sedang berkuasa (SBY sebagai Presiden), memiliki jaringan kekuasaan walaupuan masih banyak dikuasai PDIP dan GOLKAR.  Namun yang bisa dicatat dan dipahami bahwa SBY adalah sosok tokoh negarawan yang memahami perspektif moral bersama rakyat,  berwibawa, politik yang dilakukan cenderung santun, dengan menggunakan filosofi Jawa yang andap asor, mikul duwur mendem jero, ambeg parama arta (mendahulukan yang utama), tidak emosional, seambrek pengalamannya di dunia Militer dan Pemerintahan relatif bersih, tidak cacat hukum maupun moral.

Cara-caranya dalam menyelesaikan masalah cukup strategis dan tepat. Walaupun kadang-kadang dinilai oleh masyarakat atau lawan politiknya SBY cenderung lamban, peragu tidak segera ambil sikap. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan oleh Jusuf Kalla dalam Pemilunya kemarin, melalui slogan “lebih cepat lebih baik”. Namun kalau dipahami riwayat hidupnya (baik karier Militer, Pendidikan dan di Pemerintahan) potensi dirinya sangat pandai dan jujur. Sehingga rakyat menilai dengan berbagai cara, berdasarkan sudut pandang (frame of thinking) yang sangat berbeda-beda pula. Nampaknya dengan berbagai penilaian itu ada benang merah yang saling bertautan dan membentuk kesimpulan yang relatif sama.

SBY seorang pemimpin masa depan, pemimpin yang karismatik, pemimpin rakyat sejati bahkan juga bisa disebut satriyo piningit yang menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara Boediono seorang profesional yang paham dengan irama ekonomi bangsa Indonesia ini, sebelumnya menjabat sebagai Menko perekonomian dan Gubernur BI.  Walaupun bukan berasal dari tokoh politik, sehingga di awal kekuasaannya dengan century gate  bersama Sri Mulyani, guncangannya sangat keras, seakan tidak mampu untuk membendungnya, namun waktu telah berbicara, prestasinya masih bisa dirasakan rakyat banyak. Kalaupun mendapat apresiasi yang kurang baik itu sesuatu yang wajar, ia paham bagaimana reformasi dan regulasi ekonomi harus dijalankan, ia juga paham bagaimana ekonomi Indonesia ini harus dikelola. Sehingga kalau ujian yang dihadapi sangat dasyat nampaknya ia pun juga terselamatkan.

Gerakan-gerakan rakyat yang demikian ini cenderung mengerucut dengan berbagai bentuk aktifitas, antara lain influence, persuation, manipulation dengan daya sugesti dan metafisik yang digerakkan. Kiranya inilah modal potensial dan aktual yang dimiliki oleh SBY serta Boediono. Tentu masih banyak lagi lainnya yang belum dapat disebutkan. Akhirnya realita politik yang terjadi dari hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden, tanggal 9 Juli 2009 mengantarkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014

Namun semua itu masih dalam kapasitas human capital sebagai analisis faktual, belum teruji secara ilmiah, belum didukung oleh alat analisis yang valid dan reliable. Sehingga perlu pembuktian kebenarannya secara ilmiah berdasarkan rambu-rambu metodologi yang ilmiah pula. Dari gambaran tersebut maka dapat dikerucutkan bahwa perilaku dan keputusan pemilih pada Pemilihan Umum Presiden sangat mengejutkan, dan diluar perkiraan banyak pengamat. Pertanyaan lebih lanjut factor-faktor apakah yang mempengaruhi perilaku dan keputusan pemilih dalam pemilihan umum Presiden 2009.  Hal inilah yang menjadi focus peneliti untuk melihat, memahami dan menganalisis perilaku dan keputusan pemilih dengan factor-faktor yang mempengaruhinya.

  Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

KUALITAS PELAYANAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN (Studi Kasus Pelanggan PT. PLN (Persero) (391)

 

Pelanggan atau konsumen setelah membeli suatu produk atau jasa tentunya berharap agar produk atau jasa tersebut mampu memberikan kepuasan setelah dikonsumsi. Kepuasan (dan mungkin ketidakpuasan) pelanggan ini dapat muncul ketika konsumen melakukan evaluasi setelah mengakuisisi produk atau jasa tersebut. Mowen dan Minor (1998: 415) menguraikan bahwa proses evaluasi pasca akuisisi (postacquisition) ini merupakan tahap terakhir dalam pengambilan keputusan konsumen yang mengacu pada konsumsi, evaluasi pasca pemilihan, disposisi barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide. Selama tahap evaluasi pasca pemilihan, konsumen biasanya mengungkapkan kepuasan atau ketidakpuasan atas pembelian mereka.

Dari sudut pandang perusahaan, memenuhi harapan konsumen dan menumbuhkan kepuasan merupakan salah satu tujuan perusahaan. Namun memuaskan konsumen secara mutlak tidaklah mudah diwujudkan. Sebaik apapun pelayanan yang diberikan, biasanya masih ada konsumen yang merasa tidak puas. Kapan dan bagaimana konsumen itu merasa puas serta tindakan apa yang perlu diambil ketika mereka merasa tidak puas merupakan hal yang patut diperhatikan oleh perusahaan. Konsumen yang merasa puas, termasuk pada pasca pembelian dapat diindikasikan dengan perilaku pembelian ulang, sedang konsumen yang merasa tidak puas diindikasikan melalui keluhan atau komplain.

Namun, dalam kaitannya dengan konsumen yang merasa tidak puas pasca akuisisi diatas, yang perlu disadari oleh perusahaan adalah bahwa pada dasarnya ada beberapa wujud tindakan atau perilaku konsumen yang merasa tidak puas, perilaku ini biasanya diwujudkan dalam perilaku komplain (complaining behavior). Perilaku komplain merupakan istilah yang mencakup semua tindakan konsumen yang berbeda bila mereka merasa tidak puas dengan suatu pembelian. Mowen dan Minor (1998: 430) menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 (lima) perilaku komplain, keberagaman perilaku komplain ini perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam upaya mengatasi ketidakpuasan konsumen.

Adapun kelima perilaku komplain tersebut antara lain: 1) menghadapi perusahaan dengan cara tertentu (komplain suara), 2) menghindari perusahaan dan mempengaruhi konsumen lain untuk melakukan hal yang sama (komplain pribadi) atau tidak komplain, 3) mengambil tindakan terbuka yang melibatkan pihak ketiga (komplain pihak ketiga) seperti melalui lembaga konsumen, media dan sejenisnya atau melancarkan tindakan resmi untuk memperoleh ganti rugi, 4) memboikot perusahaan atau organisasi, dan 5) menciptakan perusahaan alternatif sebagai pengganti menyediakan barang dan/atau jasa yang sama.

Tiga perilaku komplain yang pertama adalah berhubungan langsung dengan perusahaan dimana perilaku ini merupakan respon terbuka terhadap masalah yang dialami oleh konsumen pasca akuisisi produk atau jasa dimana wujudnya antara lain dapat berupa tuntutan ganti rugi atau penggantian. Sedangkan dua perilaku terakhir adalah lebih jauh jangkauannya karena konsumen meluncurkan pemboikotan dan berusaha untuk mengubah praktik pemasaran dan atau mempromosikan perubahan sosial. Perilaku yang paling drastis adalah yang terakhir yaitu menciptakan organisasi yang baru sama sekali untuk menyediakan barang dan jasa.

Dari kelima perilaku komplain diatas, yang sering terjadi dan perlu diwaspadai oleh perusahaan adalah ketika konsumen memilih untuk tidak menyampaikan komplain (komplain pribadi) karena mereka merasa tidak puas. Ketidakpuasan yang tidak disampaikan ini akan membawa pengaruh buruk bagi perusahaan karena konsumen yang tidak puas cenderung mengungkapkan pengalamannya pada orang lain, bukan kepada perusahaan. Selain itu, perusahaan akan sulit mengetahui kekurangannya serta akan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kinerja perusahaan secara capat dan tepat. Akibatnya, perusahaan tidak hanya mengalami penurunan penjualan atau konsumsi dari sisi konsumen saja, namun juga dapat kehilangan mereka dan bahkan akan mengalami hambatan dalam menarik konsumen baru.

Perilaku komplain yang melibatkan pihak ketiga (komplain pihak ketiga) juga sering dilakukan. Seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Hogarth et.al. (2001: 74-87) yang meneliti tentang kepuasan pelanggan jasa keuangan pasca komplain melalui mekanisme pihak ketiga di Amerika Serikat dimana ditemukan bahwa 60% konsumen merasa puas dengan proses resolusi komplain melalui pihak ketiga ini, dan separuhnya justru merasa sangat puas. Selain itu, mereka ingin menggunakan mekanisme seperti ini kembali jika di kemudian hari mereka merasa tidak puas dan ingin melakukan komplain lagi. Ungkapan ini terutama berasal dari pelanggan yang merasa sangat puas dengan proses resolusi komplain melalui mekanisme pihak ketiga ini.

Penelitian lain terkait dengan perilaku komplain seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Dewi (2001) yang meneliti tentang pengaruh faktor penentu komplain terhadap respon ketidakpuasan, studi pada pelanggan PDAM dan PLN Kota Malang. Faktor penentu komplain terdiri dari faktor pengetahuan dan pengalaman, tingkat kesulitan komplain, dan peluang keberhasilan komplain, sedangkan respon ketidakpuasan terdiri dari respon pribadi, respon suara, dan respon pihak ketiga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun secara simultan tidak terdapat pengaruh dari ketiga faktor penentu komplain tersebut terhadap respon pihak ketiga baik untuk pelanggan PDAM maupun PLN, namun terdapat pengaruh yang signifikan terhadap respon pribadi dan respon suara.

Setelah perusahaan memahami perilaku komplain (complaining behavior) diatas, hal selanjutnya yang sangat perlu diperhatikan adalah bagaimana menangani atau mengatasi komplain mereka. Penanganan komplain (complaint handling) atau penanggulangan jasa (service recovery) harus segera dilakukan agar ketidakpuasan pelanggan (consumer dissatisfaction) dapat segera teratasi. Dimensi proses penanganan komplain atau penanggulangan jasa (service recovery) ini sangat diperlukan ketika pelanggan memiliki komplain. Selain itu, pelanggan yang komplain juga pasti berharap agar hasil dari proses penanganan komplain mereka dapat memuaskan dan memenuhi harapan mereka.

Penanganan komplain yang tepat selain dapat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan, juga berpengaruh terhadap pembelian ulang. Pengaruh ini antara lain seperti yang telah dibuktikan oleh Spreng et.al. (1995: 15-23) dimana proses penanggulangan jasa (service recovery) merupakan hal yang sangat penting ketika konsumen melakukan komplain, dan kepuasan setelah penanganan komplain akan mampu meningkatkan pembelian ulang (repurchase intention), yang menentukan tingkat kepuasan pelanggan ketika pelanggan melakukan komplain adalah seberapa besar upaya perusahaan dalam mengoptimalkan kemampuannya untuk menangani komplain tersebut. Perilaku komplain pelanggan yang tidak segera ditangani tentu saja tidak akan memberikan kepuasan pelanggan secara keseluruhan.

Hasil penelitian lain mengenai kepuasan pelanggan pasca penanganan komplain ini seperti yang telah dibuktikan oleh McCollough et.al. (2000: 121-137) dan juga Hess Jr et.al. (2003: 127-145). McCollough et.al. meneliti kepuasan pelanggan (customer satisfaction) secara lebih mendalam dengan melibatkan model diskonfirmasi dengan asumsi bahwa kepuasan pelanggan itu akan terwujud jika realitas atau kinerja suatu layanan itu mampu menutupi ekspektasi pelanggan terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan layanan.

Selain itu, kepuasan pelanggan itu juga akan terwujud jika realitas atau kinerja dari pelaksanaan penanganan komplain itu mampu memenuhi ekpektasi keinginan pelanggan terhadap realisasi penanganan komplain. Oleh karena itu dua sudut pandang tersebut dapat terjadi, sehingga kepuasan pelanggan akan terwujud.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh McCollough et.al. diatas, Taylor (2001: 30-57) meneliti dengan menekankan bahwa kepuasan pelanggan itu tidak hanya berhubungan dengan hasil dari proses penanganan komplain saja, namun juga berhubungan dengan kepercayaan pelanggan (customer trust) dan kualitas layanan (service quality). Dari beberapa uraian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pelanggan diatas dapat dipahami bahwa memahami perilaku komplain dari pelanggan mereka adalah penting, namun yang tidak kalah pentingnya adalah proses penanganan komplain yang bagaimana yang perlu diberikan agar kepuasan pelanggan dapat terwujud.

Hal yang juga menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan selain faktor perilaku komplain dan penanganan komplain diatas adalah atribut harga (price attribute). Alford dan Engelland (2000: 93-100) menjelaskan bahwa harga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan oleh konsumen dalam tahap pencarian informasi (search intention). Meskipun atribut harga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan sebelum mengakuisisi suatu produk atau jasa, atau merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam tahap pencarian informasi, namun faktor ini juga berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan jika realitas atau kinerja suatu produk atau jasa itu mampu memenuhi atau melebihi ekspektasi pelanggan. Jika hal ini terjadi, maka harga yang dibayar oleh konsumen akan dianggap wajar atau dipandang cukup rendah untuk produk atau jasa yang mereka konsumsi.

Pentingnya faktor harga terhadap kepuasan pelanggan diatas seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Bei dan Chiao (2001: 125-140), yang meneliti pengaruh kualitas produk, kualitas layanan dan kewajaran harga terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan itu akan terwujud tidak hanya disebabkan oleh kualitas produk atau layanan semata, namun juga disebabkan oleh kewajaran harga. Jika harga suatu produk atau jasa dipersepsikan wajar, maka kepuasan pelanggan juga akan terwujud. Selain itu, kewajaran harga juga dapat berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan.

Hasil penelitian lain mengenai pentingnya memperhatikan faktor harga dalam mengkaji kepuasan pelanggan ini seperti yang telah dibuktikan oleh Ismail dan Khatibi (2004: 309-313), bahwa tidak hanya hubungan antara harga dengan kepuasan pelanggan saja, namun juga meneliti hubungan antara persepsi nilai  kualitas layanan dengan kepuasan pelanggan di industri telekomunikasi Malaysia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selain terdapat hubungan antara persepsi nilai dari kualitas layanan dengan kepuasan pelanggan, juga ada hubungan antara faktor harga dengan kepuasan pelanggan. Maka kepuasan pelanggan tidak hanya nilai dari kualitas layanan semata, tetapi juga faktor harga.

Dari uraian mengenai pentingnya memahami pengaruh perilaku komplain (complaining behavior), penanganan komplain (complaint handling atau service recovery), dan atribut harga (price attribute) terhadap kepuasan pelanggan (consumer satisfaction) diatas, maka selanjutnya dilakukan penelitian apakah pengaruh tersebut juga terjadi pada pelanggan PT. PLN (Persero), khususnya PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Dan Jaringan (APJ) Malang. Jika terdapat pengaruh dari ketiga variabel tersebut terhadap kepuasan pelanggan, maka tindakan apa yang perlu dilakukan oleh PT. PLN (Persero) APJ Malang agar kepuasan pelanggan dapat terus ditingkatkan.

Perlu diketahui bahwa PT. PLN (Persero) merupakan badan usaha milik negara, yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan, tetapi tidak termasuk penetapan harga penjualan atau yang sering disebut Tarip Dasar Listrik (TDL) yang selama ini ditetapkan oleh Pemerintah. Jadi penetapan harga pokok penjualan ditentukan oleh Pemerintah, sedangkan harga pokok penyediaan ditentukan oleh PT. PLN (Persero) yang berdasarkan atas biaya-biaya operasional termasuk biaya beban lainnya, sehingga kaidah usaha sulit mencapai tingkat keekonomiannya.

Seiring dengan perkembangannya, PT. PLN (Persero) adalah sebagai penyedia tenaga listrik bagi hajat hidup orang banyak, baik dari kalangan rendah hingga kalangan atas, kalangan rumah tangga hingga kalangan pengusaha, yang semuanya mempunyai budaya dan kepentingan masing-masing. Untuk itu, PT. PLN (Persero) tidak mungkin dapat memuaskan seluruh pelanggannya, karena kompleksitas atau kemajemukan pelanggan yang mempunyai kemampuan dan keberadaan yang berbeda-beda. Tidak mustahil jika komplain pelanggan mulai bermunculan terutama terkait dengan kualitas pelayanan dan harga listrik atau tarif dasar listrik (TDL).

Terkait dengan kualitas pelayanan, misalnya adanya listrik padam itu bisa karena keterbatasan PT. PLN (Persero) dan juga belum semuanya pelanggan memahami proses penyediaan listrik, baik dari proses produksi hingga proses penyaluran atau pendistribusian listrik ke seluruh pelanggan. Sedangkan yang terkait dengan harga, itu bisa karena daya beli masyarakat yang rendah, sehingga harga masih dianggap memberatkan dan juga belum semuanya memahami nilai-nilai manfaat atas teknologi kelistrikan. Untuk itu sudah wajar munculnya komplain terkait dengan kualitas pelayanan dan harga, walau ada juga yang memahami serta menganggap bahwa harga listrik di Indonesia masih wajar.

  Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

PENGARUH KEBIJAKAN PENGELOLAN SDM DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI DINAS PU PENGAIRAN KABUPATEN .. (390)

Memasuki era globalisasi di mana penggunaan teknologi informasi dan komunikasi global mengakibatkan informasi yang terjadi di berbagai belahan bumi dunia ini akan mudah untuk diikuti, bahkan mudah mempengaruhi semua penggunanya. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi orang lain, dengan demikian teknologi tidak lagi menjadi monopoli sekelompok orang tetapi telah menjadi alat yang cukup ampuh bagi sarana komunikasi, bahkan dalam perang sekalipun bisa jadi tidak lagi bertemu secara fisik tetapi melalui teknologi informatika ini.

Karena perlu diingat bahwa mereka yang menguasai teknologi mereka itu nantinya yang akan menguasai dunia. Pengaruh tersebut sangat besar, tidak hanya mempengaruhi individu semata tetapi telah menyebar mempengaruhi kelompok atau organisasi local dan global baik government maupun non government. Eksistensi dan keberlangsungan organisasi merupakan suatu proses yang tidak boleh terganggu dalam arti bahwa organisasi harus tetap eksis dan berkembang mengikuti perubahan lingkungan termasuk teknologi secara cepat.

Seiring dengan tuntutan lingkungan yang berubah ini, organisasi harus selalu menyesuaikan diri. Menyadari pengaruh lingkungan yang sangat cepat, baik internal maupun eksternal, yang bisa dikendalikan maupun di luar kendali organisasi maka kebutuhan untuk mengembangkan organisasi mutlak dilakukan.

Salah satu cara yang harus mendapat perhatian khusus adalah berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas sumber daya manusia dapat diperoleh mulai dari proses rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan selektif, pengembangan sumber daya manusia menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan layanan kepangkatan, layanan informasi dan promosi serta pemberian cuti serta pengalaman kerja yang berkaitan dengan lamanya bekerja, pengalaman jabatan, pengalaman tugas, strategi dan komunikasi, di samping promosi dan mutasi yang mengacu pada tour of area dan tour of duty yang jelas.

Sebagaimana teori organisasi yang menyangkut berbagai pengaruh perubahan yang terjadi menuntut organisasi untuk membuka diri terhadap tuntutan perubahan dan berupaya menyusun strategi dan kebijakan yang selaras dengan perubahan dan berupaya menyusun strategi dan kebijakan yang selaras dengan tuntutan pegawai (Wayne, l991; Schuller and Jackson,1996 dalam Setyawan 2002) akan tergantung pada kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Artinya suatu organisasi mampu menyusun strategi dan kebijakan yang ampuh untuk mengatasi setiap perubahan yang terjadi. Keberhasilan penyusunan kebijakan dan strategi organisasi akan didukung lebih banyak fungsi manajerial yang ada (Datton & Jackson, 1987 dalam Setyawan, 2002).

Salah satu bidang fungsional strategi yang menjadi perhatian adalah manajemen Sumber Daya Manusia (Setyawan, 2002:3). Manajemen sumber daya manusia harus dipandang sebagai perluasan dari pandangan tradisional (Ulrich, 1991 dalam Setyawan 2002:4). Untuk dapat menyusun strategi sumber daya manusia yang baik ternyata dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompetensi tinggi (Ghosal & Barlett, 1995 serta Ulrich 1007 dalam Setyawan, 2002:4) menyebutkan ada peran baru sumber daya manusia guna mendukung kompetensi sumber daya manusia yang dituntut oleh organisasi agar survive terhadap perubahan (Buweo et.a1, 1992 dalam Setyawan 2002:4). 

Upaya repositioning kompetensi sumber daya manusia dilakukan dengan merubah pemahaman organisasi tentang peran sumber daya manusia yang semula people issues menjadi people related business issues. Konsep yang relatif baru dalam proses manajemen sumber daya manusia yaitu mutu kehidupan berkarya. Pemikiran filosofis yang melatar belakangi konsep ini adalah :

a.              dalam mempekerjakan pegawai, yang digunakan bukan hanya tenaganya, akan tetapi lebih mengedepankan kemampuan inlelektualnya.

b.             Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia

c.              gaya manajerial yang didambakan adalah gaya yang demokratis

Jika menggunakan dasar filsafat yang lain dari dasar yang telah dikemukakan diatas, tidak mustahil para pegawai memiliki rasa tanggung jawab yang rendah terhadap keberhasilan organisasi. Pada gilirannya rasa tanggung jawab yang rendah itu dapat berakibat pada sikap yang menyatakan bahwa seseorang akan menjadi minimalis dalam arti kata hanya melakukan tugas sedemikian rupa sehingga persyaratan minimum terpenuhi, tetapi tidak lebih dari itu (Siagian, 1999:320).

Analisis dalam memperkirakan suplai tenaga kerja untuk organisasi harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti :

·               Jumlah tenaga kerja yang ada, yang dikategorikan berdasarkan fungsi, departemen, tipe pekerjaan dan pengupahan atau golongan.

·               Analisis persyaratan kerja dalam hal ilmu pengetahuan, kualifikasi, keahlian dan pengalaman.

·               Analisis karakteristik individu dalam hal usia, lama pengabdian, kualitikasi, pelatihan, pengalaman, keahlian dan tingkat kinerja.

·               Tingkatan rekruitmen dan ketahanan jumlah pegawai, tingkat penyusutan dan absensi.

·               Tingkatan promosi

·               Perubahan-perubahan potensial pada metode kerja atau permintaan akan jasa dan produk.

·               Tersedianya suplai baik dalam maupun luar organisasi.

Berdasarkan uraian di atas ini nampaklah bahwa peranan pengambilan kebijakan terhadap pegawai sekaligus proses pemilihan individu-individu yang memiliki kualifikasi yang relevan untuk ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang ada sangat menentukan perkembangan organisasi yang bersangkutan. Disini jelaslah bahwa tanpa pegawai yang memenuhi persyaratan suatu pekerjaan, maka organisasi tersebut berada dalam posisi yang lebih buruk untuk berhasil. Karena itu pemilihan pegawai yang akan ditempatkan pada salah satu pekerjaan lebih dari sekedar pemilihan orang terbaik dari yang tersedia, sebab harus dilihat dari berbagai segi seperti pengetahuan, keterampilan, perilaku / sikap dan pengalaman kerja yang sesuai adalah satu paket yang melekat pada manusia, sehingga ini merupakan, usaha untuk memperoleh ‘kecocokkan’ antara apa yang dapat dilakukan pegawai yang hendak ditempatkan dengan apa yang ingin dicapai, serta apa yang dibutuhkan oleh organisasi.

Kebijakan penempatan sumber daya manusia seharusnya dipandang sebagai proses pencocokan. Celah antara keahlian individual yang dimiliki dengan pekerjaan yang dipersyaratkan merupakan faktor-faktor umum yang harus dipegang teguh untuk tidak menempatkan orang yang tidak tepat tersebut. Karena seberapa baiknya si pegawai berdasarkan kelebihan yang dimilikinya kemudian dicocokan dengan sebuah pekerjaan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas kerjanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Memoria (1980), yang mengemukakan bahwa penempatan pegawai mengandung arti pemberian tugas tertentu kepada pekerja agar ia mempunyai kedudukan yang paling baik dan paling sesuai dengan didasarkan pada rekruitmen, kualifikasi pegawai dan kebutuhan pribadi. Penempatan yang tepat merupakan cara untuk mengoptimalkan kemampuan, keterampilan menuju prestasi kerja bagi pegawai itu sendiri.

Berkaitan dengan kebutuhan mengevaluasi keefektifan proses manajemen sumber daya manusia dalam sebuah organisasi, peneliti Harvard (dalam Stoner dkk yang mana di-Indonesia-kan oleh Alexander Sindoro, 1996:93) mengajukan usul model “empat C” yaitu : competence, commitment, congruence dan cost effectiveness (kompetensi, komitmen, keserasian dan efektivitas biaya).

Setiap organisasi pemerintahan harus mampu menempatkan pegawainya pada posisi yang tepat. Artinya tempatkan mereka pada posisi yang sesuai dengan keterampilan masing-masing. Ketidaktepatan menempatkan posisi akan menyebabkan pekerjaan menjadi kurang lancar dan tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal. Disamping itu, semangat kerja dan kegairahan kerja mereka akan menurun. Ada pula pegawai yang sebenarnya telah tepat pada posisinya, namun karena tugas ini dijalani terlalu lama mungkin kebosanan akan muncul. Kemudian semangat kerja dan gairah kerjanya akan menurun pula.

Hal lain yang sangat perlu diperhatian dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan SDM dan pengalaman kerja perihal penempatan ini adalah bagaimana mendapatkan ‘orang yang tepat pada tempat yang tepat” dalam arti dinamis artinya bukan hanya yang dibutuhkan untuk masa sekarang, tetapi juga untuk masa yang akan datang.

Hal ini disebabkan orang-orang yang telah kita terima kurang mempunyai potensi untuk dipromosikan. Ini bukanlah kesalahan orang tersebut sebab hanya demikian batas kemampuannya. Meskipun begitu, mereka yang sudah lama bekerja, yang berarti loyalitasnya cukup tinggi, bagaimanpun akan merasa kecewa. Ini semua dapat menyebabkan turunnya semangat dan kegairahan kerja atau tingginya tingkat perpindahan pegawai (Nitisemito, 1996:37).

Berikut pembahasan mengenai pengalaman kerja bagi pegawai, menyangkut variabel usia dan pengalaman kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemauan dan kebanggaan pegawai pada organisasi. Pengalaman kerja, seperti keandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja lainnya memperbincangkan dan mengutarakan perasaan mereka mengenai organisasi mempengaruhi diri pribadi pegawai maupun pekerjaan yang ditangani. Pengalaman kerja menunjukkan berapa lama pegawai dapat bekerja dengan baik. Pengalaman kerja yang telah didapat seorang pegawai akan dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja.

Kinerja hanya dapat ditingkatkan dengan motivasi kerja yang tinggi, pengetahuan dan keahlian dalam melakukan tugas dan persepsi peran yang positif dimiliki seseorang. Dengan demikian kinerja merupakan fungsi motivasi, keahlian dan persepsi. Dapat dikatakan bahwa ada dua dimensi penting dalam memahami konsep kinerja yaitu dimensi motivasi dan dimensi kemampuan (keahlian dan persepsi). Dengan kata lain seorang pegawai akan mencapai kinerja yang tinggi, jika memiliki motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas­-tugasnya dan ditunjang oleh pengalaman kerja yang dimiliki. Disamping itu kondisi lingkungan kerja juga turut berpengaruh dalam mengukur kinerja suatu organisasi.

Perubahan lingkungan yang cepat dan dramatis akan membawa implikasi pada tuntutan dan tantangan yang mesti dihadapi oleh organisasi. Setiap organisasi usaha hidup dan berkembang untuk senantiasa berada dalam kondisi siap melakukan perubahan secara dramatis pula. Karena itu organisasi dituntut untuk memiliki learning process yang cepat ( Kennedy, 1999 : 121-137). Tuntutan yang demikian akan mengakibatkan munculnya tantangan baru, di mana satu diantaranya adalah menyangkut intellectual capital yakni bagaimana mendapatkan, mengasimilasikan, mengembangkan, dan pengalaman kerjanya, serta memelihara individu-individu berbakat yang dapat mendorong organisasi untuk tanggap terhadap pelanggan dan peluang teknologi.

Pengalaman kerja tidak dapat dilepaskan dengan lamanya bekerja, pekerjaan seseorang yang mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, perhatian terhadap pengalaman kerja memberikan sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan pegawai memperoleh umpan balik tentang hasil pekerjaan yang dilakukannya. Bentuk program perkenalan yang tepat serta berakibat pada diterimanya seseorang sebagai anggota kelompok kerja dan oleh organisasi secara ikhlas dan terhormat juga pada umumnya berakibat pada tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Situasi lingkungan pun turut berpengaruh pada pengalaman kerja seseorang. Pemahaman yang lebih tepat tentang pengalaman kerja dapat dikaitkan dengan prestasi kerja, tingkat kemangkiran, keinginan pindah, usia pekerjaan, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi (Siagian, 1999:295).

Sementara itu pakar lain berpendapat bahwa pengalaman kerja, dapat digunakan Job Descriptive Index (JDI) yang menurut Luthans, 1995 (dalam Elusein Umar, 2000:36) ada lima. Yaitu :

1.                Pembayaran, seperti gaji dan upah.

2.                Pekerjaan itu sendiri.

3.                Promosi Pekerjaan.

4.                Kepenyeliaan (supervisi).

5.                Rekan sekerja.

Salah satu upaya yang disinyalir dapat memacu prestasi para pegawai adalah melalui pengambilan kebijakan untuk pegawai menyangkut layanan kepangkatan, informasi dan promosi, cuti serta peningkatan pengalaman kerjanya. Kebijakan pengelolaan SDM dan pengalaman kerja ini merupakan upaya manajemen personalia pemerintah daerah dalam mengembangkan kompetensi pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya. Kebijakan strategis yang menyangkut seluruh program dan prosedur administrasi kepegawaian sebagai wujud pelayanan manajemen personalia pada seluruh pegawainya

Menyikapi fenomena tersebut di atas, penelitian ini memfokuskan pada masalah pengaruh kebijakan pengelolaan SDM dan pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai Dinas PU Pengairan Kabupaten Probolinggo.

  Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap


Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger