KUALITAS PELAYANAN PENGARUHNYA TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN (Studi Kasus Pelanggan PT. PLN (Persero) (391)

 

Pelanggan atau konsumen setelah membeli suatu produk atau jasa tentunya berharap agar produk atau jasa tersebut mampu memberikan kepuasan setelah dikonsumsi. Kepuasan (dan mungkin ketidakpuasan) pelanggan ini dapat muncul ketika konsumen melakukan evaluasi setelah mengakuisisi produk atau jasa tersebut. Mowen dan Minor (1998: 415) menguraikan bahwa proses evaluasi pasca akuisisi (postacquisition) ini merupakan tahap terakhir dalam pengambilan keputusan konsumen yang mengacu pada konsumsi, evaluasi pasca pemilihan, disposisi barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide. Selama tahap evaluasi pasca pemilihan, konsumen biasanya mengungkapkan kepuasan atau ketidakpuasan atas pembelian mereka.

Dari sudut pandang perusahaan, memenuhi harapan konsumen dan menumbuhkan kepuasan merupakan salah satu tujuan perusahaan. Namun memuaskan konsumen secara mutlak tidaklah mudah diwujudkan. Sebaik apapun pelayanan yang diberikan, biasanya masih ada konsumen yang merasa tidak puas. Kapan dan bagaimana konsumen itu merasa puas serta tindakan apa yang perlu diambil ketika mereka merasa tidak puas merupakan hal yang patut diperhatikan oleh perusahaan. Konsumen yang merasa puas, termasuk pada pasca pembelian dapat diindikasikan dengan perilaku pembelian ulang, sedang konsumen yang merasa tidak puas diindikasikan melalui keluhan atau komplain.

Namun, dalam kaitannya dengan konsumen yang merasa tidak puas pasca akuisisi diatas, yang perlu disadari oleh perusahaan adalah bahwa pada dasarnya ada beberapa wujud tindakan atau perilaku konsumen yang merasa tidak puas, perilaku ini biasanya diwujudkan dalam perilaku komplain (complaining behavior). Perilaku komplain merupakan istilah yang mencakup semua tindakan konsumen yang berbeda bila mereka merasa tidak puas dengan suatu pembelian. Mowen dan Minor (1998: 430) menjelaskan bahwa setidaknya ada 5 (lima) perilaku komplain, keberagaman perilaku komplain ini perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam upaya mengatasi ketidakpuasan konsumen.

Adapun kelima perilaku komplain tersebut antara lain: 1) menghadapi perusahaan dengan cara tertentu (komplain suara), 2) menghindari perusahaan dan mempengaruhi konsumen lain untuk melakukan hal yang sama (komplain pribadi) atau tidak komplain, 3) mengambil tindakan terbuka yang melibatkan pihak ketiga (komplain pihak ketiga) seperti melalui lembaga konsumen, media dan sejenisnya atau melancarkan tindakan resmi untuk memperoleh ganti rugi, 4) memboikot perusahaan atau organisasi, dan 5) menciptakan perusahaan alternatif sebagai pengganti menyediakan barang dan/atau jasa yang sama.

Tiga perilaku komplain yang pertama adalah berhubungan langsung dengan perusahaan dimana perilaku ini merupakan respon terbuka terhadap masalah yang dialami oleh konsumen pasca akuisisi produk atau jasa dimana wujudnya antara lain dapat berupa tuntutan ganti rugi atau penggantian. Sedangkan dua perilaku terakhir adalah lebih jauh jangkauannya karena konsumen meluncurkan pemboikotan dan berusaha untuk mengubah praktik pemasaran dan atau mempromosikan perubahan sosial. Perilaku yang paling drastis adalah yang terakhir yaitu menciptakan organisasi yang baru sama sekali untuk menyediakan barang dan jasa.

Dari kelima perilaku komplain diatas, yang sering terjadi dan perlu diwaspadai oleh perusahaan adalah ketika konsumen memilih untuk tidak menyampaikan komplain (komplain pribadi) karena mereka merasa tidak puas. Ketidakpuasan yang tidak disampaikan ini akan membawa pengaruh buruk bagi perusahaan karena konsumen yang tidak puas cenderung mengungkapkan pengalamannya pada orang lain, bukan kepada perusahaan. Selain itu, perusahaan akan sulit mengetahui kekurangannya serta akan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kinerja perusahaan secara capat dan tepat. Akibatnya, perusahaan tidak hanya mengalami penurunan penjualan atau konsumsi dari sisi konsumen saja, namun juga dapat kehilangan mereka dan bahkan akan mengalami hambatan dalam menarik konsumen baru.

Perilaku komplain yang melibatkan pihak ketiga (komplain pihak ketiga) juga sering dilakukan. Seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Hogarth et.al. (2001: 74-87) yang meneliti tentang kepuasan pelanggan jasa keuangan pasca komplain melalui mekanisme pihak ketiga di Amerika Serikat dimana ditemukan bahwa 60% konsumen merasa puas dengan proses resolusi komplain melalui pihak ketiga ini, dan separuhnya justru merasa sangat puas. Selain itu, mereka ingin menggunakan mekanisme seperti ini kembali jika di kemudian hari mereka merasa tidak puas dan ingin melakukan komplain lagi. Ungkapan ini terutama berasal dari pelanggan yang merasa sangat puas dengan proses resolusi komplain melalui mekanisme pihak ketiga ini.

Penelitian lain terkait dengan perilaku komplain seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Dewi (2001) yang meneliti tentang pengaruh faktor penentu komplain terhadap respon ketidakpuasan, studi pada pelanggan PDAM dan PLN Kota Malang. Faktor penentu komplain terdiri dari faktor pengetahuan dan pengalaman, tingkat kesulitan komplain, dan peluang keberhasilan komplain, sedangkan respon ketidakpuasan terdiri dari respon pribadi, respon suara, dan respon pihak ketiga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa meskipun secara simultan tidak terdapat pengaruh dari ketiga faktor penentu komplain tersebut terhadap respon pihak ketiga baik untuk pelanggan PDAM maupun PLN, namun terdapat pengaruh yang signifikan terhadap respon pribadi dan respon suara.

Setelah perusahaan memahami perilaku komplain (complaining behavior) diatas, hal selanjutnya yang sangat perlu diperhatikan adalah bagaimana menangani atau mengatasi komplain mereka. Penanganan komplain (complaint handling) atau penanggulangan jasa (service recovery) harus segera dilakukan agar ketidakpuasan pelanggan (consumer dissatisfaction) dapat segera teratasi. Dimensi proses penanganan komplain atau penanggulangan jasa (service recovery) ini sangat diperlukan ketika pelanggan memiliki komplain. Selain itu, pelanggan yang komplain juga pasti berharap agar hasil dari proses penanganan komplain mereka dapat memuaskan dan memenuhi harapan mereka.

Penanganan komplain yang tepat selain dapat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan, juga berpengaruh terhadap pembelian ulang. Pengaruh ini antara lain seperti yang telah dibuktikan oleh Spreng et.al. (1995: 15-23) dimana proses penanggulangan jasa (service recovery) merupakan hal yang sangat penting ketika konsumen melakukan komplain, dan kepuasan setelah penanganan komplain akan mampu meningkatkan pembelian ulang (repurchase intention), yang menentukan tingkat kepuasan pelanggan ketika pelanggan melakukan komplain adalah seberapa besar upaya perusahaan dalam mengoptimalkan kemampuannya untuk menangani komplain tersebut. Perilaku komplain pelanggan yang tidak segera ditangani tentu saja tidak akan memberikan kepuasan pelanggan secara keseluruhan.

Hasil penelitian lain mengenai kepuasan pelanggan pasca penanganan komplain ini seperti yang telah dibuktikan oleh McCollough et.al. (2000: 121-137) dan juga Hess Jr et.al. (2003: 127-145). McCollough et.al. meneliti kepuasan pelanggan (customer satisfaction) secara lebih mendalam dengan melibatkan model diskonfirmasi dengan asumsi bahwa kepuasan pelanggan itu akan terwujud jika realitas atau kinerja suatu layanan itu mampu menutupi ekspektasi pelanggan terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan layanan.

Selain itu, kepuasan pelanggan itu juga akan terwujud jika realitas atau kinerja dari pelaksanaan penanganan komplain itu mampu memenuhi ekpektasi keinginan pelanggan terhadap realisasi penanganan komplain. Oleh karena itu dua sudut pandang tersebut dapat terjadi, sehingga kepuasan pelanggan akan terwujud.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh McCollough et.al. diatas, Taylor (2001: 30-57) meneliti dengan menekankan bahwa kepuasan pelanggan itu tidak hanya berhubungan dengan hasil dari proses penanganan komplain saja, namun juga berhubungan dengan kepercayaan pelanggan (customer trust) dan kualitas layanan (service quality). Dari beberapa uraian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pelanggan diatas dapat dipahami bahwa memahami perilaku komplain dari pelanggan mereka adalah penting, namun yang tidak kalah pentingnya adalah proses penanganan komplain yang bagaimana yang perlu diberikan agar kepuasan pelanggan dapat terwujud.

Hal yang juga menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan kepuasan pelanggan selain faktor perilaku komplain dan penanganan komplain diatas adalah atribut harga (price attribute). Alford dan Engelland (2000: 93-100) menjelaskan bahwa harga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan oleh konsumen dalam tahap pencarian informasi (search intention). Meskipun atribut harga merupakan salah satu faktor yang diperhatikan sebelum mengakuisisi suatu produk atau jasa, atau merupakan salah satu faktor yang diperhatikan dalam tahap pencarian informasi, namun faktor ini juga berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan jika realitas atau kinerja suatu produk atau jasa itu mampu memenuhi atau melebihi ekspektasi pelanggan. Jika hal ini terjadi, maka harga yang dibayar oleh konsumen akan dianggap wajar atau dipandang cukup rendah untuk produk atau jasa yang mereka konsumsi.

Pentingnya faktor harga terhadap kepuasan pelanggan diatas seperti hasil penelitian yang telah dibuktikan oleh Bei dan Chiao (2001: 125-140), yang meneliti pengaruh kualitas produk, kualitas layanan dan kewajaran harga terhadap kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan. Hasilnya menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan itu akan terwujud tidak hanya disebabkan oleh kualitas produk atau layanan semata, namun juga disebabkan oleh kewajaran harga. Jika harga suatu produk atau jasa dipersepsikan wajar, maka kepuasan pelanggan juga akan terwujud. Selain itu, kewajaran harga juga dapat berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan.

Hasil penelitian lain mengenai pentingnya memperhatikan faktor harga dalam mengkaji kepuasan pelanggan ini seperti yang telah dibuktikan oleh Ismail dan Khatibi (2004: 309-313), bahwa tidak hanya hubungan antara harga dengan kepuasan pelanggan saja, namun juga meneliti hubungan antara persepsi nilai  kualitas layanan dengan kepuasan pelanggan di industri telekomunikasi Malaysia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selain terdapat hubungan antara persepsi nilai dari kualitas layanan dengan kepuasan pelanggan, juga ada hubungan antara faktor harga dengan kepuasan pelanggan. Maka kepuasan pelanggan tidak hanya nilai dari kualitas layanan semata, tetapi juga faktor harga.

Dari uraian mengenai pentingnya memahami pengaruh perilaku komplain (complaining behavior), penanganan komplain (complaint handling atau service recovery), dan atribut harga (price attribute) terhadap kepuasan pelanggan (consumer satisfaction) diatas, maka selanjutnya dilakukan penelitian apakah pengaruh tersebut juga terjadi pada pelanggan PT. PLN (Persero), khususnya PT. PLN (Persero) Area Pelayanan Dan Jaringan (APJ) Malang. Jika terdapat pengaruh dari ketiga variabel tersebut terhadap kepuasan pelanggan, maka tindakan apa yang perlu dilakukan oleh PT. PLN (Persero) APJ Malang agar kepuasan pelanggan dapat terus ditingkatkan.

Perlu diketahui bahwa PT. PLN (Persero) merupakan badan usaha milik negara, yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan, tetapi tidak termasuk penetapan harga penjualan atau yang sering disebut Tarip Dasar Listrik (TDL) yang selama ini ditetapkan oleh Pemerintah. Jadi penetapan harga pokok penjualan ditentukan oleh Pemerintah, sedangkan harga pokok penyediaan ditentukan oleh PT. PLN (Persero) yang berdasarkan atas biaya-biaya operasional termasuk biaya beban lainnya, sehingga kaidah usaha sulit mencapai tingkat keekonomiannya.

Seiring dengan perkembangannya, PT. PLN (Persero) adalah sebagai penyedia tenaga listrik bagi hajat hidup orang banyak, baik dari kalangan rendah hingga kalangan atas, kalangan rumah tangga hingga kalangan pengusaha, yang semuanya mempunyai budaya dan kepentingan masing-masing. Untuk itu, PT. PLN (Persero) tidak mungkin dapat memuaskan seluruh pelanggannya, karena kompleksitas atau kemajemukan pelanggan yang mempunyai kemampuan dan keberadaan yang berbeda-beda. Tidak mustahil jika komplain pelanggan mulai bermunculan terutama terkait dengan kualitas pelayanan dan harga listrik atau tarif dasar listrik (TDL).

Terkait dengan kualitas pelayanan, misalnya adanya listrik padam itu bisa karena keterbatasan PT. PLN (Persero) dan juga belum semuanya pelanggan memahami proses penyediaan listrik, baik dari proses produksi hingga proses penyaluran atau pendistribusian listrik ke seluruh pelanggan. Sedangkan yang terkait dengan harga, itu bisa karena daya beli masyarakat yang rendah, sehingga harga masih dianggap memberatkan dan juga belum semuanya memahami nilai-nilai manfaat atas teknologi kelistrikan. Untuk itu sudah wajar munculnya komplain terkait dengan kualitas pelayanan dan harga, walau ada juga yang memahami serta menganggap bahwa harga listrik di Indonesia masih wajar.

  Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

PENGARUH KEBIJAKAN PENGELOLAN SDM DAN PENGALAMAN KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA PEGAWAI DINAS PU PENGAIRAN KABUPATEN .. (390)

Memasuki era globalisasi di mana penggunaan teknologi informasi dan komunikasi global mengakibatkan informasi yang terjadi di berbagai belahan bumi dunia ini akan mudah untuk diikuti, bahkan mudah mempengaruhi semua penggunanya. Perkembangan teknologi yang sangat pesat ini dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi orang lain, dengan demikian teknologi tidak lagi menjadi monopoli sekelompok orang tetapi telah menjadi alat yang cukup ampuh bagi sarana komunikasi, bahkan dalam perang sekalipun bisa jadi tidak lagi bertemu secara fisik tetapi melalui teknologi informatika ini.

Karena perlu diingat bahwa mereka yang menguasai teknologi mereka itu nantinya yang akan menguasai dunia. Pengaruh tersebut sangat besar, tidak hanya mempengaruhi individu semata tetapi telah menyebar mempengaruhi kelompok atau organisasi local dan global baik government maupun non government. Eksistensi dan keberlangsungan organisasi merupakan suatu proses yang tidak boleh terganggu dalam arti bahwa organisasi harus tetap eksis dan berkembang mengikuti perubahan lingkungan termasuk teknologi secara cepat.

Seiring dengan tuntutan lingkungan yang berubah ini, organisasi harus selalu menyesuaikan diri. Menyadari pengaruh lingkungan yang sangat cepat, baik internal maupun eksternal, yang bisa dikendalikan maupun di luar kendali organisasi maka kebutuhan untuk mengembangkan organisasi mutlak dilakukan.

Salah satu cara yang harus mendapat perhatian khusus adalah berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas sumber daya manusia dapat diperoleh mulai dari proses rekrutmen yang dilakukan secara transparan dan selektif, pengembangan sumber daya manusia menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan layanan kepangkatan, layanan informasi dan promosi serta pemberian cuti serta pengalaman kerja yang berkaitan dengan lamanya bekerja, pengalaman jabatan, pengalaman tugas, strategi dan komunikasi, di samping promosi dan mutasi yang mengacu pada tour of area dan tour of duty yang jelas.

Sebagaimana teori organisasi yang menyangkut berbagai pengaruh perubahan yang terjadi menuntut organisasi untuk membuka diri terhadap tuntutan perubahan dan berupaya menyusun strategi dan kebijakan yang selaras dengan perubahan dan berupaya menyusun strategi dan kebijakan yang selaras dengan tuntutan pegawai (Wayne, l991; Schuller and Jackson,1996 dalam Setyawan 2002) akan tergantung pada kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan. Artinya suatu organisasi mampu menyusun strategi dan kebijakan yang ampuh untuk mengatasi setiap perubahan yang terjadi. Keberhasilan penyusunan kebijakan dan strategi organisasi akan didukung lebih banyak fungsi manajerial yang ada (Datton & Jackson, 1987 dalam Setyawan, 2002).

Salah satu bidang fungsional strategi yang menjadi perhatian adalah manajemen Sumber Daya Manusia (Setyawan, 2002:3). Manajemen sumber daya manusia harus dipandang sebagai perluasan dari pandangan tradisional (Ulrich, 1991 dalam Setyawan 2002:4). Untuk dapat menyusun strategi sumber daya manusia yang baik ternyata dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompetensi tinggi (Ghosal & Barlett, 1995 serta Ulrich 1007 dalam Setyawan, 2002:4) menyebutkan ada peran baru sumber daya manusia guna mendukung kompetensi sumber daya manusia yang dituntut oleh organisasi agar survive terhadap perubahan (Buweo et.a1, 1992 dalam Setyawan 2002:4). 

Upaya repositioning kompetensi sumber daya manusia dilakukan dengan merubah pemahaman organisasi tentang peran sumber daya manusia yang semula people issues menjadi people related business issues. Konsep yang relatif baru dalam proses manajemen sumber daya manusia yaitu mutu kehidupan berkarya. Pemikiran filosofis yang melatar belakangi konsep ini adalah :

a.              dalam mempekerjakan pegawai, yang digunakan bukan hanya tenaganya, akan tetapi lebih mengedepankan kemampuan inlelektualnya.

b.             Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia

c.              gaya manajerial yang didambakan adalah gaya yang demokratis

Jika menggunakan dasar filsafat yang lain dari dasar yang telah dikemukakan diatas, tidak mustahil para pegawai memiliki rasa tanggung jawab yang rendah terhadap keberhasilan organisasi. Pada gilirannya rasa tanggung jawab yang rendah itu dapat berakibat pada sikap yang menyatakan bahwa seseorang akan menjadi minimalis dalam arti kata hanya melakukan tugas sedemikian rupa sehingga persyaratan minimum terpenuhi, tetapi tidak lebih dari itu (Siagian, 1999:320).

Analisis dalam memperkirakan suplai tenaga kerja untuk organisasi harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti :

·               Jumlah tenaga kerja yang ada, yang dikategorikan berdasarkan fungsi, departemen, tipe pekerjaan dan pengupahan atau golongan.

·               Analisis persyaratan kerja dalam hal ilmu pengetahuan, kualifikasi, keahlian dan pengalaman.

·               Analisis karakteristik individu dalam hal usia, lama pengabdian, kualitikasi, pelatihan, pengalaman, keahlian dan tingkat kinerja.

·               Tingkatan rekruitmen dan ketahanan jumlah pegawai, tingkat penyusutan dan absensi.

·               Tingkatan promosi

·               Perubahan-perubahan potensial pada metode kerja atau permintaan akan jasa dan produk.

·               Tersedianya suplai baik dalam maupun luar organisasi.

Berdasarkan uraian di atas ini nampaklah bahwa peranan pengambilan kebijakan terhadap pegawai sekaligus proses pemilihan individu-individu yang memiliki kualifikasi yang relevan untuk ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang ada sangat menentukan perkembangan organisasi yang bersangkutan. Disini jelaslah bahwa tanpa pegawai yang memenuhi persyaratan suatu pekerjaan, maka organisasi tersebut berada dalam posisi yang lebih buruk untuk berhasil. Karena itu pemilihan pegawai yang akan ditempatkan pada salah satu pekerjaan lebih dari sekedar pemilihan orang terbaik dari yang tersedia, sebab harus dilihat dari berbagai segi seperti pengetahuan, keterampilan, perilaku / sikap dan pengalaman kerja yang sesuai adalah satu paket yang melekat pada manusia, sehingga ini merupakan, usaha untuk memperoleh ‘kecocokkan’ antara apa yang dapat dilakukan pegawai yang hendak ditempatkan dengan apa yang ingin dicapai, serta apa yang dibutuhkan oleh organisasi.

Kebijakan penempatan sumber daya manusia seharusnya dipandang sebagai proses pencocokan. Celah antara keahlian individual yang dimiliki dengan pekerjaan yang dipersyaratkan merupakan faktor-faktor umum yang harus dipegang teguh untuk tidak menempatkan orang yang tidak tepat tersebut. Karena seberapa baiknya si pegawai berdasarkan kelebihan yang dimilikinya kemudian dicocokan dengan sebuah pekerjaan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas kerjanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Memoria (1980), yang mengemukakan bahwa penempatan pegawai mengandung arti pemberian tugas tertentu kepada pekerja agar ia mempunyai kedudukan yang paling baik dan paling sesuai dengan didasarkan pada rekruitmen, kualifikasi pegawai dan kebutuhan pribadi. Penempatan yang tepat merupakan cara untuk mengoptimalkan kemampuan, keterampilan menuju prestasi kerja bagi pegawai itu sendiri.

Berkaitan dengan kebutuhan mengevaluasi keefektifan proses manajemen sumber daya manusia dalam sebuah organisasi, peneliti Harvard (dalam Stoner dkk yang mana di-Indonesia-kan oleh Alexander Sindoro, 1996:93) mengajukan usul model “empat C” yaitu : competence, commitment, congruence dan cost effectiveness (kompetensi, komitmen, keserasian dan efektivitas biaya).

Setiap organisasi pemerintahan harus mampu menempatkan pegawainya pada posisi yang tepat. Artinya tempatkan mereka pada posisi yang sesuai dengan keterampilan masing-masing. Ketidaktepatan menempatkan posisi akan menyebabkan pekerjaan menjadi kurang lancar dan tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal. Disamping itu, semangat kerja dan kegairahan kerja mereka akan menurun. Ada pula pegawai yang sebenarnya telah tepat pada posisinya, namun karena tugas ini dijalani terlalu lama mungkin kebosanan akan muncul. Kemudian semangat kerja dan gairah kerjanya akan menurun pula.

Hal lain yang sangat perlu diperhatian dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan SDM dan pengalaman kerja perihal penempatan ini adalah bagaimana mendapatkan ‘orang yang tepat pada tempat yang tepat” dalam arti dinamis artinya bukan hanya yang dibutuhkan untuk masa sekarang, tetapi juga untuk masa yang akan datang.

Hal ini disebabkan orang-orang yang telah kita terima kurang mempunyai potensi untuk dipromosikan. Ini bukanlah kesalahan orang tersebut sebab hanya demikian batas kemampuannya. Meskipun begitu, mereka yang sudah lama bekerja, yang berarti loyalitasnya cukup tinggi, bagaimanpun akan merasa kecewa. Ini semua dapat menyebabkan turunnya semangat dan kegairahan kerja atau tingginya tingkat perpindahan pegawai (Nitisemito, 1996:37).

Berikut pembahasan mengenai pengalaman kerja bagi pegawai, menyangkut variabel usia dan pengalaman kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kemauan dan kebanggaan pegawai pada organisasi. Pengalaman kerja, seperti keandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja lainnya memperbincangkan dan mengutarakan perasaan mereka mengenai organisasi mempengaruhi diri pribadi pegawai maupun pekerjaan yang ditangani. Pengalaman kerja menunjukkan berapa lama pegawai dapat bekerja dengan baik. Pengalaman kerja yang telah didapat seorang pegawai akan dapat meningkatkan kemampuan dalam bekerja.

Kinerja hanya dapat ditingkatkan dengan motivasi kerja yang tinggi, pengetahuan dan keahlian dalam melakukan tugas dan persepsi peran yang positif dimiliki seseorang. Dengan demikian kinerja merupakan fungsi motivasi, keahlian dan persepsi. Dapat dikatakan bahwa ada dua dimensi penting dalam memahami konsep kinerja yaitu dimensi motivasi dan dimensi kemampuan (keahlian dan persepsi). Dengan kata lain seorang pegawai akan mencapai kinerja yang tinggi, jika memiliki motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas­-tugasnya dan ditunjang oleh pengalaman kerja yang dimiliki. Disamping itu kondisi lingkungan kerja juga turut berpengaruh dalam mengukur kinerja suatu organisasi.

Perubahan lingkungan yang cepat dan dramatis akan membawa implikasi pada tuntutan dan tantangan yang mesti dihadapi oleh organisasi. Setiap organisasi usaha hidup dan berkembang untuk senantiasa berada dalam kondisi siap melakukan perubahan secara dramatis pula. Karena itu organisasi dituntut untuk memiliki learning process yang cepat ( Kennedy, 1999 : 121-137). Tuntutan yang demikian akan mengakibatkan munculnya tantangan baru, di mana satu diantaranya adalah menyangkut intellectual capital yakni bagaimana mendapatkan, mengasimilasikan, mengembangkan, dan pengalaman kerjanya, serta memelihara individu-individu berbakat yang dapat mendorong organisasi untuk tanggap terhadap pelanggan dan peluang teknologi.

Pengalaman kerja tidak dapat dilepaskan dengan lamanya bekerja, pekerjaan seseorang yang mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, perhatian terhadap pengalaman kerja memberikan sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan pegawai memperoleh umpan balik tentang hasil pekerjaan yang dilakukannya. Bentuk program perkenalan yang tepat serta berakibat pada diterimanya seseorang sebagai anggota kelompok kerja dan oleh organisasi secara ikhlas dan terhormat juga pada umumnya berakibat pada tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Situasi lingkungan pun turut berpengaruh pada pengalaman kerja seseorang. Pemahaman yang lebih tepat tentang pengalaman kerja dapat dikaitkan dengan prestasi kerja, tingkat kemangkiran, keinginan pindah, usia pekerjaan, tingkat jabatan dan besar kecilnya organisasi (Siagian, 1999:295).

Sementara itu pakar lain berpendapat bahwa pengalaman kerja, dapat digunakan Job Descriptive Index (JDI) yang menurut Luthans, 1995 (dalam Elusein Umar, 2000:36) ada lima. Yaitu :

1.                Pembayaran, seperti gaji dan upah.

2.                Pekerjaan itu sendiri.

3.                Promosi Pekerjaan.

4.                Kepenyeliaan (supervisi).

5.                Rekan sekerja.

Salah satu upaya yang disinyalir dapat memacu prestasi para pegawai adalah melalui pengambilan kebijakan untuk pegawai menyangkut layanan kepangkatan, informasi dan promosi, cuti serta peningkatan pengalaman kerjanya. Kebijakan pengelolaan SDM dan pengalaman kerja ini merupakan upaya manajemen personalia pemerintah daerah dalam mengembangkan kompetensi pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya. Kebijakan strategis yang menyangkut seluruh program dan prosedur administrasi kepegawaian sebagai wujud pelayanan manajemen personalia pada seluruh pegawainya

Menyikapi fenomena tersebut di atas, penelitian ini memfokuskan pada masalah pengaruh kebijakan pengelolaan SDM dan pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai Dinas PU Pengairan Kabupaten Probolinggo.

  Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap


PENGARUH PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KARIR SERTA KOMITMEN KERJA ... (389)

 

Measelee, (1997), menyatakan bahwa perubahan global yang diikuti dengan kemajuan teknologi informatika mengambarkan kondisi perubahan sebagai hasil dari tekanan waktu, dimana dalam proses ini terjadi fluktuatif yang begitu cepat bagi siapa yang bertindak lamban dalam mengantisipasi masa depan. Kedua, diversity yang selalu menciptakan dua kondisi, yakni kesempatan sekaligus kekacauan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun dari lingkungan eksternal, yang kekuatannya dapat dioptimalkan dengan menyeimbangkan antara keduanya dengan tanpa mengurangi kekuatan masing-masing melalui proses “saling mengerti” dan “belajar” dan ketiga adalah kompleksitas sebagai hasil dari kedua kondisi diatas (perubahan dan perbedaan), yang harus dihadapi oleh manajemen dengan kemampuan daya prediksi atas gejala yang akan terjadi.

1

 
Untuk itu disarankan melakukan integrasi pasar dan formasi aliansi. Yang menuntut perubahan stockholders dan keberlangsungan pemerintahan. Kondisi ini harus benar-benar disadari dan dipersiapkan secara professional dengan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya manusia. Lucas (1988) menunjukkan bahwa negara industri maju maupun negara industri baru dapat mempertahankan perkembangan ekonominya dalam jangka panjang karena memiliki mutu SDM yang baik. Hubungan positif antara perkembangan ekonomi dan kualitas SDM yang diindikasikan dengan peningkatan produktivitas, efisiensi dan nilai tambah dimana berperan secara signifikan diantaranya  teknologi dikemukakan oleh banyak ahli diantaranya Solow (1975), Romer (1990), Nort (1990 ) dan Crosby (1980).

Mustopadidjaja (1997) lebih lanjut menegaskan bahwa pembangunan SDM merupakan indikator yang secara internasional diakui sebagai indikator keberhasilan pembangunan dan merupakan faktor yang memberikan kontribusi kuat bagi adanya perilaku bertanggung jawab dan berkesinambungan, sekaligus merupakan penentu bagi keberhasilan pembangunan ekonomi. Strategi dasar dalam hal ini adalah pendidikan, yang akan menghasilkan SDM berkualitas. Strategi dasar pendidikan merupakan jawaban yang tepat dalam menghadapi era “globalisasi”, terlebih dalam kondisi krisis seperti yang terjadi saat ini.

Korea Selatan, Malaysia dan Thailand telah membuktikan hal tersebut, dengan mempersiapkan SDM yang berkualitas, krisis akan dapat diatasi dengan baik (Suandana, 1993). Investasi dibidang SDM, sebagaimana temuan Wheeler dalam (Rindjin, 1992) menunjukkan tingkat keuntungan yang lebih besar dibanding investasi di bidang fisik. Peningkatan kualitas pendidikan sebagai strategi dalam menciptakan kualitas SDM agar siap melakukan pembangunan seperti tertuang dalam Rencana Strategis Nasional, yakni: terwujudnya kehidupan masyarakat yang makin sejahtera lahir batin secara adil dan merata, terselenggaranya pendidikan nasional dan pelayanan kesehatan yang makin bermutu dan merata yang mampu mewujudkan manusia yang beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, Sehat, Cerdas, oatriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional, makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradapan, harkat dan martabat manusia Indonesia dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa. Untuk itu pemerintah secara terus menerus berupaya untuk semakin memperbaiki mutu sistem pendidikan nasional agar amanat tersebut dapat terwujud dengan baik.

Kita ketahui bahwa pendidikan formal tidak seluruhnya dapat diandalkan untuk mewujudkan kualitas manusia pembangunan seperti yang diharapkan, tetapi hampir dapat dipastikan bahwa sektor pendidikan formal yang tertata dengan baik dapat memainkan peranan yang signifikan didalam upaya itu. Rasyid (1997) menyatakan bahwa sistem pendidikan yang baik dapat dilihat dari tiga komponen, yaitu aturan main, seluruh perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang keberadaan semua tingkat pendidikan formal. berikut lembaganya, dengan susunan organisasi dan kewenangan yang melekat. Serta pelaku pendidikan, dengan SDM yang bertanggung jawab dibidang pendidikan formal.

Ryaas rasyid menegaskan bahwa pelaku pendidikan, untuk terus dibina agar di dalam diri mereka terbangun komitmen moral dan intelektual untuk secara serius menjaga mutu pendidikan. Dengan komitmen moral yang tinggi tersebut  akan terus berupaya meningkatkan profesionalismenya. Maskun (1997) menegaskan bahwa faktor yang dapat memberikan stimulan kepada profesionalisme intelektual adalah: a. pendidikan tinggi yang baik, b.terdapatnya peluang, c. adanya penghargaan karya, d. terdapatnya pemanfaatan konsepsi dan tidak adanya hambatan dalam bentuk apapun.

Pengelolaan secara profesional mencakup didalamnya pengelolaan SDM  yang merupakan unsur utama dalam membangun kompetensi. Swasto (1996) mengutip dari Sonhaji (1990) menempatkan  SDM yang utama, karena  memiliki kemampuan intelektual, profesional, pribadi dan sosial. Pengelolaan SDM mengandung tugas untuk mendayagunakan SDM yang dimiliki secara optimal, sehingga ia dapat bekerja secara maksimal untuk secara bersama-sama mencapai tujuan.

Robins (1993) menegaskan bahwa seorang pegawai akan bekerja dengan baik apabila dia ditempatkan pada posisi dan jatah yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, serta apabila dia merasa dapat memenuhi kebutuhannya dengan melakukan pekerjaan tersebut. Dengan demikian seorang pegawai harus diperhatikan pula atas pemenuhan kebutuhan kebutuhannya.

Kebutuhan pegawai  tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat material saja, akan tetapi juga non material seperti kepastian karier. Sehingga perencanaan dan pengembangan karier akan mendorong dan membawa seseorang kepada suatu tahap yang relatif lebih tinggi dari yang dimilikinya saat ini, dan demikian selanjutnya. Sistem karir menurut Robins (1993) sangat diperlukan oleh suatu lembaga untuk meningkatkan produktivitas pegawai-pegawainya dan pada saat yang sama mempersiapkan diri mereka untuk melakukan perubahan.

Perencanaan karir  sebagai proses awal untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh organisasi, sekaligus merupakan acuan untuk selalu siap menggunakan kesempatan karir yang ada didalam jalur karirnya dan akan sangat membantu pegawai untuk merencanakan karir mereka dimasa depan dalam lembaga tersebut. Maskun (1997) mengemukakan bahwa perencanaan karir pada umumnya berorientasi kepada sistem struktural yang mengandung persyaratan kepangkatan, senioritas, kecakapan atau keistimewaan tertentu, perkembangan politis, primordial, dan keinginan pimpinan. Strata persyaratan jabatan karir yang demikian itu sangat kompetitif dan banyak mengandung polemik tentang keobyektivitasannya. Sehingga diperlukan perencanaan dan media pengembangan karier yang  fire and transparance

Secara umum perencanaan dan pengembangan karir adalah untuk mengidentifikasi sasaran karir dan jalur-jalur untuk menuju ke sasaran karirnya didalam suatu organisasi. Kepastian karir seseorang mempunyai manfaat yang besar bagi organisasi diantaranya menurunkan perputaran, mengungkap potensi, mendorong pertumbuhan, mengurangi penimbunan karyawan yang berprestasi dan berkualitas, meningkatkan kepuasan, mendorong keberhasilan dari rencana kerja yang telah disetujui.

Sadler (1994) menegaskan salah satu yang mempengaruhi keberhasilan/ kinerja adalah komitmen, yang tercermin dari tingkat kepuasan karyawan. Dengan perencanaan dan pengembangan karier yang jelas dan mantap diharapkan karyawan akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi. Greech (1996) mensinyalir bahwa munculnya fenomena kemangkiran, perpindahan karyawan serta rendahnya prestasi kerja mereka akibat dari rendahnya tingkat komitmen karyawan pada organisasi.

Kecamatan bagian darinya dibentuk untuk memberikan arak kebijakan dalam membantu Bupati untuk melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanakan tugas pokok tersebut, Kantor Kecamatan mempunyai fungsi sebagai berikut :

a.      Pengkoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarakat

b.      Pengkoordinasian upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban

c.      Pengkoordinasian penerapan dan penegakan peraturan Perundang-undangan

d.      Pengkoordinasian pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum

e.      Pengkoordinasian penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan

f.       Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa/ atau kelurahan

g.      Pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan / atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan

Untuk mendukung kelancaran tugas, ditetapkan susunan organisasi Kantor Kecamatan di Kabupaten Probolinggo sebagai berikut :

a.      Camat

b.      Sekretaris Kecamatan

c.      Seksi Ketentraman dan ketertiban

d.      Seksi Pemerintahan

e.      Seksi Kesejahteraan Rakyat

f.       Seksi Perekonomian

g.      Seksi Pembangunan

h.      Kelompok Jabatan Fungsional

Untuk memberikan arah kebijakan dan pedoman dalam pelaksanaan tugasnya, maka melalui Keputusan Bupati No.13 Tahun 2001 tentang uraian tugas dan fungsi Kantor Kecamatan Kabupaten Probolinggo. Berangkat dari latar belakang pemikiran tersebut, dipilih judul Perencanaan dan pengembangan karier dan Komitmen Karyawan pengaruhnya terhadap prestasi kerja karyawan Kantor Kecamatan Kraksaan

  Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI... (388)

 

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Untuk menguji apakah variable-variabel kepemimpinan dan motivasi memiliki pengaruh yang simultan terhadap kinerja pegawai Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, 2) Untuk menguji apakah variable-variabel kepemimpinan dan motivasi memiliki pengaruh yang parsial terhadap kinerja pegawai Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, 3) Untuk menguji manakah diantara variable-variabel kepemimpinan dan motivasi yang memiliki pengaruh dominan terhadap kinerja pegawai Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo.

Penelitian ini merupakan penelitian kausal yang bertujuan menguji hipotesis tentang adanya hubungan sebab akibat antara variable motivasi dan kepemimpinan terhadap variable kinerja atau penelitian yang berusaha menjelaskan hubungan kausal yang terjadi antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam  penelitian  ini penulis menggunakan teknik total sampling yaitu keseluruhan karyawan Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo yang merupakan responden adalah terdiri dari  Kepala Bidang, Kepala Seksi dan seluruh pegawai yang semuanya berjumlah 47 (empat puluh tujuh) orang.Teknik pengumpulan data dilakukan melalui teknik kuesioner dan dokumenter, yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif yaitu dengan menggunakan model statistik dalam program komputer(SPSS 11.0) dengan teknik analisis statistik inferensial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; a) Nilai F hitung sebesar 6,941 dengan tingkat signifikan 0,002. Karena probabilitas (0,002) jauh lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima, yang berarti model regresi dapat digunakan untuk memprediksi kinerja pegawai atau dapat dikatakan bahwa kepemimpinan dan motivasi, secara bersama-sama atau simultan  berpengaruh terhadap kinerja pegawai di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo, b) Nilai t hitung variabel kepemimpinan = 3,254 dengan tingkat signifikansi 0,002 yang lebih kecil daripada nilai signifikansi 0,005 dan  nilai t hitung variabel motivasi sebesar 2,412 dengan nilai signifikansi 0,02 yang lebih kecil daripada 0,05. membuktikan bahwa variabel kepemimpinan dan variabel motivasi secara parsial berpengaruh terhadap kinerja pegawai di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo dapat diterima, c) Nilai koefisien regresi variabel kepemimpinan (0,374) lebih besar daripada nilai koefisien regresi variabel motivasi(0,326), sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kepemimpinan merupakan variabel yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja pegawai di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo

Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger