PENGARUH MANAJEMEN PENGETAHUAN, KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN SIKAP PADA BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI .... (290)

 

Kemajuan tehnologi,  baik tehnologi informatika maupun tehnologi industri selalu diiringi dengan tingkat profesionalitas sumber daya manusia yang handal, hal ini disebabkan adanya suatu usaha setiap organisasi untuk mencapai keunggulan yang kompetitif dalam menghadapi persaingan. Untuk mencapai keunggulan yang berkesinambungan tidak lagi hanya bergantung pada tehnologi, hak paten maupun posisi strategis tetapi lebih menekankan pada bagaimana organisasi mengelola tenaga sumber daya manusianya.

Dalam pengelolaan tenaga kerja diperlukan falsafah yang mengakui pentingnya nilai karyawan sebagai individu, karena salah satu keberhasilan organisasi memang tergantung pada perilaku individu. Karena pada dasarnya antara individu dengan organisasi mempunyai hubungan timbal balik, artinya individu tidak mungkin mencapai tujuannya tanpa melalui organisasi dan sebaliknya organisasi tidak akan dapat mencapai tujuan dan sasarannya jika kerjasama sekelompok orang sebagai anggota tidak dapat diorganisir dengan baik.

Untuk dapat mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien, suatu organisasi harus memperlakukan individu secara manusiawi dengan memberikan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik secara fisiologis seperti kebutuhan makan dan tempat tinggal, serta kebutuhan psikologisnya seperti memberi jaminan perlindungan, keamanan serta menghindarkan dari tekanan yang berat di tempat kerja, di samping itu juga kesempatan berinteraksi dan mengikutsertakan karyawan dalam mengambil keputusan, memberikan penghargaan serta kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya. Untuk itu pembekalan pengetahuan sangat dibutuhkan guna meningkatkan prestasi dan kepuasan kerja karyawan.

Era pengetahuan telah melahirkan Knowledge Management dan mendorong inovasi berkelanjutan terutama dalam informasi dan teknologi komunikasi. Inovasi teknologi informasi melipatgandakan kemampuan kita untuk menciptakan, mengorganisasikan, menggandakan, maupun melindungi human (intelectual) capital yang tidak dapat direplikasi oleh organisasi lain. Pengertian IT tidak sekedar Information Technology, tetapi juga Inspiration Technology, yang akan menstimulir gagasan-gagasan baru yang diperoleh akibat kemampuan teknologi yang terus bergulir dalam hal informasi dan komunikasi, selanjutnya menghasilkan berbagai inovasi baru (Innovation Technology).

                        Knowledge (pengetahuan) sebagai basis dari penciptaan intellectual capital harus dibangun melalui pendekatan manajemen yang fokus kepada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995, dalam Tjakraatmadja dan Lantu, (2006: 64)), untuk menunjang era revolusi informasi, suatu organisasi perlu memiliki pengetahuan eksplisit (know how) dan pengetahuan tasit (know why) secara seimbang dan berkelanjutan. Tipe knowledge secara umum; pertama, masuk bidang spesialis IT (Departemen Teknologi Informasi) dengan sistem program dan database untuk mendesain dan implementasi, mengelola data, informasi dan knowledge yang dipelajari seluruh karyawan melalui budaya pembelajaran dan knowledge sharing; kedua, merupakan bidang spesialis Human Resource (Departemen SDM) melalui sistem dan proses belajar orang-orang dan kinerja yang dikelola, pemberian reward atau penghargaan bagi karyawan yang memberikan kontribusi knowledge berdaya tetap di organisasi.

            Namun, dalam penerapan di organisasi bisnis, sering dijumpai kesalahan dalam pemahaman konsep Manajemen Pengetahuan, yaitu disamakan dengan data dan informasi, menitikberatkan pada investasi dibidang teknologi informasi, yang dianggapnya itulah konsep manajemen pengetahuan. Akibatnya, organisasi cenderung melakukan pengeluaran yang terlalu besar untuk hasil yang tidak signifikan (Cropley, 1998).

Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuannya mentransformasikan diri sesuai dengan tuntutan perubahan dan memperkuat budaya organisasinya untuk mendukung tujuan organisasi. Sebagaimana dikatakan O’relly (1989) dalam Rahma (2005) terdapat dua dimensi yang menentukan kuat lemahnya suatu budaya organisasi, yaitu intensitas dari budaya atau jumlah persetujuan atau ketidaksetujuan atas suatu harapan dan kristalisasi atau konsistensi atas kebersamaan norma. Menurut Kotler dan Heskett (1987) dalam Zaman (2005) suatu budaya organisasi dianggap kuat apabila nilai-nilainya sudah terinternalisasi secara intensif dan dipegang teguh  oleh segenap anggota dalam organisasi tersebut. Bila dalam suatu organisasi sudah terdapat nilai-nilai yang dianut bersama, maka orang-orang akan merasa tenang dalam menjalankan organisasi tersebut karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan. Perasaan ini berkembang menjadi loyalitas yang memacu karyawan untuk bekerja lebih giat lagi sehingga akan meningkatkan kinerja karyawan.

Minat terhadap budaya organisasi muncul pada saat timbul kesadaran bahwa kerangka kerja organisasi seperti tehnologi, strategi, kepemimpinan, dan karyawan tidak dapat terlepas dari landasan nilai-nilai yang hidup dan dihayati bersama. (Hardjono, 1998). Dari berbagai penelitian yang ada mengenai budaya organisasi menunjukkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada didalamnya, termasuk para karyawan (prestasi kerja bawahan). Budaya organisasi dapat mempengaruhi prestasi karyawan karena melalui budaya organisasi dapat membantu para karyawan dalam cara berpeilaku, bekerja, menyelesaikan persoalan serta memberikan petunjuk tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan  (Robbins:1996).   

Dengan demikian melalui budaya organisasi, pihak manajemen dapat memanfaatkan sumber daya  manusianya menjadi optimal, dimana para pemimpin organisasi perlu mengelola sumber daya manusia secara efektif dengan berusaha mengarahkan  perilaku SDM sesuai dengan tujuan organisasi. Kahn, 1978 dalam Steers et.al., (1996), menyebutkan terdapat  tiga perilaku SDM yang dibutuhkan oleh suatu  organisasi, yaitu: (1) SDM harus memiliki komitmen terhadap organisasi, yaitu perasaan  terlibat dalam organisasi dan tetap tinggal dalam organisasi, (2) SDM harus menunjukkan kinerja sesuai dengan  tugasnya (in role behavior), (3) SDM harus menunjukkan kinerja melampaui peran in-role nya dengan menunjukkan perilaku kerja  yang kreatif, inovatif dan spontan yang sering disebut sebagai extra role behavior. Ketiga perilaku SDM tersebut merupakan sumber tercapainya efektivitas organisasi.

Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti besar manfaatnya baik bagi kepentingan individu, maupun organisasi danmasyarakat. Bagi individu, penelitian tentang kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagiaan hidup mereka. Bagi organisasi, penelitian tentang kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan kinerja organisasi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya, masyarakat tentu akan menikmati hasil kapasitas maksimum dari organisasi serta naiknya nilai manusia didalam konteks pekerjaannya (As'ad, 1993).

Pembahasan mengenai kepuasan kerja perlu didahului oleh penegasan bahwa masalah kepuasan kerja bukanlah hal yang sederhana, baik dalam arti konsepnya maupun dalam arti analisisnya, karena “kepuasan” mempunyai konotasi yang beraneka ragam. Karena tidak sederhana dan banyak faktor yang perlu mendapat perhatian dalam menganalisis kepuasan kerja seseorang. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa apabila dalam pekerjaannya seseorang mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, memberikan sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan karyawan memperoleh umpan balik tentang hasil pekerjaan yang dilakukannya, yaitu yang bersangkutan akan merasa puas.

Kepuasan kerja merupakan keadaan emosional para karyawan yang menyenangkan dalam memandang pekerjaan mereka (Handoko, 1997). Kondisi demikian memang haruslah dipertahankan pada diri seorang karyawan, karena dalam kondisi tersebut akan memberikan dampak yang positif terhadap sikapnya, sehingga dapat diharapkan dapat menyumbangkan hasil kerja yang maksimal.

Menurut Davis dan Newstrom (1996), salah satu gejala dari rusaknya kondisi dalam suatu organisasi adalah rendahnya kepuasan kerja. Dalam bentuk yang paling sinis gejala yang ada bersembunyi dibelakang pemogokan liar, pelambanan kerja, kemangkiran, pergantian pegawai, rendahnya prestasi, rendahnya kualitas, produk, masalah-masalah disipliner, dan sebagainya. Sebaliknya kepuasan kerja yang tinggi diinginkan oleh para manajer karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka harapkan. Kepuasan kerja yang tinggi merupakan tanda bahwa organisasi telah dikelola dengan baik.

Banyak faktor yang mendorong terciptanya kepuasan kerja seseorang pekerja, karena pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya (As'ad, 1998).

Cherrington (1994) juga menyatakan bahwa kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam karakteristik dari pekerjaan itu sendiri, karakteristik organisasi dan karakteristik personal atau karakteristik individu. Khusus mengenai karakteristik pekerjaan itu sendiri oleh Wexley dan Yukl (1992) disinyalir sebagai faktor utama yang ditemukan secara konsisten dalam pembentuk kepuasan kerja. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian, yang salah satunya dinyatakan oleh Singh (1998) bahwa secara signifikan karakteristik pekerjaan mempengaruhi perilaku serta hasil kerja yang berbentuk psikologis, yang salah satunya adalah kepuasan kerja pada tenaga penjual.

Berdasarkan uraian diatas dan berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian, akhirnya peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Manajemen Pengetahuan, Karakteristik Individu dan Sikap Pada Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Karyawan

Penelitian ini merupakan penelitian replikasi, yaitu penelitian lanjutan, sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, namun perbedaan penelitian ini pada aplikasi penggunaan variabel beserta pengembangan indikator yang dilakukan atas variabel yang diteliti. Dengan pengembangan yang dilakukan diharapkan hasil penelitian ini nantinya juga dapat memberikan wawasan dan peluang untuk penelitian berikutnya.

Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

 

PENGARUH KEMAMPUAN DAN MOTIVASI KERJA PERAWAT TERHADAP KUALITAS PELAYANAN BAGIAN RAWAT INAP RUMAH SAKIT .... (289)

 

Dampak dari era globalisasi di segala bidang termasuk bidang jasa khususnya pada kesehatan, kedokteran dan keperawatan sangat ditentukan oleh lingkup kelompok jasa pelayanan kesehatan yang telah masuk ke Indonesia pada era globalisasi itu sendiri. Dampak yang dimaksud adalah (1) Globalisasi kelompok jasa yang dapat dikonsumsi tanpa perlu mendatangi negara penghasil jasa (across a border), (2) Globalisasi kelompok jasa yang untuk mengkonsumsinya harus mendatangi negara penghasil jasa (through consumption abroad) dan (3) Globalisasi kelompok jasa yang diselenggarakan oleh suatu sarana asing yang didirikan di suatu negara (through commercial presence).

Oleh karena itu globalisasi diterima atau tidak menuntut kesiapan manajemen sumber daya manusia di Indonesia untuk menghadapinya dan perlu diantisipasi secara cermat dan teliti. Dampak dari globalisasi ini ada yang positif dan ada yang negatif. Yang positif diambil dan yang negatif dibuat sebagai kontrol untuk pencapaian perbaikan. Solusinya adalah kerjasama multilateral dan global yang perlu diperluas dan terus ditingkatkan, karena semakin luas dan banyak masalah global yang tidak bisa lagi diatasi atau ditanggulangi hanya oleh satu negara saja, tetapi perlu pemecahan masalah bersama-sama oleh banyak negara dan dengan mengikutsertakan pula sektor swasta (Rudy; 2003).

Indonesia turut serta dalam keanggotaan World Trade Organization (WTO) yang berarti Indonesia mau untuk menjadi wahana dari glonbalisasi itu sendiri, sedang peraturan dan perundang-undangan kesehatan yang berlaku adalah Peraturan Perundang-Undangan yang masih berdasarkan peraturan lama (masih mengacu pada negeri Belanda). Namun, ilmu kedokteran Barat di seluruh dunia berasal dari sumber yang sama, yaitu Hippocrates, sehingga msih bersifat universal (Guwandi; 2003). Sedangkan untuk Indonesia masalah pemakaian peralatan medis yang canggihpun tidak ketinggalan, yang tertinggal adalah bidang hukumnya. Di sisi lain, Rumah Sakit dan perawat sebagai karyawan terdapat hubungan majikan karyawan, maka rumah sakit secara perdata bertanggung jawab terhadap kerugian pasien yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian perawat. Sedangkan perawat dibawah pengawasan dokter (Guwandi; 2003).

Pelayanan rumah sakit menghadapi suatu tantangan global yang akan membawa kompetensi pelayanan kesehatan yang terdesak oleh investasi asing atau terjadinya persaingan tingkat lokal antara pelayanan pemerintah dan pelayanan kesehatan swasta termasuk pelayanan kesehatan preventif dan promotif.

Sejalan dengan itu,maka pelayanan prima di rumah sakit menjadi tuntutan masyarakat. Pelayanan prima adalah pelayanan kepada pasien berdasarkan standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit. (Sujudi; 2000)

Pemerintah sangat memperhatikan masyarakat untuk hidup sehat dan sejahtera. Dengan demikian perlu meningkatkan sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat; yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan rehabilitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Sejalan dengan itu pemerintah menetapkan melalui GBHN tentang kesehatan dan kesejahteraan sosial yang isinya bahwa pemerintah akan meningkatkan dan memelihara mutu lembaga dan pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan dan sarana prasarana dalam bidang medik, termasuk ketersediaan obat-obatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Pelayanan prima yang diharapkan dan misi tersebut diatas sejalan dengan misi yang diemban oleh Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar.

Prawirosentono (1997) mengatakan bahwa kinerja atau performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, yang sesuai dengan wewenang atau tanggung jawabnya, dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan yang legal dan tidak melanggar aturan hokum sesuai dengan moral maupun etika.

Berkaitan dengan teori kinerja perawat, maka factor yang mempengaruhi kinerja perawat adalah factor kemampuan (ability) dan factor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Keith Davis (1964) yang merumuskan bahwa :

 

 

1.      Human Performance        =  Ability + Motivation

2.      Motivation                         =  Attitude + Situation

3.      Ability                               =  Knowledge + Skill

Secara psikologis, kemampuan (ability) perawat terdiri dari kemampuan potensi IQ dan kemampuan reality (Knowledge + Skill). Artinya perawat yang memiliki IQ diatas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya yang terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu perawat perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man in the right place, the right man on the right job).

Teori dasar yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji analisis kinerja perawat dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan adalah teori tentang kinerja pegawai (Performance) yang diformulasikan oleh Keith Davis diatas, yaitu :   Human Performance         =  Ability + Motivation.

Formulasi tersebut diatas, telah diuji dan diklarifikasikan oleh beberapa ahli lainnya seperti T.R Mitchell (1978), Jay Calbraith, dan L.L. Cummings sebagaimana dikutip oleh Suharto (2000) dalam studi secara umum mendukung hipotesis adanya hubungan (relationship) antara motivasi dan kemampuan.

Disamping itu teori lain yang dipakai adalah tori proses dari Victor Vroom kutipan dari Gary Dessler (1993) tentang expectency theory (termasuk Process Theiries), dimana oleh Vroom faktor motivasinya dikembangkan dengan menyebut istilah (effort / upaya) dengan memasukkan faktor harapan (expectancies). Rumusan ini menunjukkan bahwa besarnya kinerja tergantung dari besarnya motivasi (dengan memperhitungkan ekspektansi seseorang untuk berhasil) dan kemampuan. Apabila seseorang merasa bahwa upayanya akan mengarah kepada hasil yang penting (seperti pemenuhan kebutuhan akan status, atau pengakuan) maka motivasi akan muncul.

Motivasi perawat didasarkan pada teori motivasi Achievement Motivation Theory, yang mengatakan bahwa hal-hal yang memungkinkan para pegawai meningkatkan semangat kerjanya adalah untuk mencapai kebutuhan akan berprestasi, afiliasi dan kekuatan yang diinginkannya, yang merupakan daya penggerak untuk motivasi pegawai dalam menggerakkan semua potensi yang dimilikinya.

Kepuasan pasien dapat dilihat dari kualitas pelayanan yang diberikan, kualitas pelayanan memberikan dorongan bagi pihak rumah sakit untuk menjalin ikatan hubungan yang kuat dengan pasien, menurut Tjiptono (1996) “kualitas pelayanan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan”. Sedangkan kualitas sendiri menurut The American Society for Quality Control merupakan “keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau yang bersifat laten”. Dari kedua pengertian tersebut maka produk atau jasa diupayakan untuk mampu memiliki keseluruhan ciri dan manfaat yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pelanggan dalam rangka mengimbangi harapan pelanggan.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan menurut Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) serta Fitzsimmons dan Fitzsimmons (1994) yaitu expected service (yang diharapkan) dan perceived service (yang diberikan). Apabila pelayanan yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika pelayanan dipersepsikan lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya. “Harapan para pelanggan pada dasarnya sama dengan layanan seperti apa yang seharusnya diberikan oleh organisasi kepada mereka” (Parasuraman et.al, 1988). Pengertian tersebut mendefinisikan harapan sebagai keinginan para pelanggan daripada layanan yang mungkin diberikan oleh organisasi.

Kualitas dan loyalitas pelanggan berkaitan erat. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan yang kuat dengan organisasi. Ikatan seperti ini dalam jangka panjang memungkinkan organisasi untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka, dengan demikian organisasi tersebut dapat meningkatkan loyalitas pelanggan dimana organisasi memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan.

Organisasi yang gagal memuaskan pelayanannya akan menghadapi masalah yang kompleks. Umumnya pelanggan yang tidak puas akan menyampaikan pengalaman buruknya kepada orang lain dan bisa dibayangkan betapa besarnya kerugian dari kegagalan memuaskan pelanggan. Oleh karena itu, setiap organisasi jasa wajib merencanakan, mengorganisasikan, mengimplementasikan, dan mengendalikan sistem kualitas sedemikian rupa, sehingga pelayanan dapat memuaskan para pelanggannya. Penilaian akan kualitas layanan dikembangkan oleh Leonard L. Barry, A. Parasuraman dan Zeithaml yang dikenal dengan service quality (SERVQUAL), yang berdasarkan pada lima dimensi kualitas yaitu tangibles (bukti langsung), reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan) dan empathy (empati) (Kotler, 1997:53).

Kualitas pelayanan merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat pelayanan yang diterima (perceived service) dengan tingkat layanan yang diharapkan (expected service). Loyalitas pelanggan dalam bidang jasa merupakan elemen penting dan menentukan dalam menumbuh kembangkan organisasi agar tetap eksis dalam menghadapi persaingan. Demikian pula dengan bisnis rumah sakit, merupakan bisnis yang berdasarkan pada azas kepercayaan, masalah kualitas layanan (service quality) menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan bisnis ini.

Kualitas pelayanan yang semakin baik merupakan faktor yang berharga dalam pelayanan di rumah sakit. Namun pelayanan lebih sering dikaitkan dengan organisasi jasa, dikarenakan organisasi jasa menghasilkan produk yang langsung diberikan pada saat terjadi transaksi. Peningkatan kualitas dan pelayanan sangat penting bagi organisasi jasa karena akan menarik minat konsumen untuk membeli produk jasa yang ditawarkan. Konsumen yang merasa senang dan puas atas pelayanan yang diberikan organisasi akan terus membeli produk yang ditawarkan, sehingga status konsumen akan berubah menjadi pelanggan. Salah satu cara untuk mentranformasi konsumen menjadi pelanggan atau pasien adalah dengan memenuhi kepuasan dan memberikan kualitas pelayanan yang unggul.

Menurut Parasuraman et al., dalam Tjiptono (2005:273), ada lima dimensi kualitas pelayanan yang harus diperhatikan yaitu :

1.      Kehandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.

2.      Daya Tanggap (Responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan layanan dengan tanggap.

3.      Jaminan (Assurance), mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf; bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan.

4.      Empati (Empathy), memahami kemudahan dalam menjalin relasi, komunikasi yangbaik, perhatian pribadi, dan pemahaman atas kebutuhan individual para pelanggan.

5.      Bukti fisik (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.

Pada dasarnya pelayananlah yang menjadi faktor terpenting dalam menentukan kepuasan pelanggan, karena kualitas pelayanan dirasakan memiliki hubungan yang erat yang dapat mempengaruhi loyalitas, dengan pelayanan yang baik pelanggan atau pasien akan merasa keberadaannya memang diperhatikan.

Dalam suatu studi empiris yang dilakukan oleh Parasuraman et.al (1988) yang melibatkan 800 pelanggan pada 4 organisasi di Amerika Serikat diketahui bahwa penyajian jasa yang baik hendaknya memperhatikan 5 dimensi service quality sebagai berikut: bukti fisik (tangibles), yaitu penampilan fasilitas fisik, empati (empathy), yaitu perhatian yang tulus yang diberikan kepada para pelanggan, keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang telah dijanjikan, daya tanggap (responsiveness), yaitu kecepatan dan kesigapan pegawai untuk membantu para pelanggan memberikan pelayanan dengan sebaik mungkin, jaminan (assurance), yaitu pengetahuan dan keterampilan para pegawai organisasi serta kemampuan mereka untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada organisasi.

Pandangan service quality tersebut didasarkan atas suatu model yang disebut Conceptual Model of Service Quality. Dalam model ini ditegaskan bahwa bila kinerja suatu atribut (attribute performance) meningkat lebih besar daripada harapan (expected) atas atribut yang bersangkutan, maka kepuasan pun akan meningkat. Menurut model tersebut terdapat 5 gaps/kesenjangan yang membuat organisasi tidak mampu memberikan layanan yang bermutu kepada pelanggannya. Kelima kesenjangan tersebut menurut Parasuraman et.al (1988) adalah (1) gap persepsi manajemen yaitu adanya perbedaan penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa, (2) gap spesifikasi kualitas, yaitu kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa dengan spesifikasi-spesifikasi kualitas jasa, (3) gap penyampaian pelayanan yaitu kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyerahan jasa (service delivery), (4) gap komunikasi pemasaran yaitu kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal, (5) gap dalam pelayanan yang dirasakan yaitu perbedaan persepsi antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan oleh pelanggan.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kualitas pelayanan dalam hubungannya dengan perilaku dan persepsi pelanggan serta menguji dimensi kualitas pelayanan (ServQual) ini dalam berbagai bidang.

Singh (1988), Bojanic (1991), Goulding, Ajay, dan Zeithaml (1993), Teas (1994), serta Zeithamal, Parasuraman dan Berry (1996) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan mempunyai pengaruh yang spesifik terhadap perilaku pelanggan (behavioral attentions), perbedaan kualitas pelayanan dapat mempengaruhi persepsi kualitas pelayanan tersebut bagi pelanggan. Kualitas pelayanan secara langsung juga mempengaruhi kepuasan pelanggan sekaligus meningkatkan umpan balik bagi perusahaan.

Cronin dan Taylor (1992) dalam artikelnya “Measuring Service Quality Reexamination and Extension” melalui penelitiannya mengembangkan dan menguji konsep sebuah alternatif dasar tentang kemeja untuk mengukur kualitas pelayanan atau ServQual terhadap kepuasan konsumen pada empat industri jasa dengan mengacu pada kelima dimensi (Tangibles, Empathy, Reliability, Responsiveness, Assurance) yang dikemukakan oleh Parasuraman et..al. Hasil studi menunjukkan bahwa, pada industri yang tidak memiliki keterlibatan jasa yang tinggi, kualitas jasa merupakan antiseden kepuasan konsumen. Kepuasan konsumen berpengaruh besar terhadap pembelian daripada kualitas jasa itu sendiri. Sedangkan pada industri yang memiliki keterlibatan jasa tinggi (misal jasa finansial/perrumah sakitan) menunjukkan hasil yang berbeda. Kelima dimensi itu tidak antiseden terhadap kepuasan konsumen.

Hasil penelitian Subroto dan. Nasution (1994), Salehudin (1996), Pujawan (1997), Sumanto (1998), Pujiastuti (2000) menyimpulkan bahwa terdapat lima dimensi kualitas pelayanan (ServQual) yang menjadi pertimbangan pasien rumah sakit maupun pelanggan organisasi jasa yaitu: reliability, tangibles, responsiveness, emphaty, dan assurance. Sedangkan kualitas pelayanan mempunyai pengaruh terhadap kepuasan maupun loyalitas pasien atau pelanggan.

Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitian - penelitian terdahulu, sebagaimana dikemukakan diatas. Namun penelitian ini lebih memfokuskan pada kemampuan, motivasi kerja dan kualitas pelayanan yang diberikan oleh perawat Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi Kabupaten Blitar dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pasien rawat inapnya.

 

Klik Download Untuk mendapatkan File Lengkap

 

Download Tesis Gratis

Cara Seo Blogger