Demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir
seluruh negara di dunia termasuk di Indonesia. Salah satu pilar demokrasi adalah
prinsip Trias Politica yang
membagi tiga kekuasaan politik dalam sebuah negara yakni
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan lembaga negara yang independen
dan berada dalam tingkatan yang sejajar antara satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis
lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip Checks and Balances.
Lembaga
legislatif
merupakan salah satu bagian dari prinsip Trias Politica.
Lembaga ini memiliki kewenangan dalam menjalankan kekuasaan legislatif atau
kewenangan dalam membuat dan menetapkan peraturan perundang-undangan. Legislatif dalam sistem presidensial adalah cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari lembaga
eksekutif. Dibeberapa
negara lembaga legislatif
dikenal dengan beberapa nama yaitu Parlemen ataupun Kongres sedangkan
di Indonesia sendiri,
untuk tingkat pusat dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Tidak hanya di tingkat pusat, provinsi
ataupun kota/kabupaten bahkan lembaga legislasi pun hadir ditingkat pemerintahan terkecil yakni desa.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No.32 Tahun 2004 pasal 1 ayat
12). Hal
ini menunjukkan bahwa selain menganut demokrasi, di desa juga memiliki
otonominya sendiri yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Otonomi desa bukanlah menunjuk pada otonomi pemerintah desa semata-mata, tetapi
juga otonomi masyarakat desa dalam menentukan diri mereka dan mengelola apa
yang mereka miliki untuk kesejahteraan mereka sendiri. Otonomi desa berarti juga memberi ruang yang luas
bagi inisiatif dari desa. Kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dan keterlibatan masyarakat dalam
semua proses baik dalam pengambilan keputusan berskala desa, perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan lain yang dampaknya akan
dirasakan oleh masyarakat desa sendiri.
Demi mewujudkan demokrasi dan otonomi di tingkat desa maka dibentuklah lembaga yang
serupa dengan lembaga legislatif yang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai salah satu unsur penyelenggara
pemerintahan di desa. Hal ini termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 72 tahun
2005 pasal 1 ayat 8 yang disebutkan bahwa BPD adalah lembaga yang merupakan
perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan desa. BPD sebagai badan permusyawaratan berasal dari ketua rukun warga,
pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat
lainnya. Badan permusyawaratan desa bukanlah lembaga legislasi yang pertama
ditingkat desa karena ada lembaga legislasi desa lainnya sebelum BPD yang
merupakan cikal bakal perwujudan demokrasi dan otonomi di desa yakni Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Badan Perwakilan Desa. Lembaga ini pada
hakikatnya adalah mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan
masyarakat.
Badan
Permusyawaratan Desa memiliki fungsi utama yakni merumuskan dan menetapkan Peraturan Desa bersama-sama
dengan pemerintah desa (legislasi) serta menampung dan menyalurkan aspirasi dari masyarakat kepada pemerintah desa (refresentasi). Selain fungsi dalam legislasi dan refresentasi, BPD
juga memiliki fungsi lainnya seperti mengayomi yaitu menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan sepanjang
menunjang kelangsungan pembangunan dan melakukan pengawasan yaitu meliputi
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja
desa/APBDesa serta keputusan kepala desa (Perda Kab.Bone No.3 tahun 2007).
Fungsi legislasi adalah salah satu tugas utama BPD
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di desa. Berbicara tentang legislasi
tentunya kita mengarah pada adanya output yang dihasilkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Dilevel desa peraturan perundang-undangan disebut
dengan peraturan desa (Perdes). BPD melakukan koordinasi dengan pemerintah desa
yakni kepala desa beserta jajarannya dalam merumuskan dan menetapkan peraturan
desa. Badan
permusyawaratan desa
memiliki hak untuk menyetujui atau tidak terhadap peraturan desa yang dibuat
oleh pemerintah desa dalam hal ini kepala desa dan perangkat desa lainnya. Lembaga ini juga dapat
membuat rancangan peraturan desa untuk secara bersama-sama pemerintah desa untuk ditetapkan menjadi peraturan desa.
Proses legislasi peraturan desa umumnya melalui 3
tahapan yaitu tahap inisiasi, tahap sosio-politis dan tahap yuridis. Tahap-tahap ini mencakup
pengusulan, perumusan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Rancangan peraturan desa, dapat diajukan oleh pemerintah desa dan dapat juga oleh BPD. Dalam
menyusun rancangan peraturan desa,
pemerintah desa dan atau BPD harus memperhatikan
dengan sungguh-sungguh aspirasi yang berkembang di masyarakat. Rancangan peraturan desa yang berasal dari pemerintah desa disampaikan oleh kepala desa kepada BPD secara tertulis.
Setelah menerima rancangan
peraturan desa, BPD melaksanakan rapat
paripurna untuk mendengarkan penjelasan kepala desa. Jika rancangan peraturan desa berasal dari BPD, maka BPD mengundang pemerintah desa untuk melakukan pembahasan.
Setelah dilakukan pembahasan, maka BPD menyelenggarakan rapat paripurna yang dihadiri oleh anggota BPD dan pemerintah desa dalam acara penetapan persetujuan
BPD atas rancangan peraturan desa
menjadi peraturan
desa yang dituangkan
dalam keputusan
BPD. Setelah mendapatkan persetujuan BPD, maka kepala desa menetapkan peraturan desa, serta memerintahkan sekretaris desa atau kepala urusan yang ditunjuk untuk
mengundangkannya dalam lembaran desa.
Tahap-tahap penyusunan dan penetapan
peraturan desa yang ada harus dijalankan di seluruh desa di Indonesia dengan
memperhatikan tiap tahapan, tidak terkecuali dalam pembuatan Peraturan Desa Cumpiga No. 1 tahun 2011
tentang rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa) tahun 2011-2015.
BPD merupakan salah satu Unsur penyelenggara pemerintahan desa yang paling
berperan dalam Pembuatan Perdes, namun BPD Cumpiga Kecamatan Awangpone
Kabupaten Bone justru cenderung bertindak pasif dalam menjalankan tiap tahap
dari pembuatan peraturan desa. Hak yang diberikan untuk mengusulkan rancangan
peraturan desa tidak dipergunakan sebaik-baiknya dan ketika usulan datang dari
pemerintah desa, BPD setempat bersikap kurang kritis sehingga kemungkinan besar
output yang dihasilkan tidak banyak memberi perubahan yang positif di Desa
Cumpiga Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone. BPD setempat Seharusnya lebih
menunjukkan kapabilitas dan akuntabilitasnya sebagai lembaga legislasi di desa
khususnya dalam pembuatan peraturan desa, oleh karena itu penulis
tertarik melakukan penelitian dengan judul “Analisis Fungsi Legislasi Badan
Permusyawaratan Desa Cumpiga
Kecamatan
Awangpone Kabupaten Bone.”
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar