Kemajuan tehnologi, baik tehnologi informatika maupun tehnologi industri selalu diiringi dengan tingkat profesionalitas sumber daya manusia yang handal, hal ini disebabkan adanya suatu usaha setiap organisasi untuk mencapai keunggulan yang kompetitif dalam menghadapi persaingan. Untuk mencapai keunggulan yang berkesinambungan tidak lagi hanya bergantung pada tehnologi, hak paten maupun posisi strategis tetapi lebih menekankan pada bagaimana organisasi mengelola tenaga sumber daya manusianya.
Dalam pengelolaan tenaga kerja diperlukan falsafah yang mengakui pentingnya nilai karyawan sebagai individu, karena salah satu keberhasilan organisasi memang tergantung pada perilaku individu. Karena pada dasarnya antara individu dengan organisasi mempunyai hubungan timbal balik, artinya individu tidak mungkin mencapai tujuannya tanpa melalui organisasi dan sebaliknya organisasi tidak akan dapat mencapai tujuan dan sasarannya jika kerjasama sekelompok orang sebagai anggota tidak dapat diorganisir dengan baik.
Untuk dapat mencapai tujuan organisasi yang efektif dan efisien, suatu organisasi harus memperlakukan individu secara manusiawi dengan memberikan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, baik secara fisiologis seperti kebutuhan makan dan tempat tinggal, serta kebutuhan psikologisnya seperti memberi jaminan perlindungan, keamanan serta menghindarkan dari tekanan yang berat di tempat kerja, di samping itu juga kesempatan berinteraksi dan mengikutsertakan karyawan dalam mengambil keputusan, memberikan penghargaan serta kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya. Untuk itu pembekalan pengetahuan sangat dibutuhkan guna meningkatkan prestasi dan kepuasan kerja karyawan.
Era pengetahuan telah melahirkan Knowledge Management dan mendorong inovasi berkelanjutan terutama dalam informasi dan teknologi komunikasi. Inovasi teknologi informasi melipatgandakan kemampuan kita untuk menciptakan, mengorganisasikan, menggandakan, maupun melindungi human (intelectual) capital yang tidak dapat direplikasi oleh organisasi lain. Pengertian IT tidak sekedar Information Technology, tetapi juga Inspiration Technology, yang akan menstimulir gagasan-gagasan baru yang diperoleh akibat kemampuan teknologi yang terus bergulir dalam hal informasi dan komunikasi, selanjutnya menghasilkan berbagai inovasi baru (Innovation Technology).
Knowledge (pengetahuan) sebagai basis dari penciptaan intellectual capital harus dibangun melalui pendekatan manajemen yang fokus kepada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995, dalam Tjakraatmadja dan Lantu, (2006: 64)), untuk menunjang era revolusi informasi, suatu organisasi perlu memiliki pengetahuan eksplisit (know how) dan pengetahuan tasit (know why) secara seimbang dan berkelanjutan. Tipe knowledge secara umum; pertama, masuk bidang spesialis IT (Departemen Teknologi Informasi) dengan sistem program dan database untuk mendesain dan implementasi, mengelola data, informasi dan knowledge yang dipelajari seluruh karyawan melalui budaya pembelajaran dan knowledge sharing; kedua, merupakan bidang spesialis Human Resource (Departemen SDM) melalui sistem dan proses belajar orang-orang dan kinerja yang dikelola, pemberian reward atau penghargaan bagi karyawan yang memberikan kontribusi knowledge berdaya tetap di organisasi.
Namun, dalam penerapan di organisasi bisnis, sering dijumpai kesalahan dalam pemahaman konsep Manajemen Pengetahuan, yaitu disamakan dengan data dan informasi, menitikberatkan pada investasi dibidang teknologi informasi, yang dianggapnya itulah konsep manajemen pengetahuan. Akibatnya, organisasi cenderung melakukan pengeluaran yang terlalu besar untuk hasil yang tidak signifikan (Cropley, 1998).
Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuannya mentransformasikan diri sesuai dengan tuntutan perubahan dan memperkuat budaya organisasinya untuk mendukung tujuan organisasi. Sebagaimana dikatakan O’relly (1989) dalam Rahma (2005) terdapat dua dimensi yang menentukan kuat lemahnya suatu budaya organisasi, yaitu intensitas dari budaya atau jumlah persetujuan atau ketidaksetujuan atas suatu harapan dan kristalisasi atau konsistensi atas kebersamaan norma. Menurut Kotler dan Heskett (1987) dalam Zaman (2005) suatu budaya organisasi dianggap kuat apabila nilai-nilainya sudah terinternalisasi secara intensif dan dipegang teguh oleh segenap anggota dalam organisasi tersebut. Bila dalam suatu organisasi sudah terdapat nilai-nilai yang dianut bersama, maka orang-orang akan merasa tenang dalam menjalankan organisasi tersebut karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan. Perasaan ini berkembang menjadi loyalitas yang memacu karyawan untuk bekerja lebih giat lagi sehingga akan meningkatkan kinerja karyawan.
Minat terhadap budaya organisasi muncul pada saat timbul kesadaran bahwa kerangka kerja organisasi seperti tehnologi, strategi, kepemimpinan, dan karyawan tidak dapat terlepas dari landasan nilai-nilai yang hidup dan dihayati bersama. (Hardjono, 1998). Dari berbagai penelitian yang ada mengenai budaya organisasi menunjukkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada didalamnya, termasuk para karyawan (prestasi kerja bawahan). Budaya organisasi dapat mempengaruhi prestasi karyawan karena melalui budaya organisasi dapat membantu para karyawan dalam cara berpeilaku, bekerja, menyelesaikan persoalan serta memberikan petunjuk tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan (Robbins:1996).
Dengan demikian melalui budaya organisasi, pihak manajemen dapat memanfaatkan sumber daya manusianya menjadi optimal, dimana para pemimpin organisasi perlu mengelola sumber daya manusia secara efektif dengan berusaha mengarahkan perilaku SDM sesuai dengan tujuan organisasi. Kahn, 1978 dalam Steers et.al., (1996), menyebutkan terdapat tiga perilaku SDM yang dibutuhkan oleh suatu organisasi, yaitu: (1) SDM harus memiliki komitmen terhadap organisasi, yaitu perasaan terlibat dalam organisasi dan tetap tinggal dalam organisasi, (2) SDM harus menunjukkan kinerja sesuai dengan tugasnya (in role behavior), (3) SDM harus menunjukkan kinerja melampaui peran in-role nya dengan menunjukkan perilaku kerja yang kreatif, inovatif dan spontan yang sering disebut sebagai extra role behavior. Ketiga perilaku SDM tersebut merupakan sumber tercapainya efektivitas organisasi.
Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti besar manfaatnya baik bagi kepentingan individu, maupun organisasi danmasyarakat. Bagi individu, penelitian tentang kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagiaan hidup mereka. Bagi organisasi, penelitian tentang kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan kinerja organisasi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya, masyarakat tentu akan menikmati hasil kapasitas maksimum dari organisasi serta naiknya nilai manusia didalam konteks pekerjaannya (As'ad, 1993).
Pembahasan mengenai kepuasan kerja perlu didahului oleh penegasan bahwa masalah kepuasan kerja bukanlah hal yang sederhana, baik dalam arti konsepnya maupun dalam arti analisisnya, karena “kepuasan” mempunyai konotasi yang beraneka ragam. Karena tidak sederhana dan banyak faktor yang perlu mendapat perhatian dalam menganalisis kepuasan kerja seseorang. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa apabila dalam pekerjaannya seseorang mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, memberikan sumbangan penting dalam keberhasilan organisasi dan karyawan memperoleh umpan balik tentang hasil pekerjaan yang dilakukannya, yaitu yang bersangkutan akan merasa puas.
Kepuasan kerja merupakan keadaan emosional para karyawan yang menyenangkan dalam memandang pekerjaan mereka (Handoko, 1997). Kondisi demikian memang haruslah dipertahankan pada diri seorang karyawan, karena dalam kondisi tersebut akan memberikan dampak yang positif terhadap sikapnya, sehingga dapat diharapkan dapat menyumbangkan hasil kerja yang maksimal.
Menurut Davis dan Newstrom (1996), salah satu gejala dari rusaknya kondisi dalam suatu organisasi adalah rendahnya kepuasan kerja. Dalam bentuk yang paling sinis gejala yang ada bersembunyi dibelakang pemogokan liar, pelambanan kerja, kemangkiran, pergantian pegawai, rendahnya prestasi, rendahnya kualitas, produk, masalah-masalah disipliner, dan sebagainya. Sebaliknya kepuasan kerja yang tinggi diinginkan oleh para manajer karena dapat dikaitkan dengan hasil positif yang mereka harapkan. Kepuasan kerja yang tinggi merupakan tanda bahwa organisasi telah dikelola dengan baik.
Banyak faktor yang mendorong terciptanya kepuasan kerja seseorang pekerja, karena pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Semakin banyak aspek-aspek dalam pekerjaan yang sesuai dengan keinginan individu tersebut, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakannya, dan sebaliknya (As'ad, 1998).
Cherrington (1994) juga menyatakan bahwa kepuasan kerja seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam karakteristik dari pekerjaan itu sendiri, karakteristik organisasi dan karakteristik personal atau karakteristik individu. Khusus mengenai karakteristik pekerjaan itu sendiri oleh Wexley dan Yukl (1992) disinyalir sebagai faktor utama yang ditemukan secara konsisten dalam pembentuk kepuasan kerja. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian, yang salah satunya dinyatakan oleh Singh (1998) bahwa secara signifikan karakteristik pekerjaan mempengaruhi perilaku serta hasil kerja yang berbentuk psikologis, yang salah satunya adalah kepuasan kerja pada tenaga penjual.
Berdasarkan uraian diatas dan berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian, akhirnya peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Manajemen Pengetahuan, Karakteristik Individu dan Sikap Pada Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja Karyawan”
Penelitian ini merupakan penelitian replikasi, yaitu penelitian lanjutan, sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, namun perbedaan penelitian ini pada aplikasi penggunaan variabel beserta pengembangan indikator yang dilakukan atas variabel yang diteliti. Dengan pengembangan yang dilakukan diharapkan hasil penelitian ini nantinya juga dapat memberikan wawasan dan peluang untuk penelitian berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar