Karyawan adalah manusia
yang
mempunyai sifat kemanusiaan,
perasaan dan
kebutuhan yang beraneka ragam. Kebutuhan ini bersifat fisik maupun non fisik yang harus dipenuhi agar dapat hidup secara layak dan manusiawi. Hal ini menyebabkan timbulnya suatu pendekatan yang berdasarkan pada kesejahteraan
karyawan dalam manajemen personalia. Karyawan harus
mendapatkan perlakuan sedemikian rupa sehingga
kerjasama antara pimpinan dan karyawan sebagai bawahan dapat terjalin dengan baik.
Bila hubungan terjalin baik maka mudah untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditentukan.
Untuk menjalin kerjasama yang baik antara pimpinan dan karyawan, antara kedua pihak harus saling mengerti tentang kepentingan masing-masing dalam perusahaan. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik antara
pimpinan dan
karyawan
mengingat
peranan komunikasi sangat besar untuk keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan yang telah digariskan.
Sebagai manusia,
karyawan
juga
mempunyai tujuan
sehingga diperlukan suatu integrasi antara
tujuan perusahaan dengan tujuan karyawan. Untuk mengusahakan integrasi antara tujuan perusahaan dan tujuan karyawan, perlu diketahui apa yang menjadi kebutuhan masing-masing pihak. Kebutuhan karyawan diusahakan dapat terpenuhi melalui pekerjaannya. Apabila
seorang karyawan sudah terpenuhi segala kebutuhannya maka dia akan mencapai kepuasan kerja dan
memiliki komitmen terhadap perusahaan. Tingginya
komitmen karyawan dapat mempengaruhi usaha suatu perusahaan secara positif. Adanya komitmen akan membuat karyawan mendukung
semua kegiatan perusahaan secara aktif, ini
berarti karyawan akan bekerja lebih produktif. Penelitian menyatakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasional cenderung mempengaruhi satu sama lain. Karyawan yang relatif puas dengan
pekerjaannya akan lebih
berkomitmen pada
organisasi dan
karyawan yang
berkomitmen terhadap organisasi lebih mungkin mendapat kepuasan
yang
lebih besar (Mathis dan Jackson,
2001: 100).
Komitmen karyawan ini diperlukan oleh perusahaan dan merupakan faktor penting bagi perusahaan
dalam rangka mempertahankan kinerja
perusahaan. Apalagi dalam
era persaingan bisnis yang makin ketat di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi seperti dewasa ini.
Agar kerjasama yang baik antara karyawan dan perusahaan tercapai, maka perusahaan harus menetapkan manajemen imbalan (reward management) yang adil bagi kedua belah pihak. Manajemen imbalan merupakan proses pengembangan dan implementasi strategi, kebijakan dan sistem yang membantu
organisasi mencapai tujuannya dengan mendapatkan
dan
mempertahankan orang-orang yang diperlukan dan
dengan meningkatkan motivasi dan komitmennya (Armstrong, 1992:495). Armstrong
juga
menyarankan bahwa
manajemen imbalan seharusnya juga mempertimbangkan budaya organisasi yang sesuai berikut nilai inti
yang mendasarinya.
Proses manajemen imbalan mencakup baik imbalan finansial maupun nonfinansial. Oleh karena itu pemahaman konsep kontrak psikologis sama pentingnya dengan pemahaman unsur-unsur ekonomi dan aspek
transaksional. Konsep kontrak psikologis terutama penting untuk memahami dan memanajemeni motivasi. Dari sudut pandang karyawan, aspek hubungan kerja yang dicakup oleh kontrak psikologis adalah: a) bagaimana perlakuan yang
diterima dalam hal keadilan, persamaan dan konsistensi, b) keamanan kerja, c) lingkup untuk
menunjukkan kompetensinya,
d) harapan karier dan peluang
untuk mengembangkan keterampilan, e) keterlibatan dan pengaruh, f) keyakinan pada organisasi untuk memenuhi janjinya dan g) keyakinan bahwa dirinya akan dimanajemeni secara kompeten.
Sedangkan
dari sudut pandang
pemberi kerja atau
perusahaan, kontrak psikologis mencakup
aspek
hubungan kerja seperti a) kompetensi, b) upaya, c) kemampuan menyesuaikan, d) komitmen dan e) loyalitas (Armstrong dan Murlis, 2003a: 39).
Proses manajemen imbalan sangat ditentukan oleh tuntutan bisnis. Oleh karena itu,
falsafah yang
mendasari kebutuhan bisnis tersebut juga harus dipahami. Karena karyawan
juga termasuk stakeholder (pihak
yang berkepentingan) dalam organisasi, maka kebutuhan- kebutuhan mereka juga harus dipahami agar
kepuasan kerja tercapai dan selanjutnya dapat menumbuhkan komitmen pada organisasi. Kepuasan kerja tercapai jika kebutuhan karyawan terpenuhi melalui pekerjaanya. Suatu model yang dikemukakan oleh
Smith,
Kendall dan Hulin (Long, 1998: 108) menyebutkan bahwa ada lima segi yang menciptakan kepuasan kerja, yaitu
kepuasan dengan
gaji/imbalan,
promosi, supervisor/atasan, rekan kerja dan
pekerjaan itu sendiri.
Berdasarkan beberapa penelitian, faktor penting yang mendorong seorang karyawan memiliki komitmen terhadap perusahaan adalah kompensasi atau balas jasa. Kompensasi ini bisa
berupa finansial
maupun
nonfinansial. Kompensasi dalam bentuk
finansial berupa gaji/upah, tunjangan, bonus dan juga kepemilikan saham perusahaan bagi karyawan (ESOP—
Employee Stock Ownership Plan). Sedangkan kompensasi non finansial meliputi kesehatan dan keamanan karyawan.
Untuk menumbuhkan
identifikasi
karyawan
pada tujuan-tujuan
perusahaan (yang merupakan salah satu indikator komitmen organisasi), imbalan yang dapat mendorong kinerja
perusahaan seperti pembagian keuntungan (profit sharing) dan program kepemilikan saham perusahaan bagi karyawan itu akan relevan (Long, 1998: 110). Berdasarkan pada pernyataan di atas
maka
dalam penulisan
ini akan meneliti tentang pengaruh
kepemilikan
saham
perusahaan bagi karyawan (ESOP) terhadap komitmen organisasi di PT Telkom Tbk Kantor
Divre V Bidang Performansi dan Sumber Daya Manusia (SDM).
PT Telkom Tbk merupakan
satu dari sedikit perusahaan di Indonesia yang menerapkan ESOP. Dalam pelaksanaan ESOP, di PT Telkom Tbk dikenal empat jenis saham, yaitu saham perdana, saham insentif, saham bebas dan saham bonus.
Riset mengemukakan
bahwa program
kepemilikan
saham
karyawan
mendorong karyawan untuk
mengembangkan
rasa kepemilikan dan
komitmen
terhadap
perusahaan. Karyawan berbuat demikian sebagian karena mereka memberi peluang untuk meningkatkan insentif keuangan, menciptakan rasa kepemilikan baru dan membantu membangun kerja tim (Dessler, 1998:155). Di Amerika Serikat, karyawan yang mengikuti ESOP meningkat dari 4 juta orang pada 1980 menjadi lebih dari 10 juta pada 1999. Di Jepang, 91 persen perusahaan yang terdaftar
di
bursa efek
Jepang menerapkan ESOP bagi
karyawannya.
Perusahaan-
perusahaan ini memiliki
rata-rata
produktivitas
yang
lebih tinggi dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan yang tidak menerapkan ESOP (Noe et all, 2003:
508).
tolong dong di share skripsi nya dr bab per bab
BalasHapus